Tema merupakan salah satu dari lima
unsur pembentuk fiksi, selain karakterisasi, plot, setting, dan style. Bagian
ini berisi topik bahasan yang ada dalam sebuah cerita. Bisa topik global seperti
percintaan, drama keluarga, atau spionase, bisa juga tema di dalam cerita, seperti
sejarah agama Kristen di novel The Da
Vinci Code-nya Dan Brown, atau tentang dunia sihir kayak di Harry Potter.
Satu elemen lagi yang masih masuk
dalam tema adalah moral of the story
alias pesan moral. Tiap cerita memiliki satu pesan mulia yang dapat dipelajari
pembaca. Dalam dongeng nina bobo untuk anak, pesan moral biasanya selalu
dituliskan seusai cerita tamat, misal “jangan suka bohong”, “kejujuran adalah
mata uang yang berlaku di mana-mana”, atau “kejar cita-cita setinggi langit”.
Buatku sendiri, pesan moral ini
adalah fitur termewah yang bisa didapat seorang pengarang lewat pekerjaannya.
Ia bisa mengkotbahkan apa pun nilai yang ia anut sesuka hatinya. Bila ulama berkotbah
lewat ceramah, politikus berkotbah lewat pidato kampanye, penyanyi lewat lirik
lagu, maka pengarang tentu lewat karangannya.
Dalam hal ini, pengarang punya satu
kelebihan kunci, yaitu kotbahnya seringkali tak terpindai. Di bidang lain,
acara kotbah pasti sudah bikin bosan dulu. Orang-orang duduk rapi, lalu mendengarkan
satu orang bicara panjang kali lebar. Kalau skill
public speaking-nya belum seoke Mario Teguh, dijamin 30 menit akan terasa seperti
seabad—lalu banyak yang ngantuk. Terlebih lagi kalau materi yang diceramahkan
cuman ngambil dari text book dan
sudah terlalu sering diulang-ulang dalam berbagai kesempatan.
Pengarang bisa menyamarkan sesubtil
mungkin isi kotbahnya karena hal itu dimasukkan dalam bingkai cerita. Masuk cerita
berarti bahkan unsur kotbah pun muncul dengan cara yang indah, artistik. Pembaca
menyerapnya sebagai bagian dari cerita, bukan sesuatu yang terpisah. Besar kemungkinan isi ceramah
moral itu akan langsung ia serap tanpa resistensi, karena muncul seolah sebagai
ide baru nan brilian instead of topik
nasihat penuh petatah-petitih.
Sayangnya fitur ini tak disadari oleh
kebanyakan pengarang novel generasi baru dewasa ini. Banyak cerita lewat begitu
saja karena murni hanya crito. Tentang A dan B yang sahabatan sejak kecil lalu
jatuh cinta dan tarik-ulur. Tentang A yang dikhianati B lalu bangkit dari keterpurukan
setelah ada C. Tentang A yang pernah punya salah pada B lalu ketemuan lagi sekian
tahun kemudian dan pelan-pelan semua membaik—dan mereka jadian.
Sudah, itu saja. Cerita pun hanya sekadar
device (alat) untuk membantu A dan B
jadian. Ini jelas eman-eman. Mirip urban legend zaman dulu tentang seorang petani
gunung kaya raya yang beli kulkas tapi buat menyimpan pakaian. Secara fungsi ya
memang bisa, tapi manfaat keseluruhannya kan sungguh jauh lebih besar daripada hanya sebatas
itu—kalau bisa ditemukan, atau ada kemauan untuk menemukannya.
Secara substantif sebenarnya isi pesan
selalu ada di setiap cerita. Namun jika tidak ada cara untuk mengungkapkannya,
pembaca pasti juga akan kesulitan menemukannya. Seporsi tahu gimbal tentu punya
kandungan nutrisi juga, tapi kalau tak ada tabel nutrition facts-nya, warga awam tentu tak akan bisa tahu. Masa ya
harus mencoba menganalisisnya sendiri, atau nanya ke teman yang ahli gizi?
Maka harus ada suatu cara ketika
kita penulis mewartakan pesan moral kita di dalam cerita. Tentu tidak dengan
ditulis opo anane “Moral of the Story”
setelah bagian “the end” kayak di
dongeng kanak-kanak, melainkan dengan cara lain. Dan salah satu cara tergampang
adalah melalui omongan berbobot, entah diomongkan si tokoh utama sendiri, atau
oleh tokoh lain.
