scribo ergo sum

Selasa, 11 Oktober 2016

Mari Mencari "Axis Mundi"!

17:34 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Gramedia)
“Monoteisme menunjukkan struktur represi atas libido. Hasilnya bukan suatu keseimbangan yang alami, melainkan ketegangan syaraf. Monoteisme membutuhkan banyak hukum untuk menekan libido, dan akibatnya banyak kompensasi untuk menyeimbangkan ketegangan syarafnya. Salah satu bentuk kompensasi yang paling utama adalah gambaran tentang setan. Gambaran ini bisa berupa bayangan belaka. Tapi, kenyataannya, lebih sering diproyeksikan kepada orang lain atau kelompok lain. Karena itu, monoteisme selalu memerlukan musuh, agar mereka bisa memproyeksikan libido-tertekan mereka ke sana. Kompensasinya, monoteisme selalu takut bahwa pengikutnya akan pindah ke agama musuh.”

Kutipan ini berasal dari halaman 137 novel Lalita karangan Ayu Utami, yang merupakan bagian ketiga seri Bilangan Fu, setelah Bilangan Fu dan Manjali & Cakrabirawa. Itu bukan opini sang pengarang mengenai sesuatu. Bukan juga petikan dialog. Atau penjelasan mengenai pokok pikiran yang dijadikan tema cerita. Itu merupakan kesimpulan analitik ilmiah dari tokoh di dalam buku yang bernama Anshel Eibenschutz, seorang warga Austria berdarah Yahudi.
Anshel adalah kakek Lalita Vistara, perempuan smart-sexy berusia pertengahan 40-an yang namanya diambil untuk judul novel ini. Ia ilmuwan psikoanalis, murid dari sang legenda Sigmund Freud, yang pencariannya akan bagan-bagan konsentris semesta membuatnya terusir dari grup ilmuwan. Anshel kemudian pulang ke satu titik berjarak puluhan ribu kilometer dari kampung halamannya di Wina menuju tempat yang ia temukan sebagai axis mundi alias poros dunia: Candi Borobudur.
Lalita sendiri mengajarkan axis mundi itu pada Sandi Yuda secara seksual, yang menimbulkan sensasi tutup botol sampanye. Dan itu memperkeruh hubungan cintanya dengan Marja sang kekasih. Juga dengan sahabatnya yang berjari dua belas, Parang Jati. Konflik cinta segitiga menyatu dengan pencarian ilmu sejati melalui Buku Indigo karya Anshel yang hilang karena diminati pemerintah RRC.
Membaca novel seperti ini adalah sebuah petualangan dalam segala titik, bukan semata hiburan pengisi waktu senggang untuk menunggu kita dibuat terpukau oleh keserbasempurnaan tokoh, gaya hidup urban penuh benda mewah berharga selangit, maupun momen-momen inspiratif yang menakjubkan. Kita akan berasa seperti diajak mengarungi jeram yang asing yang kelokan serta naik-turunnya sama sekali belum kita ketahui sebelumnya.
Tak ada yang formulaic. Semua serba baru dan ori. Memang ada cinta segitiga para remaja, namun tak berujung seperti pada umumnya kisah-kisah romantik era millenium baru, yaitu entah bagaimana caranya, si A pasti jadian dengan si B sesuai tuntutan ke-mainstream-an—whether it masuk akal or not. Dan si C terpaksa diusir demi, itu tadi, kehendak arus utama yang dimaui pembaca kontemporer. Karena melawan arus dikhawatirkan akan menggerus angka penjualan di gerai buku.
Dan kita bahkan tak akan peduli itu. Pembaca awam umumnya menyimak sebuah karya fiksi untuk melihat apa yang kemudian terjadi, dan apakah ending-nya happy atau unhappy. Tapi pada sebuah karya seperti Lalita, itu tiba-tiba menjadi sangat tak berarti. Masalah kisah cinta segitiga Yuda, Marja, dan Jati pun jadi terlihat begitu sepele bila dibandingkan dengan semua kerumitan soal bagan konsentris alam semesta yang ditemukan Anshel dan ia cetuskan menjadi ilmu baru bernama kimalogi.
Di sini, pembaca diseret oleh banyak hal. Yang paling awal adalah kekuatan kata-kata. Jika John Green dalam The Fault in Our Stars menghadiahkan satu buku penuh berisi memorable quotes tanpa henti, maka Ayu Utami membuat kita terlihat goblok dengan kata-katanya. Banyak kata baru dan aneh yang dipakai dan perlu dicatat, seperti “penyula” (aku jadi tahu terjemahan dari nama “Vlad the Impaler”), “kemelekatan”, atau “rambang asap”.
Kata-kata tak biasa itu pada gilirannya membawa kita untuk memandang hal-hal umum dalam hidup keseharian dengan perspektif beda. Mal, tempat bersantai dan berbelanja favorit kita semua, diistilahkan sebagai kurungan dunia artifisial yang berbatas dari dunia nyata yang gerah oleh dinding-dinding kaca. Dan di sana, kita menjadi robot kapitalistik yang dipermainkan oleh puluhan lambang warna-warni yang memagnet dan memperbudak kita kian-kemari dalam alur zig-zag di lorong-lorong yang sejuk dan kaku.
