scribo ergo sum

Selasa, 05 April 2016

Pentingnya Penulis Fiksi Paham Prosedural

12:23 Posted by wiwien wintarto No comments
Dalam sebuah sinetron FTV, tampak sepasang suami-istri jet set menerima tamu berbaju formal jas dan dasi yang menyampaikan sebentuk dokumen. Isi dokumen menyatakan bahwa rumah beserta isinya disita karena sang suami tak bisa membayar utang. Mereka berdua pun harus secepatnya angkat kaki dari rumah itu.
Dalam adegan berikutnya, mereka terlihat sudah menyusuri trotoar jalan sambil membawa kopor (yang kelihatan enteng dan nggak ada isinya). Mereka sedih karena tak punya rumah. Lalu sang istri menelepon kawannya untuk minta tolong dicarikan rumah kontrakan. Ternyata langsung ketemu. Mereka pun segera menempati rumah itu, meski jelas tak sekeren rumah mereka sebelumnya.


Apa yang aneh dari rentetan kejadian itu? Tak ada, kecuali bahwa itu terjadi dalam hari yang sama. Tak ada penjelasan baik dalam dialog maupun bahasa gambar yang menerangkan sebaliknya. Maka sah saja kita sebagai penonton berasumsi bahwa kedatangan petugas eksekusi rumah berlangsung pagi hari, siangnya suami-istri itu menggelandang dan menelepon teman, lalu sehabis jam makan siang, mereka sudah menempati rumah kontrakan. Praktis dan simpel. Andai dunia nyata seindah itu...!
Betulkah demikian ini proses kejadiannya di planet kita tercinta ini? Entah penulis naskahnya belum tahu apa itu koran atau ia hanya sekadar malas, urut-urutan peristiwa yang seperti itu bakal bikin bank, pengadilan, debt collector, dan warga yang tengah pusing nyari kontrakan rumah, naik pitam. Dalam kasus sebagaimana yang dialami kedua tokoh tersebut, prosedural aslinya tentu beda sekali.
Proses eksekusi rumah tentu tak berlangsung seketika. Eksekusi adalah deadline tanggal dari pihak kreditor soal pelunasan hutang atau jadwal pengambilalihan dari kejaksaan jika kasusnya diputus lewat pengadilan. Either way, pihak pemilik rumah pasti sudah sejak jauh hari dikasih tahu soal tanggal itu, sehingga—berdasarkan worst case scenario—dia sudah akan mencari tempat tinggal baru.
Dengan pemahaman akan alur prosedur kejadian yang seperti itu, rentetan adegannya pasti akan berubah. Sang suami menerima pemberitahuan, mencari rumah kontrakan buat berjaga-jaga, berusaha melunasi utang (tapi gagal), lalu satu atau dua minggu sebelum tanggal tenggat, ia sudah akan pindah dengan sendirinya ke tempat baru.
Seperti kita lihat di sini, alur cerita dalam bentuk urut-urutan kejadian secara kronologis bisa sangat berbeda untuk fenomena yang sama. Pembedanya ada dalam hal pengetahuan tentang proses dan prosedural berjalannya sesuatu di alam dunia fana. Proses berkaitan dengan hukum alam, sedang prosedural berhubungan dengan aturan legal formal yang tengah berlaku di satu tempat atau negara.
Urusan utang piutang misalnya, tak mungkin selesai seketika. Pagi ngutang, siang nagih, sore ngirim debt collector kejam, malam dilunasi. Nggak akan semacam itu. Sesuai “hukum alam” sosial dalam pergaulan, pihak kreditur pasti memberikan waktu hingga bulan dan bahkan tahun sebelum muncul tenggat final yang tak bisa ditolerir lagi, lewat puluhan kali telepon, kunjungan, pertemuan, serta surat-menyurat.
Dan ketika wanprestasi pembayaran dibawa ke ranah pengadilan, maka ada tahap-tahap prosedural yang lama juga. Kreditur menghubungi secara personal baik-baik, memberikan somasi lewat kuasa hukum, mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, proses-proses negosiasi untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, sidang-sidang yang berlangsung sekali sepekan, dan lalu sidang vonis dan eksekusi.
Penulis fiksi, meski yang dikarang hanyalah fiksi, khayalan, boongan, tapi mutlak tetap harus tahu hal-hal semacam ini. Kita tak bisa mengorbankan akurasi cerita hanya demi efek dramatis. Usai sudah masa-masa hadirnya adegan dramatik ketika pasien yang sekarat di UGD malah dipeluk dan ditangisi sementara dokter dan perawat nggak muncul-muncul. Memang menguras air leding, eh... mata, tapi pasti memunculkan pertanyaan—doktere lagi cliwik opo ya?
