scribo ergo sum

Selasa, 15 Mei 2018

"The Punisher" dan Level Baru Superhero

11:12 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Comic Confidential)

Kelebihan utama kisah superhero masa kini, terutama dalam MCU alias Marvel Cinematic Universe, adalah pada sisi dekonstruksi sosok kepahlawanannya itu. Para manusia super tak lagi dipotret sebagai selebritas penuh gaya berkostum manyala, yang begitu muncul semua masalah terselesaikan, namun semata orang yang menonjol berkat sesuatu yang bisa ia lakukan dengan sangat baik. Di luar itu, ia tetaplah manusia biasa.

Kesan itu nampak dalam sajian terbaru kerja sama antara Marvel Studio dan Netflix, yaitu Marvel’s The Punisher. Frank Castle (Jon Berthal) di versi ini bukan manusia super berkostum gambar tengkorak yang beraksi tanpa tanding, melainkan justru manusia sakit jiwa yang tengah mencari pelampiasan terhadap hidup yang menjelma neraka. Bahwa ia pakar dalam soal persenjataan dan hand-to-hand combat, itu sudah soal lain sama sekali.
Sebelumnya, background Castle sudah terkuak di musim kedua serial Marvel’s Daredevil. Saat itu ia bersilang jalan dengan Matt Murdock alias Daredevil yang tengah perang melawan organisasi misterius The Hand. Dari awalnya bertarung, keduanya kemudian saling bantu, meski tetap dengan mempertahankan ego dan opini masing-masing tentang hidup.
Di The Punisher, kisah itu berlanjut. Persoalan yang melatarbelakangi pembantaian atas keluarga Castle ternyata jauh lebih besar dari yang awalnya terlihat. Ini melibatkan tewasnya seorang informan Department of Homeland Security di Afghanistan dan misi rahasia CIA yang didanai penjualan heroin. Dalang semua itu, Wakil Direktur CIA William Rawlins (Paul Schulze) kini menggunakan mesin pembunuhnya, Letnan William Russo (Ben Barnes) untuk menghabisi semua yang mengetahui Operasi Cerberus, salah satunya Castle.
Untuk membalas dendam pembantaian keluarganya, Castle terpaksa mau bekerjasama dengan pakar komputer David Lieberman alias Micro (Ebon Moss-Bachrach) dan agen Homeland bernama Dinah Madani (Amber Ross Revah). Ia juga dibantu temannya dari serial Daredevil, wartawan Karen Page (Deborah Ann Woll).
Sebagaimana serial-serial MCU lain di Netflix, The Punisher juga tersusun atas 13 episode permusim. Latar, karakter, dan kepingan kisahnya tersambung dengan Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage, Iron Fist, dan juga serial gabungan The Defenders. Bukan tidak mungkin pada musim keduanya nanti, The Defenders akan menghadirkan Frank Castle sebagai anggota baru melengkapi formasi kuartet musim pertamanya.
Begitu masuk agak dalam ke serial satu ini, kita akan tahu bahwa The Punisher sesungguhnya bukan sebuah kisah superhero berkostum. Ia justru lebih mirip film-film eksyen militer-konspirasi yang dibintangi Jean-Claude van Damme, Steven Seagall, atau John Cena. Sang protagonis mengalami kehancuran hidup dan kemudian mengabaikan semua aturan untuk membalas dendam. Di tengah jalan ada percintaan dan sahabat yang ternyata tak sebagaimana yang selama ini terlihat.
Kelebihan utamanya adalah proses kastingnya, yang dengan brilian memilih aktor Jon Bernthal sebagai sang serdadu sakit jiwa. Dibanding pemeran versi sebelumnya dari Frank Castle, yaitu Thomas Jane, Bernthal benar-benar bisa memberikan sentuhan emosi yang maksimal terhadap tokoh ini. Dan itu sudah terlihat sejak ia masuk jadi salah satu pemeran pendukung di musim kedua Daredevil. Di sana, ia sukses mencuri perhatian pemirsa dari sang “pemilik” serial, yaitu si pengacara buta Matt Murdock yang diperankan Charlie Cox.
Dan mirip seperti karakter utamanya yang tanpa pandang bulu dalam melakukan tindak kekerasan, nyaris seluruh unsur serialnya pun dekat dengan hal itu. Darah di mana-mana, leher disayat, orang-orang melakukan pembunuhan semudah menekan tombol saklar lampu, dan terutama pada bagian klimaks, ketika Castle melakukan sesuatu yang spektakuler pada diri Russo. Anak-anak dan mereka yang berperut lemah sangat tak dianjurkan nonton ini (dan juga yang sejenis Spartacus atau Game of Thrones!).
Meski belum sekuat Daredevil dan terutama Jessica Jones, The Punisher sangat berhasil sebagai sebuah tontonan. Ia membawa kita kepada level pemahaman baru bahwa sosok superhero itu tak benar-benar ada. Sebagaimana selebritas dunia hiburan, pahlawan super semata hanyalah ilusi. Dan ia ada hanya karena diciptakan oleh media dan warna baju. Tapi di sisi lain, kita juga paham bahwa kita semua sebenarnya adalah superhero dalam kehidupan masing-masing, yaitu hanya apabila kita punya sesuatu yang bisa kita lakukan dengan baik dan memberi efek bagi masyarakat luas.
Kelemahan The Punisher ada pada tema cerita, yang tak menghadirkan satu pun material baru. Konspirasi seputar dunia militer dan spionase sudah kerap kali dibahas. Serial The Blacklist dan NCIS: Los Angeles jauh lebih jago memotret fenomena ini. Selain itu, penggunaan elemen kisah “back from the dead” yang ada di lebih dari satu tokoh membuat efek kejutnya tak lagi terasa.
Meski begitu, The Punisher pun menambah panjang daftar keberhasilan kerja sama antara Marvel Studio dan Netflix. Serial-serial MCU di stasiun TV streaming satu ini menonjol berkat kekhasan temanya masing-masing—kecuali Iron Fist yang lemah dalam orisinalitas dan seperti hanya sekadar “versi terang benderang dari Daredevil”. Diproduseri Alan Fine, Stan Lee, dan Joe Quesada, serial ini dirilis 17 November 2017 lalu. Ketigabelas episode digelar serempak agar pemirsa terdorong untuk melakukan binge watching (nonton beberapa episode sekaligus, dan bukan “diecer” perminggu seperti serial-serial di TV konvensional).
Kuatnya basis pemirsa dari kalangan penggemar MCU (salah satunya aku) membuat musim kedua sudah langsung disiapkan untuk tahun depan. Dan kita akan menunggu dengan tokoh dari serial mana lagi Frank Castle akan dipertemukan. Seru kalau misal ketemu teman-teman Thor dari Asgard. The Punisher pun akan berganti genre dari drama militer-konspirasi ke kisah fantasi!

0 komentar:

Posting Komentar