Ada satu adegan di novel ini yang
sangat ingin kutonton di versi filmnya kelak, yaitu saat Niwa mencoba kebaya
yang ia buat untuk sang “calon istri” dan Yama melihatnya dari lantai bawah.
Itu akan mirip dengan adegan klise film Hollywood saat sang pangeran (atau
cowok yang menjemput ceweknya ke prom night) menyaksikan sang putri turun
tangga full-dressed secara mesmerizing dan sang pangeran mlongo
sambil ngeces.
Aku membayangkan Niwa diperankan
oleh Kirana Larasati dan Yama diperankan Rio Dewanto, bukan para seleb bertampang
kebule-bulean. Dan satu faktor yang membuatnya kuat adalah satu hal yang sangat
khas Indonesia banget: kebaya.
Yamaniwa,
by Netty Virgiantini, berkisah soal
karma asmara yang menimpa si mungil cantik Niwa. Selingkuh dengan Arvin yang
ganteng dan mencampakkan Yama yang kalem dan kuno, ia lantas berkali-kali gagal
membina asmara. Saat kawan-kawan sebayanya sudah pada nikah dan ayem
berkeluarga, Niwa masih singel hingga satu dekade setelah kelulusan SMK.
Oleh
Era, sahabat yang ia panggil “Bun”, ia dibilang sedang menuai karma atas
pengkhianatannya dulu terhadap Yama. Ia disebut bernasib mirip Pat Kay, teman
Sun Go Kong yang dikutuk harus mengalami 1.000 kali penderitaan cinta. Dan
karena Niwa baru lima kali gagal, berarti masih menunggu 995 kali kegagalan
lagi yang kudu dialaminya!
Ujug-ujug,
datanglah Yama yang ganteng dan kini hidup mapan, ke modiste tempat usaha Niwa
sebagai penjahit. Yama minta tolong dibuatkan kebaya dan beskap untuk acara
pernikahannya kelak. Memenuhi tuntutan profesionalitas, Niwa menyanggupi
permintaan itu meski tersiksa—karena rasa bersalahnya yang belum tertebus, dan
terutama karena cemburu mendengar suara lembut calon istri Yama.
Sebelum
bicara soal technical achievement, Yamaniwa adalah sebuah novel yang sangat sesuai dengan seleraku
karena nuansa lokalisasi, eh… lokalitasnya. Itu sesuatu yang sangat berharga
buatku. Tak harus proletar dan ndesit juga kayak Bimo di TUC dan Seto di FIFO,
melainkan segala sesuatu yang sangat khas Indonesia (mirip di laman WowShack). Dalam hal ini, Yamaniwa memberiku hiburan ekstra yang
sangat menyenangkan.
Pasalnya,
sebelum baca ini, aku menggeh-menggeh
membaca novel-novel yang sangat terhipnosis luar negeri especially Yunaytid Steits. Ada tokoh-tokoh warga Jakarta (mungkin
penghuni RT/RW sekian di Menteng, Radio Dalam, atau Glodok) yang semuanya
bicara dalam logat Hollywood (“Tentunya Anda tidak berpikir saya akan beli sawi
dengan harga setinggi itu bukan?” katanya pada Pak Sayur). Juga ada ABG Jakarte
yang mau ke prom night dan jemput kencannya pakai limousine (jeez…!).
Yamaniwa
tidak menempuh rute itu dan memilih untuk sangat kekitaan banget, sejak dari
lokasi (Semarang!), logat bicara (termasuk pemakaian pernak-pernik boso Jowo
yang pas), kultur (njaitke klambi nggo ngantenan, golek srah-srahan), hingga tema
dan pesan moral (karma karena pernah mengkhianati pacar—yang ini aku sangat
setuju hikikikik…!).
Yamaniwa
juga menghiburku di sisi teknis, karena jauh melampaui dua karya Netty
sebelumnya yang kubaca, yaitu The Kolor
of My Life dan When I Look into Your
Eyes. Novel ini simpel, tapi efektif. Dialog-dialog dibiarkan mengalir
seperti orang ngobrol biasa di dunia nyata, dan bukan sekadar penjelas narasi
cerita. Banyak pernak-pernik ditambahkan. Tak berfungsi apa-apa dalam progress cerita, namun menambah kesan
keseharian yang tercipta.
Ambil
contoh dialog antara Niwa dan Sisil, asistennya di modiste, soal jahitan di
halaman 87. Ucapan terima kasih Niwa dibalas dengan, “Jangan tengkyu aja, Mbak.
Traktir bakso doong…!”. Lalu saat ngobrol dengan Era, Niwa minta refill stoples yang sudah kosong, biar
bisa ngemil lagi.
Ini
sangat khas kita banget saat berinteraksi dengan orang-orang terdekat di dunia
nyata. Meski tengah membicarakan urusan genting, hal-hal lain di luar itu yang
kurang urgen akan tetap muncul di percakapan. Soal cuaca, Bulik yang pelit,
“gunung berapi kok mau njeblug semua”, atau berita transfer pemain bola.
Aku
sudah kerap membaca cerita tempat semua energi para tokohnya tercurah hanya
untuk mengurusi keperluan kedua tokoh utama (yaitu agar mereka jadian). Para
tokoh itu seperti terlepas dari geliat dunia nyata—tak pernah ambil duit di ATM
sebelum ke mal, tak pernah kebelet pipis, tak pernah galau karena mau pergi
tapi belum memperpanjang SIM, dan tak pernah mengomongkan judul film yang mau
ditonton kecuali sebatas “Film percintaan favoritmu”.
