(* out of *****)
Apa yang akan Anda lakukan jika
Anda adalah seorang pria berusia 35 tahun yang dicintai seorang bocah perempuan
usia 11 tahun? Atau sebaliknya, apa yang akan Anda lakukan jika Anda adalah
anak perempuan usia 11 tahun yang jatuh cinta pada seorang pria dewasa berusia
35 tahun?
Semua pasti sepakat jika ini
merupakan sebuah ambilan tema yang menarik untuk diangkat ke layar lebar. Dan
sutradara Widy Wijaya dengan cemerlang mengangkat topik ini lewat filmnya yang
berjudul I Love You, Om… Masalahnya, cemerlang yang seperti
apa? Baik, mari kita teliti bagaimana duduk permasalahan yang sebenarnya!
Film dibuka dengan kecerewetan
Astari (Ira Wibowo) yang mengatur-atur Dion (Rachel Amanda), anak gadisnya,
saat sarapan. Astari sibuk menentukan jadwal harian Dion antara main piano,
latihan baseball, dan balet, namun terlalu sibuk sehingga tidak pernah punya
waktu untuk memperhatikan anak perempuannya itu.
Karena kurang kasih sayang,
ditambah telah kehilangan Dad yang meninggal saat ia masih berusia 5 tahun,
Dion pun mencari sumber kasih sayang lain. Dan sumber itu ia temukan berada
pada diri Gaza (Restu Sinaga), pria lajang berumur pertengahan 30-an yang
bekerja untuk ibunya sebagai tukang laundry.
Dengan cepat ia menjadi akrab
dengan Gaza. Ia bingung ketika Gaza keluar dari pekerjaannya sebagai tukang laundry. Untung kemudian
pertemuan kebetulan dengan Gaza membawanya kembali dekat dengan pria itu yang
telah pindah kerja sebagai penjaga sebuah kios rental DVD.
Di luar dugaan, kedekatan itu
ternyata menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dion. Sang Om yang baik hati pun
berubah dari teman main yang menyenangkan menjadi sebuah kisah cinta yang
menggetarkan. Dan Dion cemburu habis-habisan ketika melihat Gaza pergi berduaan
dengan Nayla (Karenina).
Secara tematik, I Love You, Om… adalah sebuah suguhan yang baru dan
menggugah. Banyak elemen menarik tersimpan dalam sebuah jalinan cinta antara
dua insan yang berbeda usia sampai 24 tahun (mengingatkan kita pada Catherine
Zeta-Jones dan Michael Douglas, bukan?).
Daya tarik lain muncul dari power
akting yang ditunjukkan bintang cilik Rachel Amanda. Dengan gesture, bahasa tubuh, dan
permainan mimik muka yang sedemikian hidup, kita semua patut heran dan
mempertanyakan mengapa baru sekarang ia “diperbolehkan” untuk menjadi aktris
utama sebuah film.
Rachel dengan telak mampu
menghabisi permainan akting semua lawan mainnya di sini. Jangankan Restu Sinaga
dan Karenina yang bermain canggung macam latihan drama anak-anak SMP, pamor
aktris senior Ira Wibowo pun tak tertolong lagi meredup karena Rachel (plus
Teuku As’Sadiq yang bermain sebagai Dafi) mampu mencuri perhatian dalam setiap scene tempat ia hadir.
Sayang semua nilai lebih dan daya
tarik ini dirusak sendiri oleh "kecemerlangan" yang ditunjukkan oleh
Widy Wijaya dan Aviv Elham sebagai penulis skenario. Ya, keduanya cemerlang
dalam hal menyia-nyiakan sebuah materi bagus yang berpotensi menjadi tontonan
berbobot. Mereka seperti koki yang diberi kaviar tapi malah mengolahnya menjadi
umpan pancing!
Apa yang menarik dari I Love You, Om… adalah premisnya. Kisah tentang gadis
kecil yang jatuh cinta pada pria dewasa adalah sama menarik dengan cerita
tentang gadis cilik sok tua dan perempuan dewasa kekanak-kanakan sebagaimana
yang hadir dalam Uptown Girls arahan sutradara Boaz Yakin.
Cerita-cerita seperti ini akan
jadi sebuah kisah yang menarik jika permasalahan yang muncul ditinjau dari
sudut pandang karakter masing-masing tokoh serta efek yang kemudian
berlangsung.
