![]() |
(Foto: kapanlagi.com) |
Di dalam kamus anak gaul zaman now
terdapat suatu istilah yang disebut salfok. Ini merupakan kependekan dari salah
fokus, digunakan dalam keadaan ketika pada kita dipaparkan sesuatu namun kita
malah justru lebih memperhatikan hal printilan yang tidak urgen dari hal
tersebut. Misal ada foto cewek cantik tapi kita justru lebih tertarik pada pot
bunga di pojok belakang foto. Situasi yang sama terjadi saat aku menonton film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar.
Normalnya sebuah film horor, tentu yang paling kita antisipasi adalah
unsur horornya, yaitu parade hantu dengan segala keseraman rupa sekaligus
ancaman yang diberikannya pada para tokoh utama. Tapi ternyata elemen paling
menarik film yang merupakan remake
dari film berjudul sama keluaran tahun 1980 itu justru berada pada hal lain
sama sekali, yaitu pembentukan nuansa 1980-annya yang sangat jitu.
Latar waktu Pengabdi Setan
versi 2017 memang mengambil masa dari film originalnya, tepatnya tahun 1981
(tahun kelahiran Zlatan Ibrahimovic dan Bambang Pamungkas). Cerita berkisar
soal sakit aneh yang diderita penyanyi veteran Mawarni Suwono (Ayu Laksmi).
Penyakit ini, for some reason,
membuatnya memiliki wujud dan baju mirip kuntilanak. Gara-gara penyakitnya ini,
keuangan keluarga terkuras, dan membuat suaminya (tanpa nama, hanya disebut
“Bapak” di Wikipedia; diperankan Bront Palarae) dan putri sulungnya, Rini (Tara
Basro), puyeng.
Mawarni yang pernah ngetop dengan singel Kelam Malam (aslinya dibawakan The Spouse) akhirnya meninggal. Rini
dan tiga adiknya, Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz), serta Ian (M.
Adhiyat) yang tuna wicara, terpaksa hidup sebagai anak piatu. Situasi makin
kelam ketika Nenek Rahma Saidah (Elly D. Luthfan) tewas kecemplung sumur di
tengah teror hantu arwah Mawarni yang makin lama makin menyeramkan.
Sepucuk surat yang belum sempat terkirim dari Nenek kepada seorang pria
bernama Budiman Syailendra (Egy Fedly) kemudian membawa Rini mendatangi pria
tersebut untuk mencari info. Ia ditemani Hendra (Dimas Aditya), putra Pak Ustad
(Arswendi Nasution) kampung Rini. Budiman ternyata seorang penulis di majalah
klenik Maya. Ia teman dari almarhumah Nenek, yang menginformasikan bahwa
almarhumah Mawarni terlibat sekte sesat agar bisa punya anak, karena ia dan
suaminya tak kunjung dikaruniai anak setelah menikah bertahun-tahun.
Cerita kemudian beranjak pada narasi khas film horor, yaitu “aturan
hukum” kehantuan sehingga masalah dengan para demit bisa diselesaikan. Dalam
kasus hantu Mawarni, solusi datang dari artikel Budiman di majalah Maya tentang
tumbal anggota sekte sesat itu, berupa anak hasil kegiatan di sekte yang harus
diserahkan pada lelembut saat berusia 7 tahun dengan cara “dijemput mayat
hidup”.
Secara kaidah-kaidah sinematek, besutan Joko Anwar ini prima sekali.
Tak aneh. Dia sudah go international
di level benua saat dipercaya menyutradarai musim pertama serial horor Halfworlds di HBO Asia tahun 2015 lalu.
Gambar oke, akting normal (meski agak kaku), pencahayaan bagus, dan terutama
musik serta sound effect-nya. Aku
bahkan ngefans sekali lagu Kelam Malam
itu, yang sangat terasa aroma jadulnya, meski warga biasa tahun 1981 harusnya
nyetel kaset instead of piringan
hitam vinyl.