Maka adegan-adegan yang kita tampilkan dalam cerita harus ditempatkan secara tepat dalam urut-urutan prosedural itu. Apakah terjadi saat sang suami diberi somasi atau saat eksekusi sudah akan dilakukan. Misal terjadi saat tahap eksekusi penyitaan, maka seluruh rangkaian insiden yang mendahuluinya harus pula ikut dipaparkan. Jumlah utangnya, penagihan-penagihannya, sidang-sidangnya, dan lain sebagainya.
Ini menjadi kelanjutan dari diskusi kita terdahulu soal detail dalam menyebutkan istilah teknis dan data-fakta. Setelah lulus mata kuliah itu, berikutnya adalah mengenai prosedural. Segala sesuatu berjalan mengikuti suatu alur prosedur tertentu, dan seorang penulis harus patuh mengikutinya. Tidak dengan semena-mena menghadirkan sesuatu dengan cara bagaimanapun seperlunya demi memantik unsur drama guna membetot emosi penonton.
Terlebih yang berhubungan dengan hukum dan lembaga publik, semua pasti diatur menurut rentetan tata cara baku yang disebut birokrasi. Sejak membuat KTP atau SIM, mengajukan izin usaha, hingga membuka rekening di bank, kita harus mengikuti urut-urutan aturan main yang berlaku. Juga saat nunggu bayi kucing lahir, bikin peuyeum, hingga bertani dari memilih benih sampai hari panen. Pasti melewati rentang-rentang waktu yang sesuai hukum alam dan tak bisa ditawar lagi.
Jika tak dilakukan, sudah pasti hal-hal yang kita tulis akan mengundang gelak tawa dari praktisi bidang bersangkutan. Jika sebaliknya, maka yang muncul adalah manfaat ganda: nambahi pengetahuan bagi pembaca sekaligus imej smart dan kredibel kita sang penulis. Syaratnya cuma satu: jangan pernah lelah untuk mencari tahu. Baca, riset, wawancara, atau turun langsung melihat sendiri.
Namun adalah keliru juga kalau fiksi hanya sekadar memfotokopi alam nyata. Fiksi harus punya standar hukum sendiri, yang bisa saja ngikut dunia, bisa saja tidak. Yang penting runtut dan logis. Kita sudah mengobrolkan Artificial Law. Lewat ini, kita bisa masuk menciptakan hukum alam dan proses birokrasi legal formal sendiri—semaunya karangan kita. Hanya saja, kita harus memaparkannya secara gamblang.
Mau bikin negara fiktif? Why not? Mau bikin kementerian di pemerintahan RI yang aslinya tak ada? Why not? Mau bikin sistem prosedural penagihan utang dan perpindahan rumah yang sekilat sinetron di atas? Boleh sekali. Asal ada penjelasannya.
Surat-surat peringatan yang diberikan pihak kreditor, misalnya, ternyata tak sampai ke penerima, sehingga sang suami juga tak tahu tanggal deadline. Pas surat diberikan, pas mereka hari itu juga harus pergi. Lalu ia menelepon teman yang punya app android yang bisa memesan rumah sewa atau kontrak dalam waktu singkat, sehingga siang hari pencarian dimulai, sorenya rumah baru ditemukan dan langsung bisa ditempati. Dengan penjelasan, hal yang aslinya tak logis jadi masuk akal.
Artificial Law juga perlu saat cerita yang kita susun tidak bergenre realis. Maka kita akan bisa menyusun hal-hal khayal semacam berapa lama musim dingin di Westeros dalam kisah Game of Thrones, prosedural rekrutmen kadet penerbang kapal antarbintang di Star Trek, atau proses pendewasaan seekor (seekor?) pocong dalam dunia lelembut sejak pocong balita, pocong remaja, hingga pocong senior.
Dalam aplikasi penggunaan di kehidupan sehari-hari, pengetahuan luas akan proses dan prosedural banyak bidang beda-beda akan memberi kita pemahaman bahwa memang tak ada yang instan. Entah itu penyembuhan penyakit, sidang tilang lalu lintas, sepakbola, atau perkembangan anak, semua perlu proses yang pasti makan waktu. Dan terutama soal naskah yang kita idam-idamkan akan diterbitkan jadi buku oleh penerbit gede.

Lalu, ketika kita sudah berkenalan dengan yang namanya proses, maka kita akan lebih mencintai proses nulisnya itu sendiri daripada honornya, royaltinya, atau ketenaran yang dijanjikannya. Lalu kegembiraan kita nulis di Kompasiana akan setara dengan saat kita muncul di meet and greet buku baru dan disambut histeris puluhan penggemar fanatik...

0 komentar:

Posting Komentar