scribo ergo sum

Minggu, 06 November 2016

Jessica Jones, Superhero Suram

17:42 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: YouTube)

Dia gadis biasa saja. Cewek usia 20-an yang cantik dan sexy tapi muram. Ia mengenakan T-shirt, celana jins, jaket, dan sepatu boot yang juga biasa saja. Pekerjaannya adalah detektif swasta alias private investigator, penyelidik pribadi. Secara umum, dia tak beda jauh dari semua orang, dari kita semua. Yang membedakannya dari orang kebanyakan adalah, dia seorang superhero.

Sosok itulah yang nampak pada Jessica Jones, tokoh utama dalam serial Marvel’s Jessica Jones yang dimainkan oleh Krysten Ritter. Ia salah satu tokoh manusia super dari komik Marvel, rekan sejawat Captain America (Jessica menyebutnya “Sang pengibar bendera”), Hulk (“Si hijau besar”), Iron-Man, Falcon, Ant-Man, de-el-el, tapi segala hal dalam cara ia hidup dan berkehidupan membuat kesuperheroannya sama sekali tak terlihat.
Jess baru saja sembuh dari trauma, yang membuat aktivitasnya sebagai superhero berkostum gagal total. Kini ia pensiun dari dunia itu dan menjalani kehidupan baru sebagai detektif swasta, dengan membuka biro penyelidik berrnama Alias Investigation. Episode-episode awal serial ini masih berkisah soal latar belakang kehidupannya dan kasus penculikan mahasiswi bernama Hope Shlottman (Erin Moriarty) yang dilakukan musuh besarnya, Kilgrave (David Tennant).
Jessica Jones “mengudara” di Netflix sejak 20 November 2015. Kata “mengudara” harus pakai tanda petik karena yang ini kan TV internet, bukan TV “udara”. Musim pertamanya terdiri atas 13 episode, yang sudah diperpanjang ke musim kedua. Seluruh episode, sebagaimana serial streaming Netflix lainnya, dirilis bersamaan. Ini untuk mendorong masyarakat agar terbiasa pada praktik binge-watching.
Apa itu binge-watching? Nama lainnya adalah marathon-viewing, alias nonton satu serial dalam jangka waktu lama. Satu kali duduk bisa melahap lebih dari dua episode (normalnya, berdasar penelitian, adalah 2-6 episode). Pada era TV streaming, perilaku ini makin membudaya, dan nampaknya akan menggantikan kebiasaan menonton secara serial (satu episode sekali nonton) melalui TV konvensional yang lantas menumbuhkan angka-angka rating lewat survey.
Balik ke soal Jessica, dia adalah salah satu mata rantai MCU alias Marvel Cinematic Universe bikinan Joss Whedon dan kawan-kawan yang sukses besar itu. Di Netflix, Jessica Jones menjadi serial MCU kedua setelah Daredevil yang dibintangi Charlie Cox dan Vincent D’Onofrio. Serial ini nantinya disusul dengan Luke Cage (sudah dirilis), Iron Fist (rilis 2017), dan mereka berempat (Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage, dan Iron Fist) akan jadi satu tim di miniseri The Defenders. Daftar tayangan yang sangat membahagiakan pengamat MCU seperti saya.
Satu hal yang menarik diamati dari serial-serial MCU di Netflix adalah nuansa kemuramannya. Baik Daredevil maupun yang ini sangat gelap dan tak se-“tampan” konconya di jaringan TV ABC, yaitu Marvel’s Agents of S.H.I.E.L.D.. Jessica Jones bahkan lebih menukik ke permasalahan seksualitas, perkosaan, dan hal-hal berkenaan PTSD (post-traumatic stress disorder).
Jessica sendiri digambarkan sedang berusaha bangkit dari depresi berat akibat tragedi masa lalu. Ia menjadi pribadi yang muram, sedikit paranoid, dan antisosial—tak ubahnya Eliott Alderson di serial Mr. Robot. Ia bahkan mengasingkan diri dari sahabat dan saudari tirinya, Trish Walker (Rachael Taylor) yang sukses berkarier sebagai host acara bincang-bincang radio bernama Trish Talk.
Nuansa muramnya makin terasa karena serial satu ini dibesut dalam gaya neo-noir, versi baru dari apa yang disebut film noir. Ini tak lain adalah istilah sinematek yang mengacu pada gaya film-film misteri, detektif, dan kriminalitas dari dekade 1940-an dan 50-an. Film-film jenis ini juga sangat muram, gelap, dan misterius.