Namun bagian terkeren adalah segala pernak-pernik tahun 1980-an yang
berhasil dihadirkan Joko. Radio transistor, majalah anak-anak, bus kota, dan
juga cassette player (dulu sebutannya
“radio tip”), sangat menggugah nostalgia. Apalagi nukilan klip audio sandiwara
radio Butir-butir Pasir di Laut
arahan sutradara John Simamora yang dulu mengudara lewat RRI. Ini hampir
selevel dengan keberhasilan The Duffer Brothers menampilkan dunia 80s di serial
Netflix, Stranger Things.
Bagian inilah yang membuat aku salfok pada filmnya. Tak lagi
memperhatikan hantu-hantu, namun justru pernak-pernik 80-an di dalamnya yang betul-betul
bagus. Akan halnya para hantu sendiri, sama sekali gagal membuat aku takut.
Malah justru ketawa, apalagi pas bagian Mawarni nongol di tempat tidur
suaminya. Tapi itu tentu bukan kegagalan filmnya, semata masalah aku yang sudah
kehilangan rasa pada lelembut.
Masalah terbesar Pengabdi Setan,
seperti pada umumnya film nasional, bukan pada teknis pencapaian sinemateknya,
melainkan penulisan skenario. Banyak hal mengganggu dari skenarionya, yang
dikerjakan sendiri oleh Joko. Dan itu justru ada pada hal-hal kecil yang pasti
terlewatkan oleh siapapun kecuali aku. Salah satunya adegan saat Hendra
ditelepon Budiman, yang membuat ia datang ke “kota” (entah kota mana, Ndumpil
barangkali) lalu mati terlindas truk (adegan tragisnya sendiri bagus, anyway).
Ini jelas aneh, sebab Rini ketika itu pas ada di rumah Hendra. Pada
adegan sebelumnya diinformasikan, telepon rumah Rini sudah diputus karena nunggak
tagihan. Lalu, saat menemani Rini mengunjungi flat Budiman, Hendra menyerahkan
nomor teleponnya jika sewaktu-waktu Budiman ada kabar. Saat kemudian Budiman
menelepon Hendra, sudah pasti ia ingin bicara dengan Rini (lalu Hendra lari ke
rumah Rini memanggilnya). Atau jika Rini tak mungkin dipanggil saat itu juga,
Budiman akan menelepon kembali beberapa menit kemudian sesudah Rini ada di
rumah Hendra.
Karena kebetulan saat itu Rini dan adik-adiknya tengah mengungsi ke
rumah Hendra, tentu reaksi normal hendra adalah langsung menyerahkan gagang
telepon pada Rini. Budiman pun bisa langsung menyampaikan ralat tulisannya pada
Rini di telepon, tak perlu pakai ketikan artikel. Dan itu tidak saja akan
menyelamatkan nyawa Hendra, namun juga menyelamatkan film dari cacat fatal
berikutnya: jenazah korban laka lalin karena terlindas truk malah dibawa balik
ke rumah? Buat apa? Nakutin Bu RT?
Posisi Budiman juga questionable.
Tak ada penjelasan mengapa ia tak bisa atau tak boleh datang langsung untuk
membantu, sehingga hanya bisa memberi solusi lewat artikel di majalah. Namun ujug-ujug dia bisa datang mak bedunduk
pada malam penentuan ketika rumah Rini diserbu zombie, mungkin extras zombie dari studio sebelah yang
tengah syuting The Walking Dead
nyasar salah masuk ke lokasi syuting Pengabdi
Setan! Dan tanpa penjelasan juga mengapa dia, malam itu, mendadak tergerak
datang, dan bukan sekian hari sebelumnya saat Rini datang menemuinya kali
pertama.
Tapi tentu saja, hal-hal mikroskopis itu hanya aku saja yang kepikiran.
Karenanya, sebetulnya film Pengabdi Setan
tak ada problem apa-apa. Make up-nya luar biasa keren untuk menakuti penonton,
dan terutama suara lonceng itu, yang asli menyeramkan. Teknik jumpscare-nya pun oke. Meski sudah
mengantisipasi (karena sudah kenyang film horor), tetap saja aku kaget dan nJondhil.
Dengan situasi seperti ini, sekuel Pengabdi Setan jelas sangat ditunggu,
apalagi jika kursi sutradara tetap dipercayakan pada Joko Anwar. Untuk skenario
mending pasrahkan saja pada pakar horor seperti Ruwi Meita. Pasti lebih joss.
0 komentar:
Posting Komentar