scribo ergo sum

Minggu, 18 Maret 2018

Standar Jelek Marvel

11:26 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Vox)
Ada suatu perasaan yang aneh saat aku menonton dua episode awal serial Marvel Inhumans yang di Amrik sana tayang melalui jaringan TV ABC. Semacam perasaan hampa, hambar, dan tak tertarik untuk lanjut nonton karena tak merasakan koneksi sama sekali dengan perjuangan tokoh-tokohnya. Begitu aku lihat rating Rotten Tomatoes, perasaan anehku terkonfirmasi.
Mau tahu angkanya? Sepuluh persen. Yup, hanya 10! Dari sekian banyak review kritikus resmi yang dikumpulkan laman itu, hanya 10% saja yang menyatakan Inhumans bagus. Sisanya mengecam pedas, dan menyatakan bahwa serial yang digarap (skenarionya juga ditulis) oleh Scott Buck ini bahkan “Set a new low standard for a product from MCU”. Ia “mengalahkan” standar bawah produk sinema Marvel terendah sebelumnya, yaitu Iron Fist (juga diproduseri Scott Buck) di Netflix, dengan skor 58. Dengan produk lain (baik film layar lebar maupun serial TV) berada pada angka di atas 75, Inhumans benar-benar bisa dikatakan gatot alias gagal total.
Seperti judulnya, serial ini berkisah soal ras manusia linuwih Inhumans, yang kali pertama diperkenalkan di season ketiga dan keempat serial MCU lainnya di ABC, Marvel Agents of S.H.I.E.L.D. (Pffft...! Ngetik judul serial yang ini selalu bikin jari jadi rumit), pada diri Daisy Johnson alias Skye alias Quake. Selain yang ada di kota tersembunyi di Himalaya yang ditemui Daisy dan Agen Coulson di serial tersebut, para Inhumans ternyata punya negara sendiri, yaitu Attlinan yang ada di Bulan.
Lokasi keberadaan Attilan tersembunyi oleh semacam medan magnetik penyelubung, sehingga para astronom di Bumi tak bisa melihatnya. Keanehan muncul saat kudeta yang dipicu Maximus (Iwan Rheon, yang dibenci gara-gara perannya sebagai Ramsay Bolton di Game of Thrones) membuat Keluarga Kerajaan Attilan eksodus ke Bumi, tepatnya di Hawaii. Mereka terdiri atas Raja Black Bolt (Anson Mount), Ratu Medusa (Serinda Swan), dan dua pengawal mereka, Gorgon (Eme Ikwakor) serta Karnak (Ken Leung).
Secara struktural, Inhumans sama dengan para X-Men, memiliki kedigdayaan karena mutasi gen. Black Bolt terpaksa puasa mbisu karena suaranya bisa membunuh orang. Medusa punya rambut yang bisa bergerak sendiri untuk menampar atau mencekik. Sedang Daisy bisa memicu getaran gempa, maka berjuluk Quake. Bedanya, bila X-Men mengalami mutasi genetika sejak lahir, gen para Inhumans baru bermutasi saat akil balik, sebagai efek dari terpaan energi kristal ajaib bernama Terrigen Mist milik makhluk Kree terhadap diri mereka.
Problem utama Inhumans, seperti film dan serial lain dengan approval rating rendah, adalah pada penulisan. Dialog-dialognya enggak banget. Kayak bukan produksi Hollywood, atau mungkin karena dikerjakan tergesa-gesa. Tak ada ketajaman dan kegetiran seperti di serial-serial MCU Netflix terutama Jessica Jones. Efeknya pun seperti reaksi berantai. Elemen yang lain jadi ikut remuk, terutama kemampuan para aktornya mengeksekusi akting.
Logika cerita ikutan hampa. Kudeta Maximus terlalu gampang. Cukup dengan memobilisasi pasukan yang setia padanya, Raja dan Ratu langsung ngungsi. Kalau mereka bisa dikudeta semudah itu, memangnya sejak kapan keduanya memegang kerajaan? Dua pekan yang lalu? Black Bolt dan Medusa agaknya belum baca sejarah Lady Jane Grey di Inggris, yang bertahta hanya dalam sembilan hari dari tanggal 10 hingga 19 Juli 1553.
Para produser serial-serial dari shared universe superhero selalu dengan heroik menyatakan “Kami belum ada rencana crossover dengan serial sejawat sejauh ini”, namun Inhumans jelas butuh crossover. Misal dengan Daisy, Coulson, tim Runaways, atau Jessica Jones dan Nurse Temple. Itu perlu untuk membuatnya jauh lebih menarik, karena tokoh-tokoh originalnya sejauh ini terlihat datar dan dangkal. Pada musim kedua barangkali, itu pun kalau diperpanjang oleh ABC dan tak langsung di-cancel hanya dalam semusim seperti Constantine di NBC.
Sangat disayangkan, padahal Inhumans (dan juga Marvel Runaways di Hulu) mengawali periode kerjasama Marvel dengan IMAX, yang memungkinkan penggunaan efek spesial secara lebih masif melalui gambar-gambar 3D. Ini membuat serial-serial TV MCU secara gambar sejajar dengan film layar lebar, sehingga layak diputar di gedung bioskop sebagaimana halnya FTV Hujan di Hati Stephie yang diputar di layar E-Plaza satu dekade lalu...

0 komentar:

Posting Komentar