![]() |
(Foto: Vox) |
Ada suatu perasaan yang aneh saat aku menonton dua episode awal serial Marvel Inhumans yang di Amrik sana
tayang melalui jaringan TV ABC. Semacam perasaan hampa, hambar, dan tak
tertarik untuk lanjut nonton karena tak merasakan koneksi sama sekali dengan
perjuangan tokoh-tokohnya. Begitu aku lihat rating
Rotten Tomatoes, perasaan anehku terkonfirmasi.
Mau tahu angkanya? Sepuluh persen. Yup, hanya 10! Dari sekian banyak review kritikus resmi yang dikumpulkan
laman itu, hanya 10% saja yang menyatakan Inhumans
bagus. Sisanya mengecam pedas, dan menyatakan bahwa serial yang digarap
(skenarionya juga ditulis) oleh Scott Buck ini bahkan “Set a new low standard for a product from MCU”. Ia “mengalahkan”
standar bawah produk sinema Marvel terendah sebelumnya, yaitu Iron Fist (juga diproduseri Scott Buck)
di Netflix, dengan skor 58. Dengan produk lain (baik film layar lebar maupun
serial TV) berada pada angka di atas 75, Inhumans
benar-benar bisa dikatakan gatot alias gagal total.
Seperti judulnya, serial ini berkisah soal ras manusia linuwih Inhumans, yang kali pertama
diperkenalkan di season ketiga dan
keempat serial MCU lainnya di ABC, Marvel
Agents of S.H.I.E.L.D. (Pffft...! Ngetik judul serial yang ini selalu bikin
jari jadi rumit), pada diri Daisy Johnson alias Skye alias Quake. Selain yang
ada di kota tersembunyi di Himalaya yang ditemui Daisy dan Agen Coulson di
serial tersebut, para Inhumans ternyata punya negara sendiri, yaitu Attlinan
yang ada di Bulan.
Lokasi keberadaan Attilan tersembunyi oleh semacam medan magnetik
penyelubung, sehingga para astronom di Bumi tak bisa melihatnya. Keanehan
muncul saat kudeta yang dipicu Maximus (Iwan Rheon, yang dibenci gara-gara
perannya sebagai Ramsay Bolton di Game of
Thrones) membuat Keluarga Kerajaan Attilan eksodus ke Bumi, tepatnya di
Hawaii. Mereka terdiri atas Raja Black Bolt (Anson Mount), Ratu Medusa (Serinda
Swan), dan dua pengawal mereka, Gorgon (Eme Ikwakor) serta Karnak (Ken Leung).
Secara struktural, Inhumans sama dengan para X-Men, memiliki
kedigdayaan karena mutasi gen. Black Bolt terpaksa puasa mbisu karena suaranya
bisa membunuh orang. Medusa punya rambut yang bisa bergerak sendiri untuk
menampar atau mencekik. Sedang Daisy bisa memicu getaran gempa, maka berjuluk
Quake. Bedanya, bila X-Men mengalami mutasi genetika sejak lahir, gen para
Inhumans baru bermutasi saat akil balik, sebagai efek dari terpaan energi
kristal ajaib bernama Terrigen Mist milik makhluk Kree terhadap diri mereka.
Problem utama Inhumans, seperti
film dan serial lain dengan approval
rating rendah, adalah pada penulisan. Dialog-dialognya enggak banget. Kayak
bukan produksi Hollywood, atau mungkin karena dikerjakan tergesa-gesa. Tak ada
ketajaman dan kegetiran seperti di serial-serial MCU Netflix terutama Jessica Jones. Efeknya pun seperti
reaksi berantai. Elemen yang lain jadi ikut remuk, terutama kemampuan para
aktornya mengeksekusi akting.
Logika cerita ikutan hampa. Kudeta Maximus terlalu gampang. Cukup
dengan memobilisasi pasukan yang setia padanya, Raja dan Ratu langsung ngungsi.
Kalau mereka bisa dikudeta semudah itu, memangnya sejak kapan keduanya memegang
kerajaan? Dua pekan yang lalu? Black Bolt dan Medusa agaknya belum baca sejarah
Lady Jane Grey di Inggris, yang bertahta hanya dalam sembilan hari dari tanggal
10 hingga 19 Juli 1553.
Para produser serial-serial dari shared
universe superhero selalu dengan heroik menyatakan “Kami belum ada rencana crossover dengan serial sejawat sejauh
ini”, namun Inhumans jelas butuh crossover. Misal dengan Daisy, Coulson,
tim Runaways, atau Jessica Jones dan Nurse Temple. Itu perlu untuk membuatnya
jauh lebih menarik, karena tokoh-tokoh originalnya sejauh ini terlihat datar
dan dangkal. Pada musim kedua barangkali, itu pun kalau diperpanjang oleh ABC
dan tak langsung di-cancel hanya dalam semusim seperti Constantine di NBC.
Sangat disayangkan,
padahal Inhumans (dan juga Marvel Runaways di Hulu) mengawali
periode kerjasama Marvel dengan IMAX, yang memungkinkan penggunaan efek spesial
secara lebih masif melalui gambar-gambar 3D. Ini membuat serial-serial TV MCU
secara gambar sejajar dengan film layar lebar, sehingga layak diputar di gedung
bioskop sebagaimana halnya FTV Hujan di
Hati Stephie yang diputar di layar E-Plaza satu dekade lalu...
0 komentar:
Posting Komentar