Apa itu omongan berbobot? Dalam tiap
cerita, sastra ataupun film, mutlak harus ada kalimat indah yang menjadi trade mark cerita bersangkutan. Ini bisa
muncul lewat narasi (saat pakai angle
orang pertama), dan bisa juga lewat dialog. Istilah Inggris-nya memorable quotes. Gampangnya, kita sering
sebut dengan istilah kata-kata mutiara.
Coba amati buku atau film yang bermutu,
pasti kita bisa meresapi pesan moral lewat memorable
quotes ini. Di novel Bumi Manusia
oleh Pram, keseluruhan
pesan kotbah terbaca lewat kalimat Nyai Ontosoroh pada si “aku” (Minke) tentang
berjuang dan terus berjuang, tepat pada bagian ending.
Di film The Mask of Zorro (1998), Don Diego De La Vega (Anthony Hopkins) ngomong sama Alejandro Murrieta
(Antonio Banderas) bahwa “Saat murid telah siap, guru akan muncul”. Dan dalam
miniseri Zoya, yang diangkat dari novel
berjudul sama karya Danielle Steele, Zoya (Melissa Gilbert) membatin “Waktu
punya kebaikan yang misterius. Ia mengembalikan apa pun yang hilang dari kita
dalam bentuk kenangan dan kearifan” pada bagian ending setelah selamat dari sebegitu banyak cobaan.
Sebagaimana di buku dan film-film
itu, omongan berbobot dimunculkan pada saat atau setelah si tokoh utama mengalami
ujian hidup, dan kemudian mempelajari
hal-hal baru yang bikin dia makin kuat. Kan kita juga mengalaminya
di kehidupan dunia nyata. Saat tahu sosok inceran udah punya pacar, sobat kita
pasti akan ngomong “Udah, lupain! Dunia toh nggak selebar daun kelor”. Dan saat
hubungan hancur setelah sang pacar selingkuh, guru kungfu kita akan bilang, “Kepercayaan adalah
nyawa. Sekali hilang, tak bisa dikembalikan lagi”.
Pesan moral yang bermanfaat akan
bisa kita petik gara-gara omongan berbobot itu. Sesudah dikasih tahu sang teman
bahwa dunia nggak selebar daun kelor, kita juga tahu bahwa masih akan ada
buanyak sosok-sosok spesial lain untuk diincar (bisa move on). Dan setelah dikasih
tahu sensei, kita akan lebih hati-hati menyikapi orang
lain, plus menjaga agar diri sendiri makin menjadi orang yang bisa menjaga kepercayaan.
Hal yang sama terjadi pula pada pembaca buku.
Sebelum menentukan memorable quotes, terlebih dulu tentu
kita harus menentukan pesan moralnya terlebih dulu. Misal di cerita A dan B
sahabatan lalu jatuh cinta, pesannya bisa berupa keberanian untuk mengambil
risiko. Lalu di kisah A menyakiti B dan berusaha memperbaiki diri, pesannya
pasti di seputar fakta bahwa manusia tak sempurna, penuh salah-salah, tapi selalu
ada jalan memperbaiki diri karena
selalu ada kesempatan
kedua.
Itu bisa diwujudkan dalam dialog semacam
“Memang kalau ini gagal, kalian akan kehilangan diri kalian sebagai sahabat.
Tapi so what? Masuk WC umum aja ada
risiko WC-nya kehabisan air padahal udah kadung e’ek. Intinya, semua hal mengandung risiko. Dan kalau
kamu memilih untuk tidak melakukan sesuatu cuman karena takut pada risiko, maka
congratulations! Kamu sudah resmi diterima di Klub Kaum Pengecut!”, yang
diucapkan ayah si A setelah dicurhati soal si B.
Apakah memorable quotes harus orisinal dari diri kita sendiri? Disunnahkan
iya. Tapi ambil kata-kata mutiara orang lain pun nggak papa, asal disebutkan
sumbernya dalam dialog sang tokoh, seperti “Kata Einstein kan, imajinasi lebih
penting dari ilmu pengetahuan…”. Akan lebih bagus bila sepanjang cerita terdapat
lebih dari tiga memorable quotes. Dan
di antaranya, kita selipkan cukup satu saja, minimal, kata-kata berbobot yang
asli buatan sendiri. Lainnya boleh ambil dari website inspirational quotes. Tinggal di-Google.
