scribo ergo sum

Minggu, 28 Juni 2015

Weweh Tanpa Kelangan

22:37 Posted by wiwien wintarto No comments
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang berbunyi “weweh tanpa kelangan”. Artinya memberi tanpa kehilangan. Ini jelas aneh, karena namanya memberi, pasti ada sesuatu yang berkurang dari perbendaharaan kita. Tapi nyatanya justru tidak. Kita nggak kehilangan apa pun sesudah memberi. Malah justru kebalikannya, yaitu menerima.

Ini kualami waktu tempo hari dikasih tugas Evi, adikku, untuk membimbing salah satu muridnya yang bernama Rania ikut lomba cipta puisi tingkat Kabupaten Magelang. Evi mengajar di SD Negeri I Borobudur, dan Rania murid kelas V. Beberapa waktu lalu, dia menang lomba itu untuk tingkat Kecamatan Borobudur. Makanya maju ke level kabupaten.
Lombanya lucu juga, karena cipta, dan bukan tampil baca puisi. Selain itu, beda dari kontes sastra berformat sayembara, yang mana penulis cukup kirim, di sini anak-anak harus datang, untuk rame-rame nulis puisinya.
Karena berupa bikin, maka bisa saja yang bikin bukan asli anak-anak umur 11 tahunan itu, melainkan siapa saja. Guru, ortu, atau seorang puisiwan. Dan itu sudah jadi rahasia umum semua pihak yang terlibat selama ini, tapi semua pada saling maklum dan sekadar melanjutkan rutinitas tahunan.
Nah, yang nulis puisi Rania sendiri adalah aku, lalu dia tinggal ngapalin dan ditulis lagi pas lomba. Puisi itu berjudul Tanah Air adalah Rumah, yang menang juara I, dan bentuknya seperti ini (siap-siap tisu untuk menghapus air mata kagum):

Tanah Air adalah Rumah

Tanah Air adalah rumah
Tempat aku lahir dan dibesarkan
Dan melihat semua keindahan
Yang diciptakan Tuhan untuk kita

Tiap pagi aku membuka mata
Menghirup udara segar waktu fajar
Dan menikmati titik embun di daun-daun
Hanya doa syukur yang terucap
Bahwa tak ada tempat seindah di sini

Ini rumahku, duniaku
Yang tanahnya menghidupi
Dan langitnya meneduhi
Memang tak sempurna
Sebagaimana semua yang ada di semesta
Namun di sinilah
Keringat kuteteskan, darah kutumpahkan
Dan kerja keras kupersembahkan

Karena ini rumahku, duniaku
Yang satu saat mungkin kutinggal pergi
Tapi pasti jadi tempat pulang
Sebab hatiku ada di sini

