Sejak Januari 2006, aku mulai menulis resensi film di Edisi Minggu Harian Suara Merdeka, Semarang. Film-film yang kuresensi khusus film Indonesia tok. Film asing, especially Hollywood, juga kutulis, tapi hanya dibahas dari segi kekhasan tematiknya aja, dan nggak kuungkap soal pencapaian kualitasnya.
Sejak saat itu, dimulai dari film 9 Naga besutan Rudi Soedjarwo, tiap film Indonesia pasti kuresensi. Dan gara-gara kerjaan baru ini, belakangan aku ngeh bahwa distributor film kita pasti selalu memilih hari Kamis sebagai hari premiere. Nggak tahu pertimbangannya apa, tapi semua film lokal pasti dirilis hari Kamis.
Setelah 9 Naga, film-film yang kuulas adalah D*Girlz Begins, Heart, Ekskul, Lentera Merah, Cewe Matrepolis, Gotcha!, Mendadak Dangdut, dan I Love You, Om. Yang nggak kuulas adalah Rantai Bumi dan Dunia Lain: The Movie. Berikutnya, sudah menunggu beberapa film yang siap “tayang”, kayak Pocong, 6:30, dan Bangku Kosong.
Lain dari pengulas film di Amerika, Eropa, atau Jakarta, aku nggak menyaksikan film yang akan kutulis dalam pemutaran preview prarilis atau screening (pemutaran khusus sebelum editing final). Aku nonton biasa di bioskop 21 (Citra atau E-Plaza) dengan anak-anak Kejar Siong, bareng Asri (http://daysofagirl.blogspot.com), atau dengan editor EMSM, Mas Budi Maryono (http://siluetbulanluka.blogspot.com).
Setelah dimuat di SM, tiap resensi yang kubikin lantas kupasang di blog-ku Layar Tancep (http://wiwienmovies.blogspot.com) agar bisa memasyarakat dan mendunia seperti situs Sinema Indonesia (www.sinema-indonesia.com). Dan seperti yang bisa Anda lihat sendiri bila suatu saat berkunjung ke Layar Tancep, semua resensiku pasti penuh aroma “thumbs down” (pinjem istilahnya Roger Ebert) dengan kata-kata serta kalimat yang sinis tapi lucu dan lucu tapi sinis.
Mengapa begitu? Ya karena film-film itu luar biasa jelek. Sejak dari 9 Naga hingga I Love You, Om…, semua selalu penuh “lubang” di mana-mana yang membuatnya nggak nyaman ditonton. Kalau aku dosen dan para sutradara itu adalah para mahasiswaku, hasil karya mereka hanya kukasih nilai D dan E (bahkan F untuk D*Girlz Begins!).
Di luar rencana, resensi-resensiku ternyata memulai sebuah “tren” baru di kalangan warga Semarang dan sekitarnya. Para pembaca SM yang baca resensiku pada hari Minggu mendadak ilfeel dan kehilangan minat untuk nonton. Yang nggak ilfeel adalah mereka-mereka yang nontonnya pada hari Kamis (bareng aku), Jumat, dan Sabtu. Tapi yang berencana baru akan nonton hari Senin atau Selasa-nya, kebanyakan bakal membatalkan acara nonton atau mengganti nonton film lain setelah baca tulisanku yang sinis tapi lucu dan lucu tapi sinis itu tadi!
Melihat fenomena itu, teman-temanku lantas pada punya hipotesis yang amat mencengangkan. Bagaimana jika tulisan-tulisanku berkaitan dengan pendeknya masa putar film-film Indonesia di (khususnya) Semarang? Beberapa waktu belakangan ini, tak ada film lokal yang bertahan lebih dari dua minggu. Mendadak Dangdut bahkan hanya seminggu lebih sedikit. Satu-satunya yang “selamat” hanya Heart, yang tetap diputar sampai hampir empat bulan.
Mungkin karena merasa annoyed sendiri, ada di antara para pembaca itu yang akhirnya nggak tahan untuk nggak berkomentar plus protes. Lewat rubrik Surat Pembaca pada hari Kamis 24 Agustus 2006, seorang warga Jambu, Ambarawa, yang bernama Betty W Kusuma protes keras karena ia meng-cancel niatnya nonton Cewe Matrepolis, Ekskul, dan Gotcha! gara-gara ilfeel setelah baca resensi-resensiku.
Ia menulis, “Kenapa sih penulis ulasan itu hobi mencela film dari negeri sendiri? Bukankah kita harus mencintai produk dalam negeri…?”. Betty juga menambahkan, “Tapi mbok yao, si pengulas memberi sedikit saja alasan yang bisa membuat film kita pantas ditonton. Masa iya sih semua film Indonesia nggak ada kelebihannya sama sekali…?”.
Dua hari kemudian, aku langsung ngasih tanggapan di rubrik yang sama. Pada intinya kutekankan, film adalah sebuah pengalaman yang amat personal. Terlepas dari pencapaian kualitasnya, satu film bisa ngasih efek berbeda-beda bagi tiap orang. Jadi keputusan nonton atau nggak hendaknya ya jangan terpengaruh bacaan resensiku.
