scribo ergo sum

Minggu, 10 September 2006

Kami Sudah Berusaha, tapi...

13:34 Posted by wiwien wintarto 6 comments

(* out of *****)

Apa yang akan Anda lakukan jika Anda adalah seorang pria berusia 35 tahun yang dicintai seorang bocah perempuan usia 11 tahun? Atau sebaliknya, apa yang akan Anda lakukan jika Anda adalah anak perempuan usia 11 tahun yang jatuh cinta pada seorang pria dewasa berusia 35 tahun?
Semua pasti sepakat jika ini merupakan sebuah ambilan tema yang menarik untuk diangkat ke layar lebar. Dan sutradara Widy Wijaya dengan cemerlang mengangkat topik ini lewat filmnya yang berjudul I Love You, Om… Masalahnya, cemerlang yang seperti apa? Baik, mari kita teliti bagaimana duduk permasalahan yang sebenarnya!

Film dibuka dengan kecerewetan Astari (Ira Wibowo) yang mengatur-atur Dion (Rachel Amanda), anak gadisnya, saat sarapan. Astari sibuk menentukan jadwal harian Dion antara main piano, latihan baseball, dan balet, namun terlalu sibuk sehingga tidak pernah punya waktu untuk memperhatikan anak perempuannya itu.
Karena kurang kasih sayang, ditambah telah kehilangan Dad yang meninggal saat ia masih berusia 5 tahun, Dion pun mencari sumber kasih sayang lain. Dan sumber itu ia temukan berada pada diri Gaza (Restu Sinaga), pria lajang berumur pertengahan 30-an yang bekerja untuk ibunya sebagai tukang laundry.
Dengan cepat ia menjadi akrab dengan Gaza. Ia bingung ketika Gaza keluar dari pekerjaannya sebagai tukang laundry. Untung kemudian pertemuan kebetulan dengan Gaza membawanya kembali dekat dengan pria itu yang telah pindah kerja sebagai penjaga sebuah kios rental DVD.
Di luar dugaan, kedekatan itu ternyata menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dion. Sang Om yang baik hati pun berubah dari teman main yang menyenangkan menjadi sebuah kisah cinta yang menggetarkan. Dan Dion cemburu habis-habisan ketika melihat Gaza pergi berduaan dengan Nayla (Karenina).
Secara tematik, I Love You, Om… adalah sebuah suguhan yang baru dan menggugah. Banyak elemen menarik tersimpan dalam sebuah jalinan cinta antara dua insan yang berbeda usia sampai 24 tahun (mengingatkan kita pada Catherine Zeta-Jones dan Michael Douglas, bukan?).
Daya tarik lain muncul dari power akting yang ditunjukkan bintang cilik Rachel Amanda. Dengan gesture, bahasa tubuh, dan permainan mimik muka yang sedemikian hidup, kita semua patut heran dan mempertanyakan mengapa baru sekarang ia “diperbolehkan” untuk menjadi aktris utama sebuah film.
Rachel dengan telak mampu menghabisi permainan akting semua lawan mainnya di sini. Jangankan Restu Sinaga dan Karenina yang bermain canggung macam latihan drama anak-anak SMP, pamor aktris senior Ira Wibowo pun tak tertolong lagi meredup karena Rachel (plus Teuku As’Sadiq yang bermain sebagai Dafi) mampu mencuri perhatian dalam setiap scene tempat ia hadir.
Sayang semua nilai lebih dan daya tarik ini dirusak sendiri oleh "kecemerlangan" yang ditunjukkan oleh Widy Wijaya dan Aviv Elham sebagai penulis skenario. Ya, keduanya cemerlang dalam hal menyia-nyiakan sebuah materi bagus yang berpotensi menjadi tontonan berbobot. Mereka seperti koki yang diberi kaviar tapi malah mengolahnya menjadi umpan pancing!
Apa yang menarik dari I Love You, Om… adalah premisnya. Kisah tentang gadis kecil yang jatuh cinta pada pria dewasa adalah sama menarik dengan cerita tentang gadis cilik sok tua dan perempuan dewasa kekanak-kanakan sebagaimana yang hadir dalam Uptown Girls arahan sutradara Boaz Yakin.
Cerita-cerita seperti ini akan jadi sebuah kisah yang menarik jika permasalahan yang muncul ditinjau dari sudut pandang karakter masing-masing tokoh serta efek yang kemudian berlangsung.
