Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang berbunyi “weweh
tanpa kelangan”. Artinya memberi tanpa kehilangan. Ini jelas aneh, karena
namanya memberi, pasti ada sesuatu yang berkurang dari perbendaharaan kita.
Tapi nyatanya justru tidak. Kita nggak kehilangan apa pun sesudah memberi.
Malah justru kebalikannya, yaitu menerima.
Ini kualami waktu tempo hari dikasih tugas Evi,
adikku, untuk membimbing salah satu muridnya yang bernama Rania ikut lomba
cipta puisi tingkat Kabupaten Magelang. Evi mengajar di SD Negeri I Borobudur,
dan Rania murid kelas V. Beberapa waktu lalu, dia menang lomba itu untuk
tingkat Kecamatan Borobudur. Makanya maju ke level kabupaten.
Lombanya lucu juga, karena cipta, dan bukan tampil
baca puisi. Selain itu, beda dari kontes sastra berformat sayembara,
yang mana penulis cukup kirim, di sini anak-anak harus datang, untuk rame-rame
nulis puisinya.
Karena berupa bikin, maka bisa saja yang bikin bukan
asli anak-anak umur 11 tahunan itu, melainkan siapa saja. Guru, ortu, atau
seorang puisiwan. Dan itu sudah jadi rahasia umum semua
pihak yang terlibat selama ini, tapi semua pada saling maklum dan sekadar melanjutkan
rutinitas tahunan.
Nah, yang nulis puisi Rania sendiri adalah aku, lalu
dia tinggal ngapalin dan ditulis lagi pas lomba. Puisi itu berjudul Tanah Air
adalah Rumah, yang menang juara I, dan bentuknya seperti ini (siap-siap tisu
untuk menghapus air mata kagum):
Tanah Air adalah
Rumah
Tanah Air adalah
rumah
Tempat aku lahir
dan dibesarkan
Dan melihat
semua keindahan
Yang diciptakan
Tuhan untuk kita
Tiap pagi aku
membuka mata
Menghirup udara
segar waktu fajar
Dan menikmati
titik embun di daun-daun
Hanya doa syukur
yang terucap
Bahwa tak ada
tempat seindah di sini
Ini rumahku,
duniaku
Yang tanahnya
menghidupi
Dan langitnya
meneduhi
Memang tak
sempurna
Sebagaimana
semua yang ada di semesta
Namun di sinilah
Keringat
kuteteskan, darah kutumpahkan
Dan kerja keras
kupersembahkan
Karena ini
rumahku, duniaku
Yang satu saat
mungkin kutinggal pergi
Tapi pasti jadi
tempat pulang
Sebab hatiku ada
di sini
Apa pun alasannya, jelas metoda kompetisi yang
semacam itu so weird. Mirip lomba
dongeng yang diselenggarakan Dinas Pendidikan di seluruh RI. Dongeng kan alat
untuk mendidik anak. Kenapa justru anak yang disuruh ndongeng? Harusnya yang
lomba kan guru dan ortu (kayak Ditya Naumila gitu, atau Ulin Noor).
Anak-anak yang dengerin dongengnya. Piye to?
Maka untuk lomba tingkat kabupaten,
Evi pengin
sedikit banyak Rania tahu teknik
dasarnya, dan nggak melulu membawa puisi orang lain. Aku pun ditunjuk untuk
ngasih tahu dia teknik-teknik dasar itu.
Masalahnya, bahkan para penghuni
alam lelembut pun tahu aku nggak mudeng puisi. Aku seniman teknis, yang belajar
nulis sejak dari nol. Bukan karena talenta atau “keperluan untuk meneriakkan sesuatu”
yang datang dari jiwa sebagaimana para seniman tulen. Kalau selama ini aku—sepertinya—bisa
nulis puisi, itu hanya karena aku bisa mencari kata-kata dan saling membaurkannya.
Maka jadilah puisi di atas.
Kalau nggak mudeng, bagaimana aku
bisa mengajarkan sesuatu, terlebih pada anak-anak? Maka beberapa hari kemarin
aku mumet mikirin (baca: ngarang-ngarang) jurus apa saja yang musti “kuajarkan”
pada Rania. Kan nggak lucu kalau, pas ketemu dia, aku cuman berslogan gombal
“Nulis yang unik, berkarakter, dan inspiratif!”, lalu kembali kutinggal ngegame!
Untung lama-lama ide datang juga.
