scribo ergo sum

Sabtu, 06 Agustus 2016

Mencermati Fenomena LAPTOP

17:30 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: tokopedia)
Normalnya, sebuah resensi buku pasti mengulas segi-segi teknis penulisan dari buku bersangkutan. Namun khusus untuk yang satu ini, Critical Eleven oleh Ika Natassa, aku justru akan membahas hal yang sangat berbeda, yaitu apa yang dalam disiplin ilmu kebidanan kuantum disebut Love Among People Categorized as Perfect atau disingkat LAPTOP.

Apa itu LAPTOP? Tak lain adalah fenomena percintaan yang dialami orang-orang sempurna. Adakah orang-orang semacam itu? Ada. Anya dan Ale contohnya. Dua tokoh utama novel ini sama-sama besar di keluarga makmur (ayah Anya diplomat, ayah Ale jenderal TNI). Sama-sama lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat. Dan sama-sama berprofesi elit berpenghasilan guede (Anya konsultan manajemen internasional, Ale sarjana perminyakan di rig lepas pantai Teluk Meksiko).
Ini level kelas menengah yang rela keluar duit $ 4.000 (Rp 52,8 juta, Man!) untuk sebuah arloji sebagai hadiah ulang tahun (aku mentok di Rp 300 ribu—because ancen medhit!). Dan yang terpenting, keduanya smart, highly intellectual and articulative, both an avid movie fans, berpenampilan perfect (cantik/ganteng/sexy), ber-attitude dan etika baik (bentukan logis dari sosok yang smart dan intelek itu tadi), serta rajin shalat.
Lalu campurkan keduanya dalam sebuah momen meet cute (pertemuan acak di tempat umum—mostly on public transportations—yang berakhir romantis) berupa duduk sebelahan di penerbangan berdurasi lebih lama dari 60 menit. Berapa besar peluang terjadinya mutual attractions yang bermuara ke hubungan cinta dan bahkan pernikahan? Berani taruhan, 98%!
Mengapa sebesar itu? Karena semua aspek “jodoh impian” ada pada diri mereka. Attractive and sexy? Check. Good career? Check. Tabungan besar? Check. Smart? Check. Perfect attitude? Check. Soleh dan soleha? Check juga. Pastilah terjadi yang harus terjadi. Apalagi keduanya serupa dan sebangun. Bukan yang Ale ketemu cewek cantik tapi judes dan kurang duit, atau Anya kenalan cowok baik hati tapi tidak ganteng.
Persentase kegagalan hanya 2%, biasanya simply karena salah satu atau keduanya sudah atau sedang tidak available untuk urusan percintaan. Itu pun akan sangat logis kalau nekat ditabrak. Persetan sama istri atau suami di rumah! Kapan lagi ketemu sama yang model beginian?
Fenomena ini tentu saja terjadi di level pergaulan kalangan atas, termasuk lingkup kerja industri hiburan antarpara selebritas film dan musik. Cinta meluncur mulus karena kedua belah pihak sama-sama elit dan elegan dalam segala sisi. Tak terlihat adanya kekurangan sama sekali.
Namun percintaan para insan sempurna mengandung potensi bahaya yang sangat besar. Why?
Sebab sama sekali tak ada ruang untuk keraguan dan skeptisisme pada awal masa perkenalan. Karena kedua belah pihak sama-sama sempurna dalam (nyaris) segala aspek, terjadinya kedekatan adalah sangat tak terelakkan. Semua akan terasa indah tanpa bandingan. Obrolan nyambung, menemukan banyak kesamaan, gampang nyari hiburan dan makanan enak, serta sama-sama saling tertarik satu sama lain dengan cepat. Jadian pacaran dan nikah pun is a matter of when, not if.
Problem baru muncul saat sisi gelap kedua belah pihak terungkap. Dan reaksi para pegiat LAPTOP pada fase ini akan berkali-kali lipat lebih heboh daripada warga biasa. Mengapa? Karena mereka terlena terlalu lama pada kehangatan ketenteraman dan kemakmuran. Para pihak yang terlibat tak terbiasa menghadapi dan terhadap riak gelombang dalam hubungan nan semulus dan selempeng jalan tol itu.
Reaksi kegalauan para penumpang coach (bus mewah) pariwisata soal ban gembos akan beda jauh dari reaksi para penumpang angkot terhadap hal yang sama. Para turis akan menganggap hal itu sebagai musibah besar yang menodai “kesucian” perjalanan piknik mereka, sedang para angkoters—yang terbiasa naik kendaraan sumuk dan melewati jalanan tak rata—kemungkinan malah akan turun dan beramai-ramai membantu sopir mengganti ban.
