scribo ergo sum

Rabu, 05 Agustus 2015

Hanya Sekadar Berdoa

09:32 Posted by wiwien wintarto No comments
Tahukah engkau apa itu First World Problems? Baru sekian bulan yang lalu aku tahu istilah ini dari laman humor Cracked. Intinya, FWP adalah berbagai masalah “genting” yang dialami warga negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, atau Prancis. Masuk kategori ini misalnya adalah stres karena nggak nemu wi-fi cepat, pusing karena mobil kurang laju, atau marah-marah setelah makan burger yang dinilai kurang lezat.

Meski Indonesia masih jauh dari kategori negara maju, kita yang hidup di kota-kota besar (terutama di Jawa) sudah mulai ketularan penyakit ini. Kita sudah relatif aman dari krisis pangan, kehancuran akibat perang saudara, atau sistem sosial yang hancur gara-gara kartel narkoba kayak di Meksiko. Sebagai gantinya, kita mulai meributkan, itu tadi, sambungan internet, layanan supermarket, atau “ATM-nya jauh dari rumah...!”.
Keterlenaan karena peningkatan level kemakmuran dan kesejahteraan membuat kita lupa pada realitas lain yang, meski jauh berjarak dari kita, namun jelas ada. Eksis. Salah satunya adalah mengenai dunia kelam human trafficking. Jika bukan karena novel semacam Cul de Sac karangan Ismun Faidah ini, kita mungkin takkan pernah tahu.
Mirip film drama thriller Hollywood, Cul de Sac dibuka dengan adegan pembunuhan. Ester, pelacur freelance berusia 29 tahun, menjumpai Hermawan, kliennya, terbunuh di kamar hotel tempat mereka seharusnya berkencan. Sang pembunuh ternyata masih ada di TKP saat ia masuk, dan melihatnya.
Panik, Ester berhasil melarikan diri. Ia tak mungkin lapor polisi, karena sang pembunuh adalah seorang petinggi Polda Jateng. Ia pun meminta perlindungan pada Abby, kekasihnya. Situasi makin rumit dan membahayakan Ester manakala berbagai siaran berita resmi di media khususnya TV mengungkap bahwa tersangka pembunuhan Hermawan yang anggota Dewan itu adalah seorang perempuan, yaitu dirinya.
Tak sanggup terlalu lama melindungi Ester, Abby menyarankan agar kekasihnya itu lari saja dari Indonesia. Pilihannya adalah pergi ke Singapura sebagai TKW. Dengan cara itu ia akan aman dari jeratan konspirasi yang mengarah pada dirinya. Ester pun melarikan diri hingga Purwokerto, Ajibarang, dan Yogyakarta, sebelum kemudian terbang ke Singapura.
Di sana, ia terjebak dalam lingkaran maut dunia human trafficking, tempat para buruh migran yang datang dengan harapan meraup dolar untuk membiayai keluarga ternyata dijebloskan ke dunia pelacuran. Ia bertemu dengan Mr. Tan, gembong trafficker yang berniat memperistrinya, dan menjumpai kenyataan pahit bahwa ia ternyata menjadi barang dagangan yang dijual dengan harga Rp 100 juta. Lebih pahit lagi, Abby ikut terlibat dalam itu semua.
Ismun, yang dulu pas ABG pakai nama pena Vie’s, menuturkan Cul de Sac dalam bahasa khas novel sastra yang serba blak-blakan (penuh makian “asu!” dan “anjing!”) dan piawai dalam hal memotret fenomena-fenomena kumuh. Ester adalah seorang pelacur yang membenci pernikahan. Ibunya meninggal satu dekade sebelumnya. Dan ayahnya, yang politikus militan anggota parpol oposisi, dipenjara atas tuduhan korupsi hanya untuk sekadar mematikan karier politiknya.
Jenis sastra yang ini berkebalikan 180% dengan sastra “bubblegum” abad ke-21 yang serba wangi dan penuh optimisme (aku juga ngikut di situ). Tokoh-tokohnya ABG dan anak muda elit golongan atas, punya nama semacam Oliver atau Rebecca, bersekolah di US atau Aussie, bermobil, hang out di kafe, bicara penuh kalimat Inggris aksen Hollywood, dan masalah terbesar mereka adalah jatuh cinta pada sahabat sendiri!