Dari angle Gaza yang kaget saat mengetahui ia
dicintai seorang gadis cilik, dari angle Dion yang bingung kala menyadari ia
jatuh cinta pada seorang pria yang lebih pas menjadi ayahnya, dan terutama dari angle Astari yang panik ketika melihat siapa
yang selama ini telah membuat anak tunggalnya menjadi melankolis.
Namun bukannya melihat
problematika dari sudut itu, Widy dan Aviv justru memotretnya dengan kacamata
normatif plus imbuhan bumbu soal paedofilia. Bahwa percintaan antara Dion
dengan Gaza adalah tabu dan terlarang sehingga darinya akan dapat diletuskan
menjadi ledakan-ledakan emosi yang dramatis dan spektakuler.
Ini jelas bukan pilihan garapan
tematik yang brilian. Percintaan antara Catherine Zeta-Jones dan Michael
Douglas memang akan terasa tabu saat Catherine baru berumur 7 atau 8 tahun.
Untungnya, mereka bertemu saat Catherine telah berusia akhir 20-an, sehingga
kalau masih ada orang yang berpendapat hubungan mereka terlarang, orang malang
bersangkutan harus secepatnya diinapkan ke institusi rehabilitasi mental!
Jika Dion dan Gaza adalah
sama-sama entitas cerdas dari dunia nyata dan mereka benar-benar berniat
memperjuangkan cinta mereka, maka mereka hanya perlu menunggu antara lima
hingga enam tahun sehingga semua takkan jadi kontroversial lagi. Permasalahan
pun tak perlu diselesaikan dengan perpisahan dan tokoh yang “dipaksa” mati
tertabrak mobil.
Ups…! Ada yang mati lagi? Yap,
mirip dengan Rachel (Nirina Zubir) yang tewas tak jelas dalam Heart, I Love You, Om… juga membunuh salah satu karakternya
dengan peristiwa tabrakan dan dialog yang wajib diucapkan setiap dokter dalam film
Indonesia, yaitu “Kami sudah berusaha, tapi…”!
Jati diri siapa tokoh yang
meninggal tersebut tentu saja tak perlu diungkap di dalam kesempatan ini agar
tak mengurangi kenyamanan Anda dalam menonton!
Gangguan lain yang muncul adalah
begitu berlimpahnya film ini dengan unsur-unsur yang useless dan tak perlu.
Kisah tentang Nayla yang masih sibuk mengejar-ngejar Gaza masih penting
dihadirkan karena menambah seru jalinan cinta segi tiga nan aneh yang terbentuk
antara mereka berdua dan Dion.
Tapi subplot tentang Nayla yang
pacaran sesama jenis dengan guru balet Dion, Nayla yang membunuh fotografernya
dengan hantaman kamera, dan Nayla yang bingung karena hamil di luar nikah,
menjadi sia-sia karena berkesan asal tempel dan, yang lebih buruk lagi, tidak
terselesaikan dengan klimaks serta solusi yang memadai.
Selain itu terasa janggal
mencermati plot dan premis yang sangat kental bernuansa komedi romantis namun
akhirnya justru kembali ke “khittah” menjadi sebuah melodrama konvensional yang
penuh adegan tangis emosional.
Pada akhirnya I Love You, Om… memang mirip kisah cinta seorang gadis
cilik dengan pria dewasa yang berusia dua dekade lebih senior. Hanya saja, si
gadis belakangan mengetahui bahwa sang pujaan hati ternyata punya banyak organ
tubuh yang tak berguna, seperti ekor, tanduk, gading, dan suara mengembik…
(Dimuat di Suara Merdeka, 10 September
2006)
Punya filmnya tidak? Banyak saya baca review2 blog2 yg bilang acting raxhel amanda memang fantastis di film ini,tapi saya cari2 di youtube dan web tidak tersedia film ini full version
BalasHapusPunya filmnya tidak? Banyak saya baca review2 blog2 yg bilang acting raxhel amanda memang fantastis di film ini,tapi saya cari2 di youtube dan web tidak tersedia film ini full version
BalasHapusSumpah keren banget ini film
BalasHapusAda link film nya Ndak ya,soalnya di google sudah pada not found...help plisss...��
BalasHapusKangen sama film ini tapi link sudah nota found
BalasHapusAku sudah nonton, dan film nya bagus juga XD
BalasHapus