Karenanya (coba adain riset mengenai fenomena ini!), pasangan-pasangan berkategori LAPTOP berkecenderungan untuk lebih rentan mengalami perpisahan daripada yang bukan. Berhubung sejak awal tak terbiasa dan tak pula mengantisipasi momen-momen keraguan, maka pada saat hal itu muncul, mereka akan sangat clueless menghadapinya. Selain karena tak tahu persis bagaimana harus meng-handle-nya, di alam bawah sadar sudah kadung melekat paradigma “Kalau ini bubaran, toh gampang dapetin lagi”.
Itu sedikit banyak menjelaskan tingginya angka perceraian pasangan suami-istri selebritas—dan pada dasarnya semua warga sosialita jet set. Mereka akan lebih “akomodatif” terhadap perpisahan karena tak akan sulit mendapatkan kembali calon pasangan dengan kriteria yang sama elegan. Tak aneh. Insan yang punya nyaris segalanya (cantik/tampan, berduit, berkendaraan bagus, smart, populer, intelek, berbadan sehat dan bagus) pasti dicari, dan bukan desperate mencari.
Beda dari warga non-LAPTOP, yang mempertahankan hubungan mati-matian bukan karena pasangan berkualitas dewa, melainkan hanya karena takut tak bisa pacaran lagi seumur hidup kalau yang ini sampai lepas. Bila aktivis LAPTOP menyikapi perpisahan dengan semangat mencari lagi, maka yang bukan LAPTOP akan merasa seperti dunia telah berakhir andai sampai berpisah.
Maka wajar ketika dalam novel ini kekurangan-kekurangan kemudian terkuak, Anya dan Ale pun seketika runtuh. Mereka kolaps dan susah bangun lagi. Padahal jika dirunut, problem mereka sebenarnya cuman satu itu tok (keguguran) di tengah jagad indah yang serba sempurna. Mereka masih sama-sama berpenghasilan tinggi, sama-sama sehat, dan sama-sama dikelilingi orang dekat yang supportif. Tak ada kawan jahat, rekan yang hobi PMP, atau kerabat yang berlawanan paham politik.
Kita sukar menebak apa kata pasangan kelas menengah ke bawah yang bingung cari utangan buat bayar persalinan istri, panik terkena ancaman PHK, dan menjumpai kartu BPJS yang dipegang ternyata palsu, mengenai situasi pasangan Tanya Baskoro dan Aldebaran Risjad ini. Mungkin akan seperti reaksi para pemain Burnley terhadap kepanikan MU yang terdampar di peringkat 7, “Baru nomer 7 aja udah ribut! Kami ini lho, degradasi berkali-kali aja masih tetep seger!”.
Kisah Anya & Ale pun sesungguhnya adalah sentilan bagi para anggota golongan LAPTOP—atau yang ingin masuk ke sana. Dunia tidak sempurna. Waspadalah saat diri (merasa) tengah atau telah menjumpai kesempurnaan. Tak ada laut tanpa gelombang. Dan logikanya, pada satu sosok yang terlihat sangat perfect, kekurangannya pasti berkategori spektakuler. So, siap-siaplah mengantisipasi kemungkinan ini andai satu saat kau bertemu LAPTOPers!
Betewe, akan halnya urusan teknik, Critical Eleven disusun dengan jurus-jurus dasar cerita romancebubblegum” abad ke-21: angle pertama dari kedua tokoh utama, single plot line, dan tentang para tokoh kelas menengah metropolitan pelanggan Starbucks. Also, it’s one of thoseUnited States-themed-story” tempat semua kalimat, idiom, dan quotes seperti berasal dari film rom com Hollywood. Salah satunya adalah “Ale has something about him that when he talks to you, it’s like you’re the only woman on the room” (hal. 87-88), which is pretty damn cool though.
Dan segala aspek pun hanya bertautan dengan satu negara, ya Amerika Serikat itu tadi. Sejak tempat penugasan luar negeri terkeren yang diterima Anya (New York, dan bukannya Chennai, Cristchurch, atau apalagi Ouagadougou), Ale yang eks running back dan nontonnya final Super Bowl (dan bukannya Persija vs Persib), hingga para tokoh muda yang bisa delivering Hollywoodian lines semacam “Those jewelry stores are hell, Man, hell!” (hal. 301).
Pada akhirnya, membaca Critical Eleven tak terasa seperti menyimak novel sama sekali, melainkan seperti mendengarkan curhatan cinta dari seorang sahabat mantan anggota Permias yang juga penulis kolom urban lifestyle di koran Minggu. Dan justru karena cerita dituturkan ala curhatan, unsur keamerikaserikatan itu malah jadi masuk akal. Soale nek aku crito, rak sengojo mesti yo nganggo logat Jowo ngene ini ujung-ujunge...
Dan di antara semuanya, ada satu hal yang aku suka dari Anya dan Ale, yaitu bahwa mereka adalah muslim yang miara anjing. Kalau kenal di dunia nyata, pasti aku cocok sama mereka.
"Guk!"


0 komentar:

Posting Komentar