Yang jelas tulisanku nggak berisi celaan, karena nggak berkaitan dengan selera dan perasaan suka atau benci. Aku merensi berdasarkan indikator-indikator yang sangat gamblang dan empirik. Ada ukurannya, ada patokannya, dan ada ilmunya, sehingga semua orang bisa mempelajari.
Sebuah film diukur dari ceritanya, logis atau nggak. Dari dialog-dialog hasil karya penulis skenario, bernas atau nggak. Dari kualitas akting para pemainnya, natural atau nggak. Dari pesan moralnya, bagus atau nggak. Dan terakhir dari sisi teknis sinematografinya, seperti camerawork, directing, editing, dll.
Dalam semua segi itu, film kita jeblok parah. Kejeblokan yang paling heboh selalu berada pada kualitas akting dan logika cerita. Akting bintang-bintang film masa sekarang 99% parah karena mereka nggak diambil dari pentas teater seperti era Didi Petet dan Christine Hakim dulu, melainkan modelling.
Penulis kita juga hobi menelurkan cerita-cerita yang minta ampun nggak logis. Contoh, dalam Mendadak Dangdut, Monty Tiwa mereka sebuah cerita fantastis tentang orang yang melarikan diri dari tahanan polisi dan bersembunyi dengan cara menyamar menjadi penyanyi dangdut organ tunggal. Ini goblok apa gueblek? Kenapa nggak sekalian menyamar menjadi penjual pecel kakilima yang menggelar dagangan di jalan depan Mabes Polri atau Mabes TNI di Cilangkap!?
Apakah yang seperti itu pantas dipuji sanjung dan diacungi dua jempol hanya karena Mendadak Dangdut dibuat oleh Rudi Soedjarwo? Di mana letak rasa cinta kita kalau kita membiarkan saja teman atau anak kita terus-menerus terbuai dan melakukan kesalahan yang sama over and over again?
Dengan sebuah “bolong-bolong” itu, satu-satunya alasan yang membuat film kita pantas ditonton hanyalah, “Kasihan dong! Masa nggak ditonton? Masa nggak rela ngeluarin duit 20 ribu aja? Mas Rudi kan udah capek-capek membuatnya siang-malem…?”.
Dan kecuali beberapa judul yang bener-bener bagus macam Petualangan Sherina, Arisan!, Janji Joni, Gie, atau Berbagi Suami, memang sungguh-sungguh nggak ada kelebihan dari semua film Indonesia saat ini. Semua dibikin dengan semangat malas. Malas untuk bereksplorasi, malas untuk “total football”, malas untuk riset, dan terutama sekali malas untuk mengukur dengan hati nurani apakah sesuatu itu sudah logis apa belum!
Kedukaanku makin bertambah karena akhir pekan lalu (8-10 September 2006), sebuah film Thailand berjudul Tom Yam Goong dirilis di Amerika dan sukses menembus Box Office dengan meraup pendapatan tiket $ 5,3 juta (Rp 50,4 miliar) pada pekan pertama sejak diputar perdana 8 September. Aku terganggu karena ini Thailand geto loch!? Kalau yang masuk BO adalah film asing buatan Taiwan (Crouching Tiger, Hidden Dragon), Italia (La Vita e Bella), Inggris (semua film James Bond), China (House of Flying Daggers), atau Prancis (March of the Penguins) sih masih wajar. Tapi Thailand? THAILAND!? Tetangga kita sendiri!?
Thailand (dan juga Korea Selatan) belakangan ini memang maju pesat dalam bisnis film. Dan sementara film mereka dibeli oleh distributor Hollywood, diedarkan di Amerika, dan sukses pula secara komersial, film terbaru kita yang berjudul I Love You, Om… masih memuat ending berisi tokoh utama yang mati tertabrak mobil dan dokter yang berucap sedih, “Kami sudah berusaha, tapi…” seperti film-film tahun 70-an.
Lima tahun lalu, ada gosip film kita akan go Hollywood. Ceritanya, Rizal Manthovani dan Jose Purnomo berangkat ke Amerika dan mempertontonkan film mereka, Jelangkung, pada produser tenar Jerry Bruckheimer (Pearl Harbor, Armageddon, CSI). Kabarnya Bruckheimer terpikat pada hasil kerja mereka dan memberi mereka kesempatan untuk men-direct film yang ia produksi. Menurut gosip waktu itu, film itu adalah sebuah film horor yang berjudul The Well dan akan beredar akhir tahun 2003.
Tapi gosip tinggal gosip, proyek itu tak pernah terealisasi. Baik Rizal maupun Jose masih ngendon di sini bikin videoklip musik seperti 10 tahun lalu. Yang sukses go Hollywood justru tetangga sebelah dari Thailand. Kita? Masih saja berucap, “Kami sudah berusaha, tapi…”
huahahahaa....
BalasHapus(*tertawa diatas penderitaan para sutradara tercela)
Saya suka baca resensi film anda di SM...karena saya sendiri sangat suka film, kritikan anda yang terkadang pedes, juga tidak membuat saya jadi tidak menyukai film tersebut...oke...maju terus bung...kritikan anda sungguh bermutu, i like it
BalasHapus