Dan kutemukan trik praktis latihan nulis puisi yang kayaknya cocok dipakai anak
SD. Biar bisa disadap guru lain, ini dia kemarin hal-hal yang kukasih tahu ke
Rania soal latihan nulis puisi:
- Latihan nyari sinonim. Kumpulkan sebanyak mungkin kata-kata yang bersinonim,
misal “ibu”, “bunda”, “emak”, dan kenali mana di antaranya yang paling terasa
menyentuh perasaan. Itu bisa beda-beda untuk semua orang. Tak apa. Puisi
kan memang subjektif.
- Amati seluruh kata-kata di koran, lalu beri
garis bawah pada kata-kata yang dianggap paling puitis. Dua latihan ini akan menanamkan kata-kata
puitis itu ke benak dan hati. Sehingga ketika kelak mau nulis, kita akan berkecenderungan
menggunakan kata-kata itu.
- Tuliskan sebanyak mungkin kata-kata bersanjak. Misal “hancur”, “lebur”, “kabur”, “luntur”,
“kumur”, “dengkur”, dll. Tak perlu nyambung dulu tak apa. Itu akan memudahkan
kita membikin persanjakan saat nulis puisi (atau lirik lagu).
- Padukan satu kata dan kata lainnya yang tidak
umum, misal “mata bernyanyi”,
“samudera melangkah”, atau “tanah merintih”. Tujuannya untuk membuat kita
tidak takut bermain kata dan menulis saja sesuai kemauan. Jangan takut
aturan atau batasan.
- Akan lebih baik bila puisi tak crito (“Ibu, kau korbankan jiwa raga, melahirkanku,
mengandungku 9 bulan, blablabla”), tapi cukup berisi impresi kita atas sesuatu
(“Ibu, matamu adalah telaga yang tak punya batas, teduhi diri dari semua
lara”). Pasti kesan yang ditangkap pembaca juga lebih terasa.
- Puisi adalah seni yang sangat subjektif. Jangan takut pembaca nggak mudeng maksud sesungguhnya.
Tulis saja yang kamu rasakan. Tak apa jika banyak orang punya banyak pemahaman
yang berbeda tentang puisi kita.
Saat mengajarkan itu
ke Rania, aku garuk-garuk kepala karena justru akulah yang menerima ilmu lebih
banyak. Dengan mentransfer kekuatan super itu, terbuka satu gerbang kemampuan
baru lagi, yaitu menemukan metoda mengajar bukan berdasarkan bacaan (text book),
transferan dari orang lain (ceramah, nasihat, kotbah, seminar), atau pengalaman
hidup, melainkan simply from nyari-nyari based on ngarang-ngarang.
Maka signifikansi ungkapan “weweh
tanpa kelangan” itu kembali terbukti. Memberi bukannya kehilangan, tapi justru
mendapat lebih banyak.
Dan back to
lomba tadi, kalau aparat pendidikan ingin gelar lomba berkaitan dengan puisi,
harus lebih ditekankan pada pencapaian literernya, dan bukan cuman “adat
istiadat” tahunan bikin event. Buat saja sayembara tulis puisi (dan juga
cerpen, flashfic, novel) seperti yang biasa dibikin para penerbit.
Murid nggak
perlu kedharang-dharang datang jauh-jauh dari dusun ke Semarang atau Medan
untuk ikut lomba tingkat provinsi. Buat apa coba? Kan cukup karyanya yang
datang lewat email. Dan untuk menghindari sindrom penulis palsu (yang ikut
lomba si anak, tapi yang bikin puisi sang guru), lomba dibagi dalam kategori
guru dan murid.
Lalu, sejak
dari tingkat terbawah (kecamatan), gandeng donatur atau pakai dana sekolah
untuk menerbitkan buku kumpulan berisi 15 atau 20 karya (15 atau 20 penulis, untuk
lomba tulis puisi—masing-masing penyair bisa memasukkan 3-4 puisi). Murah
banget biayanya, pasti terjangkau. Dan peluncurannya dibikinkan acara launching
untuk membuat anak-anak dan ortunya bangga.
Nah, sebelum
acara lomba dimulai, gandeng penulis dan sastrawan lokal untuk memberi semacam
workshop kepenulisan. Nanti mereka juga yang menjadi juri lomba dan membidani
kelahiran bukunya. Dengan cara itu, lomba yang digelar Kemendikbud atau
Dinas-dinas Pendidikan di daerah tak cuman sekadar acara rutinitas, namun juga
suatu event yang memproduksi banyak hal, sejak sosok sastrawan baru,
karya-karya berkualitas, dan juga peristiwa untuk diberitakan lewat media.
Kalau mau
yang lebih simpel, kontak saja kantor Rumah Media atau Kuasakata untuk ngobrol
lebih lanjut...! (jebul mung iklan)
0 komentar:
Posting Komentar