Lifestyle pun jadi terlihat lain. Pandom hidup kaum urban kelas menengah metropolitan yang menjadi hal sakral dalam kisah-kisah young adult dan chicklit jadi terlihat aneh. Mengapa orang gemar beli barang-barang bermerek berharga puluhan juta? Mengapa orang mendadak jadi sangat suka berbahasa Ainglisyh? Sama seperti hal-hal lain, semua ternyata hanya upaya menemukan bagian pusat, tapi malah terjebak di tepi dan terseret dalam aneka kejadian aneh.
Dan berikutnya, sama seperti saat kita terpukau oleh keberlimpahan data dan fakta sebagaimana dalam novel-novel thriller-konspirasi Dan Brown, hal yang sama terjadi di Lalita. Kita melongo melihat urusan fotografi bisa berkait dengan reinkarnasi, ajaran Buddha yang membentuk lingkaran penuh dari Sriwijaya ke Tibet, seksualitas, dan nama-nama tokoh sejarah seperti Vlad III (Vlad sang Drakula), Freud, Carl Gustav Jung, hingga Claude Debussy. Lalu semua bermuara ke area di dekat rumahku, yaitu Bukit Menoreh, Kali Progo, dan Candi Borobudur.
Di sisi ini, Ayu jauh lebih unggul dari Brown karena tak menyetir kita semata dalam pertanyaan “Habis ini lalu tokohnya ngapain?”. Ia menapak setingkat lebih tinggi dengan memainkan aneka simbol yang melaju selaras dengan alur cerita. Semua serbasinkron dalam semua aspek kehidupan, yaitu tentang pencarian poros dunia (axis mundi) dengan terlebih dulu mengalami kejadian aneh-aneh (chaos) pada bagian-bagian pinggir.
Efek page turner (sibuk membalik halaman) pun berlangsung bukan karena penasaran oleh rentetan cliffhanger, melainkan karena semata bertualang. Seperti jika kita bepergian bukan untuk sesegera mungkin tiba di tempat tujuan, namun memang untuk menyelami perjalanannya. Maka kita tak akan terlalu terganggu jika tak tahu rentetan cerita sebelumnya karena belum baca dua buku terdahulu di serial ini, karena bukan itu (satu-satunya) hal terpenting.
Yang jelas kita jadi tahu bahwa satu novel layak disebut bagus bila mengajari banyak hal, dan bukan membuat terbuai. Itu sebetulnya sudah bisa kita tahu sejak diajar para sepuh agar jangan mudah terpesona oleh lawan jenis yang serba sempurna memikat. Pilihlah yang benar-benar berisi, agar ilmu pengetahuannya bisa diserap. Susahnya, keterpesonaan tetap saja lebih sering menang.
Buktinya, banyak buku serbamembuai dicetakulang 10 kali hanya dalam tiga bulan, atau terjual 25 ribu eksemplar hanya dalam tiga pekan. Padahal di dalamnya, kita akan menemukan banyak hal yang perlu dikasih stabilo, misal seperti Indonesia yang pada tahun 1945 dijajah oleh VOC Belanda dan bukan Jepang, orang se-DKI Jakarta yang semua bicara dalam diksi Hollywood dan bukan Bahasa Indonesia sesuai dialek suku bangsa masing-masing, atau frase semacam “pertandingan lari”.
Sedang Lalita yang kupegang ini (aku membelinya akhir Oktober lalu di TB Gramedia Mal Central Park, Jakarta) adalah edisi cetakan perdana bulan September 2012 yang belum ditambahi embel-embel cetakan kesekian lebih lanjut pada bagian bawahnya. Itu berarti, jika diasumsikan cetakan perdananya sama dengan punyaku (sekitar 3.000-5.000 eksemplar), maka dalam empat tahun, yang beli belum ada separonya, di kisaran 1.500-3.000 biji. Dan kita pun akan bertanya, why?
Jawabannya sangat sederhana: kita sangat kurang baca. Dalam sebuah survey soal minat baca, Indonesia ada di urutan 61 dari 62 negara yang diteliti. Kita hanya menang lawan Botswana, sebuah negara yang baru akan kita tahu letaknya menggunakan Google Map. Kalaupun baca, bahan bacaan kita sangat selektif—hanya mau baca karangan pengarang idola yang membuai.
Karena kurang baca, tak aneh kita jadi sering gagal paham, sehingga membedakan dua kalimat dengan penghilangan satu kata saja tak sanggup. Itu sebabnya kutipan dari halaman 137 di atas sangat penting, untuk mengetes seberapa canggih tingkat pemahaman kita pada kata-kata dan kalimat. Pilihannya ada tiga: biasa saja, terkesima, atau menyalahkan. Kau termasuk yang mana?
Aku sih termasuk golongan keempat, yaitu yang kemudian malah teringat pada kepusingan kepala saat membaca Twilight of Idols-nya Nietzsche dan paham mengapa ia bisa edan pada akhir hidupnya.

0 komentar:

Posting Komentar