Aslinya, film noir dibuat dengan kamera hitam-putih, dan berkaitan dengan beberapa tema utama, salah satunya adalah apa yang dinamakan femme fatale. Ini tema mainstream di jenis film noir tentang satu sosok perempuan yang misterius, sangat berkuasa (melalui kecantikan dan keseksiannya), dan menyimpan rahasia yang mengejutkan. Sang tokoh ini biasanya membuat tokoh utama pria (umumnya yang detektif, yang menyelidiki suatu kasus) terjebak, tertipu, dan diperalat.
Satu contoh genre neo-noir paling terkenal adalah Chinatown (1974), besutan sutradara legendaris Roman Polanski. Sang detektif di situ adalah JJ “Jake” Gittes yang diperankan oleh Jack Nicholson, sedang si perempuan misterius adalah Evelyn Mulwray (Faye Dunaway). Pada versi berwarna, film noir dibesut dengan gambar-gambar dengan warna yang suram dan menimbulkan kesan meresahkan. Nah, Jessica Jones dibuat dengan pendekatan itu.
Dan gaya penyutradaraan seperti itu membuat kemuraman hidup yang tengah melanda Jessica menjadi benar-benar bisa dirasakan oleh pemirsa. Kita tahu ini orang hebat, berkemampuan jauh melebihi manusia normal, namun hidupnya tengah kacau amburadul. Dan itu tersimbolkan dengan sangat brilian oleh kaca jendela di pintu yang ambrol dan terpaksa ditutup pakai kardus seadanya karena Jessica sedang bangkrut.
Namun terlepas dari semua sisi teknik sinema, Jessica Jones sekali lagi menunjukkan titik kesuksesan Joss Whedon cs. dalam menginterpretasi kehidupan para superhero komik. Sejak fajar kelahiran MCU dari Iron-Man, Captain America, dan Thor yang awalnya saling berdiri sendiri, mereka telah dipotret dengan cara yang paling pas. Tak hanya logis, natural, dan faktual, mereka juga digambarkan humanis. Artinya, sesuai betul dengan keapaadaan kita semua sebagai manusia.
Superhero era MCU adalah manusia biasa. Mereka bukan orang istimewa dengan kelebihan dan akhlak mulia yang lantas “terpanggil untuk membasmi kebathilan di muka Bumi”, “menegakkan kebenaran dan keadilan”, atau “membela yang lemah”. Mereka tidak diistimewakan semata berdasar kemampuan dahsyat dan kostum warna-warni manyala mereka, yang berkain ketat dan sempaknya dipakai di luar.
Mereka bertindak semata hanya berdasar kepentingan dan persepsi—yang selalu urgen bagi mereka namun belum tentu urgen juga bagi orang lain. Maka dua kubu kelompok lakon yang sama bisa bentrok di Captain America: Civil War. Dan mereka memakai kostum bukan dalam rangka style, melainkan sesuatu yang memang sangat perlu dipakai. Bisa seragam tempur seperti baju hitam-hitamnya Black Widow, bisa alat perang seperti baju besi Iron-Man, atau bisa juga baju tradisional “alam sana” seperti yang dikenakan Thor.
Intinya, Tony Stark dkk. adalah manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keistimewaan mereka tidak berada pada kemampuan yang dipunyai, status sebagai anggota Avengers, atau apalagi hanya dari tutup kepala dan jubah yang dikenakan, melainkan pada arti perbuatan mereka bagi orang banyak. Dan itu, sebagaimana kita semua, tak selalu konsisten sepanjang waktu.
Kadang yang kita lakukan berguna bagi masyarakat, sehingga kita diistimewakan. Kali lain, kita terpanggil menggunakan kelebihan, status, dan atribut kita untuk membela kepentingan diri sendiri, yang secara situasional ternyata merugikan beberapa pihak. Tak aneh mereka tak lagi menganggap kita istimewa, dan justru menempatkan kita sebagai tokoh antagonis yang harus dilawan.
Maka kita tak akan aneh melihat ada superhero bisa depresi seperti Jessica Jones, atau terpuruk menjadi penyendiri macam Luke Cage. Dan mereka sibuk dengan pekerjaan sebagai detektif serta pemilik bar hanya untuk melupakan semua tragedi. Di titik itu kita tahu bahwa kita pada dasarnya adalah superhero juga, yang dengan bidang kelebihan masing-masing hanya sedang mencoba untuk terus hidup dan berbuat terbaik untuk diri sendiri.
Bahwa kadang laku kita bermanfaat bagi orang banyak, seringkali itu muncul tak diniati, tak disadari, dan tak pula direncanakan. Lebih seringnya bahkan itu tak pernah terpikir sejak awal, karena yang terpenting adalah mengamankan diri sendiri terlebih dahulu. All the time.

0 komentar:

Posting Komentar