Masalahnya adalah, kadang bagi
insan-insan tertentu, hasrat berpesan lewat cerita terlalu menggelora sehingga
mengorbankan ceritanya sendiri. Misal bagi para guru, ortu bijak, atau aparat
dinas pendidikan, cerita anak-anak harus suangat edukatif sehingga saking begitu
semangatnya bernasihat,
ceritanya pasti jadi sama sekali nggak menarik.
Ambil contoh serial animasi Adit dan Sopo
Jarwo di MNCTV. Semua tokohnya (kecuali Sopo & Jarwo) serba perfect dan penuh
ucapan-ucapan agamis. Udah gitu masih ditambahi pula tokoh deus ex machina Ketua RW Pak Haji Udin “Deddy Mizwar”, yang baju kuningnya nggak pernah ganti, sebagai penyelesai segala
masalah dan selalu penuh nasihat-nasihat luhur.
Ceritanya? Ah sudah tertebak cukup dengan
lihat 2 episod. Pasti tentang Jarwo yang bikin ulah dan selalu bikin
orang-orang repot, lalu dia dinasihati Pak Haji. Satu-satunya daya tarik serial
ini hanyalah tokoh Li Mei (kalau aku eksekutif MNCTV, pasti akan ku-request PH pembuatnya, MD
Animation, untuk bikin spinoff, dengan Li Mei sebagai karakter utama, yang ber-genre anime romance remaja).
Cerita dan pesan moral memang dua
hal yang tak bisa duduk berdampingan sama tinggi. Mengedepankan yang satu pasti
akan meminorkan satunya lagi. Sebagai pengarang dan seniman, yang harus
diutamakan tentu kualitas dan estetika cerita, bukan yang lain. Tugas kita kan
itu, dan bukan untuk nasihatin orang.
Fokus saja untuk bikin cerita, yang
sebaik mungkin. Terutama saat mengawali, jangan terbebani untuk harus bisa menelurkan
pesan nan megah dan inspiratif. Nanti
malah judheg sendiri dan nggak segera mulai. Go with the flow aja.
Nanti di tengah-tengah, pesannya akan ketemu dengan sendirinya. Tinggal memformulasikannya
dalam bentuk narasi atau dialog yang mengandung memorable quotes itu tadi.
Film kartun Disney misalnya, apa pernah
semua tokohnya serba alim penuh keluhuran budi, lalu ditambah tokoh pendeta gereja
yang selalu muncul pada saat genting untuk memberi solusi plus nasihat bijak?
Donal adalah bebek egois, dan Paman Gober malahan pelit setengah mati. Spongebob
dan kawan-kawan juga bukan kanak-kanak nan manis kayak Adit dan Dennis. Mereka tengil,
jahil, dan Squidward bahkan selalu mencari cara agar bisa jauh dari Spongebob
dan Patrick yang dianggapnya terlalu
kekanak-kanakan.
Namun dalam film-film Disney, di tengah
semua karakter nyebelin itu, selalu terselip pesan soal “fate is kind,
she came to those who love”, atau “Say what you want to say! Let the world fall
out. Honestly, I wanna see you be brave!”, atau “Cold doesn’t bother me anymore!”, atau “fly to who you are, fly into your heart, spread your wings and fly to
the sky!”.
Dan saat Squidward bisa menyepi dari
Spongebob serta Patrick, ujung-ujungnya dia malah nangis karena kesepian, nggak
ada yang ganggu, nggak ada yang jahil, nggak ada yang ngerepotin. Lalu kita
jadi inget pepatah Jawa yang mengatakan bahwa sodara atau sahabat itu “cedhak mambu tai, adoh mambu wangi” (kalau dekat baunya busuk, tapi kalau jauh jadi berbau
wangi), yang artinya adalah bahwa kalau pas ngumpul, kita sering dibikin sebel.
Baru kalau pas jauh, kangen karena tau-tau rumah jadi sepi.
As usual, dalam cerita-cerita yang lebih
bermutu, pesan moralnya pun hasil dari sesuatu yang ditampilkan secara tersamar
untuk kita artikan sendiri. Bukan yang dengan dikatakan gamblang apa adanya,
misal Mr. Krabs mendatangi Squidward, “Ente sadar dong, Ward! Sahabat kan selalu
ada buat kita dalam suka dan duka…” dan seterusnya.
Akan lebih bagus bikin cerita yang memikat
dan pesannya cuman diselipkan dikit-dikit (tapi pasti terserap otomatis karena
dituturkan dengan cara yang indah) daripada bikin cerita penuh nasihat dan
tokoh serbamulia tapi sudah bikin ongap-angop di 2 bab pertama…
0 komentar:
Posting Komentar