Tiba-tiba ada celana panjang melayang, lalu jatuh ke
jalanan yang belum diaspal di tengah gersangnya padang gurun. Dan seketika aku
terpukau...
Itu merupakan gambar paling awal dari scene pembuka
episode pertama musim pertama serial Breaking
Bad. Dan aku sudah langsung terpesona. Barangkali itu scene pembuka terbaik
dari sebuah serial TV yang pernah kulihat seumur-umur. Apalagi nggak perlu
menyelesaikan satu adegan utuh. Cukup satu shot
saja, untuk bikin aku terbetot.
Mengenai BB,
aku sudah tahu sejak kira-kira dua tahun lalu dari cuitan kawanku, novelis
Regina Feby di akun Twitter-nya. Media internasional menyebutnya sebagai “one of the greatest TV shows of all time”
(TV shows, dan bukan sekadar TV series; berarti melingkupi segala
jenis acara TV). Dan berbagai penghargaan pertelevisian termasuk Emmy Awards
serta Golden Globe direbut saban tahun seperti rutinitas orang memperbarui STNK
di Kantor Samsat.
Kini, setelah ceritanya tamat dalam 62 episode selama
lima musim penayangannya sejak 20 Januari 2008 (final episode tayang 29
September 2013), baru aku sempat nonton. Awalnya cuman menjajal, seperti pas
nonton Game of Thrones dan True Detective. Dan tak butuh waktu lama
untuk langsung tersepona—tak sampai lima detik.
BB berkisah
tentang guru kimia SMA bernama Walter White (Bryan Cranston) yang hidupnya
menggok drastis setelah tahu dirinya kena kanker paru-paru yang tak bisa
diobati. Kekurangan uang, ia kemudian menggunakan skill dan kecerdasannya dalam ilmu kimia untuk meracik crystal
methampentamine alias shabu. Saat belum nonton dan baru denger-denger, premis
BB setahuku adalah tentang orang baik yang pelan-pelan berubah jadi tokoh
antagonis (dan ini jadi ide cerita buat novel The Supper Club).
Untuk menjual shabu, ia merekrut Jesse Pinkman (Aaron
Paul), mantan muridnya yang dulu goblok sekali di mapel kimia. Walter ketemu
Jesse setelah ia ikut tur penggerebegan bandar narkoba yang dilakukan adik
iparnya, Hank Schrader (Dean Norris), seorang agen DEA (BNN-nya Amerika). Di
lokasi penggerebegan, ia melihat Jesse ada di sekitar sana, dan huruf di plat
nomor mobilnya cocok dengan nickname
pengedar narkoba yang jadi informan polisi sebagaimana diceritakan Hank
sebelumnya.
Pas adegan ini, Walter nggak perlu membatin, “Astaga!
Nama yang di plat mobil Jesse itu kan mirip dengan julukan si informan yang
tadi diomongin Hank. Berarti... berarti... Jesse yang dulu muridku sekarang
jadi pecandu shabu...? Ya Allah... ampuni dia ya Allah...!”. Cukup dengan satu
shot ke plat nomer, lalu close up wajah Walt yang mengerutkan kening, pemirsa
sudah langsung tahu dengan menyimpulkan sendiri.
Berkat pengetahuan yang mendalam akan kimia dan
dedikasinya akan kesempurnaan mutu, shabu hasil racikan Walter menjadi barang
berkualitas tinggi yang sangat mahal. Ia mengisi dompetnya dengan itu—untuk
ngasih warisan keluarganya bila kelak ia sudah almarhum.
Episode-episode awal BB berisi kontradiksi Walt sebagai bapak rumah tangga yang baik
tapi lelah dan kehidupan gelapnya di dunia bisnis narkoba. Kadang getir, kadang
menggelikan. Terutama ketika Hank sudah mulai mencari-cari siapa gerangan
peracik meth baru itu—tak tahu sama sekali orangnya tak lain adalah kakak
iparnya sendiri.
BB
diciptakan oleh produser dan sutradara sinetron kenamaan AS, Vince Gilligan.
Termasuk dalam curriculum vitae-nya
adalah serial legendaris The X-Files,
sebagai produser bareng Chris Carter. Ia kemudian juga memproduksi The Lone Gunmen (sempalan dari The
X-Files, dulu pernah tayang juga di SCTV), Harsh
Realm (tayang di Indosiar), dan Better
Call Saul (sempalan BB).
Yang paling awal menarik perhatianku adalah bahwa
serial drama satu ini sebenarnya cuman pelajaran kimia. Segala aspek soal chemistry muncul menjadi nuansa
globalnya, bahkan termasuk font di credit title. Dan ketika masuk ke urusan
praktiknya di dunia cerita, yang muncul bisa sungguh sangat bikin ternganga.
Contohnya ada pada episode 2, saat Walt dan Jesse
mencoba menghabisi Krazy-8 Molina (Maximono Arciniega) dan Emilio Koyama (John
Koyama), dua pengedar narkoba yang awalnya mencoba membunuh keduanya. Agar tak
meninggalkan jejak, Walt ingin melumerkan jenazah Emilio. Untuk itu ia menyuruh
Jesse membeli wadah plastik besar di supermarket.