Namun pengungkapan pada semua yang serba kumuh dan kelam itu memanglah potret dari realita yang ada. Sejauh ini, yang kita tahu soal TKW hanya sebatas kekejaman yang menimpa mereka lewat berita TV—dikabarkan pulang dalam keadaan babak belur disiksa majikan, atau kadang sudah tak bernyawa lagi. Cul de Sac membuka mata kita bahwa yang terjadi jauh lebih dahsyat daripada itu, sehingga apa yang terjadi pada para TKW malang itu masih bisa dianggap sebagai keberuntungan.
Dan Ismun bisa menjabarkan semuanya dengan detail yang sangat mencerahkan. Sejak dari permainan para agen dan PJTKI nakal, taktik busuk para Hunter mencari mangsa, hingga tragedi yang dialami para perempuan lugu penuh harapan berusia 16 tahun itu begitu sampai di Negeri Singa. Termasuk juga gambaran LSM antitrafficking yang beroperasi bak agen rahasia CIA atau FBI memerangi bisnis itu.
Semua didapat dari pengalaman pribadi. Ia pernah lama mukim di Singapura sebagai buruh migran. Dan di sana ia mempelajari sisi terkelam bisnis human trafficking lewat aneka macam riset dan bahan-bahan bacaan. Hasilnya adalah sebuah sajian cerita yang langsung menyerap perhatian para pencinta detail tema sepertiku.
Cul de Sac begitu dalam dan akurat menggali dunia trafficking. Itu hiburan yang menyenangkan di tengah taburan novel-novel roman young adult masa kini yang seringkali gagap menghadirkan hal-hal yang sebenarnya tak terlalu berjarak dari wawasan dan keseharian sang pengarang.
Soal olah raga bola basket, misalnya, para pengarang remaja sering menuangnya dengan istilah yang abstrak dan lugu. Tokoh kapten tim basket SMA yang “jago basket terhebat seantero kota” (tidak dengan istilah teknis semisal “Slam Dunker” atau “Jagoan Three Point”), dan aktivitas tim basket yang sekadar “akan bertanding melawan SMA lain” (padahal di majalah remaja rutin muncul berita soal Kejurnas Basket Pelajar, Invitasi Bola Basket SMA, atau Street Basketball Challenge).
Lewat Cul de Sac, Ismun sangat fasih dan konkret bertutur lewat istilah dan nama-nama. Ada Hunter, trafficker, forced marriage, dan juga PT Maju Sukses serta Lucky Agency. Itu membuat novel ini tampil meyakinkan, sebagaimana novel-novel Dan Brown yang bisa berceloteh begitu kaya mengenai apa pun tema yang tengah ditampilkan.
Tantangannya habis ini tentu adalah kefasihan bertutur itu juga terjadi dalam lingkup tema lain. Kedokteran, fisika kuantum, baseball, makroekonomi, geologi, perdagangan senjata, dan apa pun. Tentu tak lucu kalau—hanya karena sangat menguasai gambaran dunia trafficking—enam novel berikutnya juga terus-menerus berlatarbelakangkan jagat satu ini. Nanti terjebak jadi NDS.
Sayang di tengah semua pesona itu, gangguan justru muncul di sampul, yaitu pada subjudul “Perjalanan Perempuan Korban Traficking” (ya, hanya dengan satu “F”). Jadi membayangkan judul semacam The Hunger Games: A Story of a Girl Trapped Inside Death Game atau Ayat-ayat Cinta: Satu Pria Menikahi Lebih dari Satu Wanita. Subjudul seperti itu baru cocok disematkan untuk buku nonfiksi.
Selain itu, tokoh Mr. Tan masih terjebak dalam tipikal tokoh villain khas Indonesia, yaitu yang serba melotot, marah-marah, dan membentak. Aku nggak rela dia seperti itu, soalnya terbiasa nonton penjahat asal sinema Hollywood yang dingin kayak Hannibal, dan bisa dengan tenang memutilasi lalu memasak korbannya sambil mendengarkan musik klasik!
Untung downside-nya tak banyak. Dan begitu membuka halaman pertama, kita akan tersedot untuk bersimpati pada deretan bad luck yang menimpa Ester. Lalu semuanya berpuncak pada adegan kelakuan sadis Mr. Tan di markas rahasianya serta konflik terakhir antara Ester dan Tomi yang diselesaikan lewat rolet Rusia nan mencekam.
Tempo hari aku melihat foto tragis bayi badak meratapi jenazah induknya yang dimutilasi pemburu. Membaca Cul de Sac menimbulkan kesan yang sama seperti saat kita melihat foto-foto penyiksaan binatang semacam itu, yaitu berharap bahwa kita bisa banyak membantu, namun sayangnya tidak.

Kecuali hanya sekadar berdoa...

0 komentar:

Posting Komentar