Salah satunya adalah kata-kata para aktris, aktor, dan sineas saat mengucapkan acceptance speech, yaitu pidato singkat sesudah menerima award. Seringkali kalimat-kalimat mereka luar biasa indah, mengharukan, menggetarkan, menggugah, dan memberi inspirasi baru.
Kalimat-kalimat itu sedemikian bagus sehingga seakan-akan mereka muncul dari sebuah film atau serial TV. Padahal tentu saja, saat menyampaikan acceptance speech, para bintang itu nggak baca skenario, melainkan omong spontan tanpa teks. Paling banter catatan yang mereka bawa, kalaupun ada, cuman berisi daftar orang yang harus dikasih ucapan terima kasih biar nggak ada yang terlewat.
Malam itu yang paling menakjubkan adalah pidato Jeremy Piven yang memenangi kategori Aktor Pendukung Serial Komedi untuk perannya sebagai Ari Gold di serial Entourage. Saat menerima Emmy, dia bilang “Kadang, ada suatu malam dalam hidup kita yang menyadarkan bahwa kita udah terlalu banyak diberi…!”
Pidato singkat itu nggak hanya indah secara kontekstual atau artistik, namun juga secara substansial. Sedetik sesudah itu aku langsung mikir, bener juga ya? Kita ini udah terlalu banyak diberi, tapi kita kerap lupa untuk bilang terima kasih—entah pada Tuhan, ortu, teman, pacar, atau orang yang nemu dompet kita yang tertinggal di rak toko buku (!)—dan lantas balas memberi.
Kembali ke urusan pidato tadi, dari mana dan dengan cara apa Jeremy menemukan kata-kata sebagus itu? Wajar kalau itu ia ucapkan saat main jadi Ari di Entourage. Tapi ini terjadi di dunia nyata, saat ia ngomong biasa tanpa arahan teks sama sekali. Dan yang tragis, sinetron kita bahkan nggak pernah punya memorable quotes seperti itu. Salah ding, sinetron kita emang sama sekali nggak punya memorable quotes karena kalimat-kalimat yang muncul paling hanya “Ciaaaaa…aaatt!!” dan “Bagaimana, Dokter?”!
Pepatah bilang, kita bisa karena biasa. Para bintang itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat bagus tanpa teks karena tiap hari mereka terbiasa menghapalkan dialog-dialog bernas dan cerdas bikinan para penulis skenario tersohor di sana. Kalau Anda rajin nonton serial-serial TV Amerika, terlebih yang menang Emmy atau Golden Globe, Anda akan kerap menemukan dialog-dialog semacam itu.
Contoh, dalam serial Early Edition, salah seorang tokohnya berkata, “Yang terburuk dalam hidup bukanlah apa yang pernah kita katakan. Itu bisa dilupakan. Yang terburuk dalam hidup adalah apa yang tak pernah sempat kita katakan”.
Kemudian, dalam Ally McBeal, saat mengenang semua yang pernah terjadi padanya, Ally (Calista Flockhart) mengucapkan narasi yang berbunyi, “Suatu saat nanti, kelak jika kamu mengenang semua yang terjadi padamu dan itu tak membuatmu menangis, entah tangis bahagia atau sedih, anggap saja itu tak berarti!”.
Kata-kata seperti itulah yang biasa mereka hapal tiap hari. Itulah pekerjaan mereka. So, nggak aneh jika kalimat-kalimat itu terpatri di ingatan bawah sadar mereka dan bisa keluar kapan saja dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Lantas, bagaimana dengan para aktris dan aktor sinetron kita, ya? Bisa ditebak kira-kira omongan sehari-hari kayak yang kemungkinan bisa muncul jika skenario yang mereka hapalkan tiap saat dipenuhi kata-kata “Bangsat!”, “Bajingan!”, “Akan kuhancurkan dia…!”, atau “Aku hamil…!”. Nggak heran wartawan infotainment nggak pernah kekurangan bahan untuk digarap!
Saat menerima award untuk kategori Aktris Utama Miniseri atau Film TV untuk perannya sebagai Ratu Elizabeth I dalam miniseri Elizabeth I, Helen Mirren bilang, “Penulisan (skenario) adalah inti dari semuanya. Hari ini, ratusan atau bahkan ribuan aktris dari semua tingkatan umur dan semua ras menunggu untuk diungkap oleh penulisan yang bagus”.
Dunia pertelevisian Amerika maju karena mereka menghargai dan menghormati pekerjaan mereka. Mereka menghargai penyutradaraan yang baik, penulisan yang bagus, akting yang brilian, dan yang lebih penting, semua orang saling menghargai satu sama lain, baik dalam konteks karya maupun personal.
Kita nggak punya penghargaan dan penghormatan seperti itu. Semua yang ada di sini berada pada tataran buruk, bahkan awful. Mulai cerita, karakterisasi, penyutradaraan, skenario, hingga akting, semua tak dipedulikan dan diperhatikan sebagaimana mestinya. The only thing that matter here is rating, iklan, dan… tentu saja, uang.
Maka jangan protes jika sinetron kita hanya berisi pocong, kuburan, siluman berkepala anjing, mertua jahat, ibu tiri sadis, tukang adu jotos dari abad pertengahan, dan orang aneh yang nggak jelas alasan keberadaannya seperti Cecep atau Udik Pe’ak…
0 komentar:
Posting Komentar