Dari angle Gaza yang kaget saat mengetahui ia dicintai seorang gadis cilik, dari angle Dion yang bingung kala menyadari ia jatuh cinta pada seorang pria yang lebih pas menjadi ayahnya, dan terutama dari angle Astari yang panik ketika melihat siapa yang selama ini telah membuat anak tunggalnya menjadi melankolis.
Namun bukannya melihat problematika dari sudut itu, Widy dan Aviv justru memotretnya dengan kacamata normatif plus imbuhan bumbu soal paedofilia. Bahwa percintaan antara Dion dengan Gaza adalah tabu dan terlarang sehingga darinya akan dapat diletuskan menjadi ledakan-ledakan emosi yang dramatis dan spektakuler.
Ini jelas bukan pilihan garapan tematik yang brilian. Percintaan antara Catherine Zeta-Jones dan Michael Douglas memang akan terasa tabu saat Catherine baru berumur 7 atau 8 tahun. Untungnya, mereka bertemu saat Catherine telah berusia akhir 20-an, sehingga kalau masih ada orang yang berpendapat hubungan mereka terlarang, orang malang bersangkutan harus secepatnya diinapkan ke institusi rehabilitasi mental!
Jika Dion dan Gaza adalah sama-sama entitas cerdas dari dunia nyata dan mereka benar-benar berniat memperjuangkan cinta mereka, maka mereka hanya perlu menunggu antara lima hingga enam tahun sehingga semua takkan jadi kontroversial lagi. Permasalahan pun tak perlu diselesaikan dengan perpisahan dan tokoh yang “dipaksa” mati tertabrak mobil.
Ups…! Ada yang mati lagi? Yap, mirip dengan Rachel (Nirina Zubir) yang tewas tak jelas dalam Heart, I Love You, Om… juga membunuh salah satu karakternya dengan peristiwa tabrakan dan dialog yang wajib diucapkan setiap dokter dalam film Indonesia, yaitu “Kami sudah berusaha, tapi…”!
Jati diri siapa tokoh yang meninggal tersebut tentu saja tak perlu diungkap di dalam kesempatan ini agar tak mengurangi kenyamanan Anda dalam menonton!
Gangguan lain yang muncul adalah begitu berlimpahnya film ini dengan unsur-unsur yang useless dan tak perlu. Kisah tentang Nayla yang masih sibuk mengejar-ngejar Gaza masih penting dihadirkan karena menambah seru jalinan cinta segi tiga nan aneh yang terbentuk antara mereka berdua dan Dion.
Tapi subplot tentang Nayla yang pacaran sesama jenis dengan guru balet Dion, Nayla yang membunuh fotografernya dengan hantaman kamera, dan Nayla yang bingung karena hamil di luar nikah, menjadi sia-sia karena berkesan asal tempel dan, yang lebih buruk lagi, tidak terselesaikan dengan klimaks serta solusi yang memadai.
Selain itu terasa janggal mencermati plot dan premis yang sangat kental bernuansa komedi romantis namun akhirnya justru kembali ke “khittah” menjadi sebuah melodrama konvensional yang penuh adegan tangis emosional.
Pada akhirnya I Love You, Om… memang mirip kisah cinta seorang gadis cilik dengan pria dewasa yang berusia dua dekade lebih senior. Hanya saja, si gadis belakangan mengetahui bahwa sang pujaan hati ternyata punya banyak organ tubuh yang tak berguna, seperti ekor, tanduk, gading, dan suara mengembik…

(Dimuat di Suara Merdeka, 10 September 2006)

6 komentar:

  1. Punya filmnya tidak? Banyak saya baca review2 blog2 yg bilang acting raxhel amanda memang fantastis di film ini,tapi saya cari2 di youtube dan web tidak tersedia film ini full version

    BalasHapus
  2. Punya filmnya tidak? Banyak saya baca review2 blog2 yg bilang acting raxhel amanda memang fantastis di film ini,tapi saya cari2 di youtube dan web tidak tersedia film ini full version

    BalasHapus
  3. Ada link film nya Ndak ya,soalnya di google sudah pada not found...help plisss...��

    BalasHapus
  4. Kangen sama film ini tapi link sudah nota found

    BalasHapus
  5. Anonim09.17

    Aku sudah nonton, dan film nya bagus juga XD

    BalasHapus