Merasa bahwa wadah plastik yang diomongkan Walt tak
cukup gede untuk mewadahi jasad Emilio, Jesse batal beli dan lalu meletakkan
jenazah mantan temannya itu di bath tub kamar mandi, di lantai dua rumahnya.
Habis itu ia “memandikan” Emilio dalam cairan asam klorida untuk melumerkannya.
Saat Walt datang dan dikasih tahu Emilio sudah dibereskan di bath tub, ia pun
kaget dan marah-marah.
Tiba-tiba saja, lantai atas tempat bath tub berada,
amblong. Seluruh isinya, yaitu ceceran organ tubuh manusia, jatuh berantakan ke
lantai bawah. Barulah kemudian Walt ngamuk-ngamuk dan ngasih tahu bahwa asam
klorida bisa menghancurkan apa pun, kecuali plastik. Itu sebabnya dia suruh
Jesse beli wadah plastik. Jesse pun cuman bisa melongo. Dan perutku kaku pas
adegan ini.
Dari mana semua akurasi ilmiah itu didapat BB? Salah satunya dari Donna Nelson,
profesor kimia organik dari Universitas Oklahoma. Pada awal masa penayangan BB, Profesor Nelson tergerak melihat
sebuah serial sinetron yang sangat mengangkat bidang keahliannya. Lalu ia
menghubungi kru produksi dan menawarkan bantuan untuk menjadi konsultan ahli
soal kimia.
Tentu saja tawaran ini disambut baik oleh Vince dan
anak buahnya. Profesor Nelson pun kemudian memeriksa skenario berkaitan dengan
ketepatan penggunaan ilmu kimianya. Ia juga menggambar struktur kimia dan
rumus-rumus hitungan yang dipakai di dalam skenario maupun di properti syuting.
Selain Prof. Nelson, para ahli lain diminta bantuan
untuk menjaga akurasi cerita di segala bidang. Tak hanya kimia, namun juga dalam
soal kelistrikan, permesinan, maupun fisika. Vince ingin apa pun yang
ditampilkan di cerita serbadetail, logis, dan praktis sesuai kasunyatan di alam
kehidupan. Meski begitu, kru produksinya tak punya jajaran konsultan tetap.
Para ahli itu menawarkan diri seperti Prof. Nelson, dan dimintai bantuan
saat-saat diperlukan saja.
Salah satu aspek akurasi yang bikin heran adalah
komposisi shabu racikan Walt. Tak cuman secara kosongan tanpa alasan membuat
buatan dia tahu-tahu serba dahsyat, Vince memaparkan pula latar ilmiah di
baliknya. Berdasarkan amatan Jason Wallach, penulis di Majalah Vice, Walt
sukses membuat shabu dengan menggunakan metoda reaksi kimia yang disebut reductive amination, berbasis
phenyl-2-propanone (phenylacetone alias P2P) dan methylamine.
Itu membuat shabunya punya kristal yang sangat
panjang, sangat murni, dan oleh karenanya berwarna biru cyan yang amat terang.
Namun saat kena cahaya matahari atau lampu di dalam ruang, kristal shabu yang
sangat murni ini jadi berwarna putih jernih. Pada bagian lanjutan cerita, para
pesaing menggunakan pewarna buatan untuk membuat shabu hasil racikan mereka
berwarna putih jernih terang seperti buatan Walt (cukup ya untuk pelajaran
kristal meth? Don’t try this at home...!).
Selain faktor itu, kualitas akting para pemainnya
(terutama Cranston dan Paul) juga dipuji para kritikus. Cranston bahkan
menyabet gelar Aktor Drama Terbaik di Emmy tahun 2008, 2009, 2010, dan 2014. Aaron Paul juga sempat
beberapa kali memenangi penghargaan serupa, untuk kategori Aktor Pendukung
Terbaik.
Intinya, setelah nonton BB, sekali lagi terbukti kesahihan paham fiksi yang kuanut, yaitu
detail, logika, dan akurasi dengan dunia nyata. Relatif semua karya fiksi yang
berkualitas, sejak dari Si Doel Anak
Sekolahan, Bumi Manusia, hingga drama
TV yang satu ini, punya skor tinggi di ketiga bidang itu. Sedang genre cerita,
mau pocong, mau fantasi, mau romance, mau sci-fi, hanyalah sekadar pakaian,
yang tinggal ngikut saja apa yang ada di baliknya.
Dan jadi mikir. Andai dulu para guru kimiaku di SMA
ngajar dengan nyuruh aku nonton serial atau film beginian, pasti nilai kimiaku
di atas 90, aku tertarik mendalami kimia, hobi bikin eksperimen, serta punya
banyak pertanyaan usil untuk kutanyakan pada sang guru pas jam pelajaran—dan
bukannya cuman sibuk remidi sepanjang tiga tahun...
0 komentar:
Posting Komentar