Jenis
novel lain yang membuat aku lelah saat membaca adalah yang beralur cerita
datar. Dan cerita jadi datar karena seperti hanya memindah kejadian dari dunia
nyata. Sebuah cerita memang akan sangat
wajar bila diilhami dari event-event dunia
nyata, namun bahan asli itu
masih perlu dibumbui agar layak sebagai konsumsi kisah fiksi (ada di pelajaran
tentang fiksionalisasi), karena
seringkali mengalir polos begitu saja, entah ending-nya sesuai harapan atau
tidak.
Itu
sebabnya banyak film biopic atau yang
based on true story, pasti dihadirkan dengan alur yang
nggak 100% plek kejadian aslinya. Bisa dengan menambahkan tokoh baru (tokoh
fiktif), atau dengan menambahkan unsur-unsur pemanis guna memunculkan efek
dramatik. Bumbu film Argo, yang
menang Best Picture Oscar tahun 2012, bahkan terlalu overdosis sehingga
menyelewengkan kejadian aslinya dan diprotes orang Kanada.
Terlepas
dari apakah Yamaniwa berbasis kisah
nyata atau tidak, Netty berhasil menambahkan bumbu yang perlu itu, yaitu dalam
bentuk fragmen Yama yang mengerjai Niwa soal “calon istri”. Dengan menambahkan
unsur itu, Yamaniwa berhasil sebagai sebuah kisah fiksi.
Tanpa
itu, alur Yamaniwa akan mirip saja dengan kisah asli yang paling mungkin
terjadi di dunia nyata: Niwa dan Yama pacaran, Niwa selingkuh, Niwa menderita
dan merasa bersalah, Yama muncul lagi, Niwa minta maaf, Yama menerima (atau
menolak), Yama dan Niwa menikah (atau tetap pisahan). Datar. Tak ada suspens.
Tak ada pula klimaks konflik yang bisa dieksploitasi lewat punch atau plot twist.
Aku
pernah baca cerita model begini (yang best
seller sekali). Kisahnya tentang
seorang cowok yang merana karena ceweknya selingkuh, lalu menjomblo sebentar,
lalu ketemu cewek baru yang baik hati, lalu jadian dan bahagia dengan cewek
itu. Begitu tamat, aku hanya bisa melongo, “Lha
njur ngopo…?”. Itu kan selumrahnya kejadian dunia nyata. Yang terjadi
sudah sesuai dengan harapan si tokoh utama, atau sodara-sodaranya, bahwa dia
pada akhirnya akan bahagia, dengan cara yang paling wajar.
Untuk
sebuah novel (atau cerpen), bahan cerita-lumrah-dunia-nyata itu harus diberi
suatu bumbu yang mengejutkan dan membuat si tokoh utama limbung lalu
mempelajari hal baru (sebagai moral of
the story-nya). Misal si cewek kenalan baru itu jebul dulunya cowok yang lantas operasi transgender. Atau si cewek
kanibal. Atau si cewek sudah punya anak. Atau si cewek tengah mengandung anak
dari hasil hubungannya dengan cowok lain.
Bumbu
seperti ini akan membuat sebuah cerita menyenangkan untuk diikuti hingga akhir.
Apa pun yang dilakukan si cowok sesudahnya, entah bisa menerima atau tidak,
akan ikut menjadi pelajaran yang bisa diserap kita pembaca. Kalau cuman
diselingkuhi-merana-menjomblo-kenalan-pedekate-pacaran, ya itu mah acara normal
saja. Sama kayak dicurhati sepupu.
Meski
begitu, ada beberapa bagian yang melaju terlalu cepat selintas, seperti momen
kemunculan Arvin, yang dinarasikan secara ringkas dan bukan melalui satu scene penuh. Periode pacaran Niwa dengan
Yama juga terlalu ringkas, banyak detail yang tidak dikisahkan, sehingga adegan
Yama dewasa mengganti mangkuk bakso yang kepedesan dengan bakso yang masih
biasa saja (hal 107), jadi kehilangan daya magisnya.
But
overall, Yamaniwa sukses bikin aku ngekek
sendiri di beberapa bagian, terutama obrolan antara Niwa dan Sisil yang jahil
serta adegan Niwa menjajal lingerie.
Juga saat Niwa mau menelepon Yama dan disuruh berdoa dulu sama Sisil. Lantas
karena lupa berdoa, Niwa nyaris semaput saat mendengar suara “calon istri”
Yama!
Satu
hal lagi yang layak di-highlight
adalah kerapiannya pada bagian prolog dan epilog. Scene prolog, saat Yama muncul mak
bedunduk di Niwatasari Modiste,
ditutup dengan gumaman Niwa menyebut “Yama…”. Lalu adegan epilog saat Niwa
pakai lingerie dan mau digrumut Yama, diakhiri dengan gumaman
Yama menyebut “Niwa…”.
Ini gimmick yang sangat keren, yang anehnya,
jarang sekali
kulihat ada di
banyak
novel mega best seller masa kini
yang pernah kubaca—kecuali punya’e
Dee.
Sekarang
pertanyaannya, kapan bakal ada audisi pemeran film untuk adaptasi novel ini?
Aku mau daftar audisi untuk peran penjaga toko kain…
0 komentar:
Posting Komentar