Apa pun alasannya, jelas metoda kompetisi yang semacam itu so weird. Mirip lomba dongeng yang diselenggarakan Dinas Pendidikan di seluruh RI. Dongeng kan alat untuk mendidik anak. Kenapa justru anak yang disuruh ndongeng? Harusnya yang lomba kan guru dan ortu (kayak Ditya Naumila gitu, atau Ulin Noor). Anak-anak yang dengerin dongengnya. Piye to?
Maka untuk lomba tingkat kabupaten, Evi pengin sedikit banyak Rania tahu teknik dasarnya, dan nggak melulu membawa puisi orang lain. Aku pun ditunjuk untuk ngasih tahu dia teknik-teknik dasar itu.
Masalahnya, bahkan para penghuni alam lelembut pun tahu aku nggak mudeng puisi. Aku seniman teknis, yang belajar nulis sejak dari nol. Bukan karena talenta atau “keperluan untuk meneriakkan sesuatu” yang datang dari jiwa sebagaimana para seniman tulen. Kalau selama ini aku—sepertinya—bisa nulis puisi, itu hanya karena aku bisa mencari kata-kata dan saling membaurkannya. Maka jadilah puisi di atas.
Kalau nggak mudeng, bagaimana aku bisa mengajarkan sesuatu, terlebih pada anak-anak? Maka beberapa hari kemarin aku mumet mikirin (baca: ngarang-ngarang) jurus apa saja yang musti “kuajarkan” pada Rania. Kan nggak lucu kalau, pas ketemu dia, aku cuman berslogan gombal “Nulis yang unik, berkarakter, dan inspiratif!”, lalu kembali kutinggal ngegame!
Untung lama-lama ide datang juga. Dan kutemukan trik praktis latihan nulis puisi yang kayaknya cocok dipakai anak SD. Biar bisa disadap guru lain, ini dia kemarin hal-hal yang kukasih tahu ke Rania soal latihan nulis puisi:
  • Latihan nyari sinonim. Kumpulkan sebanyak mungkin kata-kata yang bersinonim, misal “ibu”, “bunda”, “emak”, dan kenali mana di antaranya yang paling terasa menyentuh perasaan. Itu bisa beda-beda untuk semua orang. Tak apa. Puisi kan memang subjektif.
  • Amati seluruh kata-kata di koran, lalu beri garis bawah pada kata-kata yang dianggap paling puitis. Dua latihan ini akan menanamkan kata-kata puitis itu ke benak dan hati. Sehingga ketika kelak mau nulis, kita akan berkecenderungan menggunakan kata-kata itu.
  • Tuliskan sebanyak mungkin kata-kata bersanjak. Misal “hancur”, “lebur”, “kabur”, “luntur”, “kumur”, “dengkur”, dll. Tak perlu nyambung dulu tak apa. Itu akan memudahkan kita membikin persanjakan saat nulis puisi (atau lirik lagu).
  • Padukan satu kata dan kata lainnya yang tidak umum, misal “mata bernyanyi”, “samudera melangkah”, atau “tanah merintih”. Tujuannya untuk membuat kita tidak takut bermain kata dan menulis saja sesuai kemauan. Jangan takut aturan atau batasan.
  • Akan lebih baik bila puisi tak crito (“Ibu, kau korbankan jiwa raga, melahirkanku, mengandungku 9 bulan, blablabla”), tapi cukup berisi impresi kita atas sesuatu (“Ibu, matamu adalah telaga yang tak punya batas, teduhi diri dari semua lara”). Pasti kesan yang ditangkap pembaca juga lebih terasa.
  • Puisi adalah seni yang sangat subjektif. Jangan takut pembaca nggak mudeng maksud sesungguhnya. Tulis saja yang kamu rasakan. Tak apa jika banyak orang punya banyak pemahaman yang berbeda tentang puisi kita.
Saat mengajarkan itu ke Rania, aku garuk-garuk kepala karena justru akulah yang menerima ilmu lebih banyak. Dengan mentransfer kekuatan super itu, terbuka satu gerbang kemampuan baru lagi, yaitu menemukan metoda mengajar bukan berdasarkan bacaan (text book), transferan dari orang lain (ceramah, nasihat, kotbah, seminar), atau pengalaman hidup, melainkan simply from nyari-nyari based on ngarang-ngarang.
Maka signifikansi ungkapan “weweh tanpa kelangan” itu kembali terbukti. Memberi bukannya kehilangan, tapi justru mendapat lebih banyak.
Dan back to lomba tadi, kalau aparat pendidikan ingin gelar lomba berkaitan dengan puisi, harus lebih ditekankan pada pencapaian literernya, dan bukan cuman “adat istiadat” tahunan bikin event. Buat saja sayembara tulis puisi (dan juga cerpen, flashfic, novel) seperti yang biasa dibikin para penerbit.
Murid nggak perlu kedharang-dharang datang jauh-jauh dari dusun ke Semarang atau Medan untuk ikut lomba tingkat provinsi. Buat apa coba? Kan cukup karyanya yang datang lewat email. Dan untuk menghindari sindrom penulis palsu (yang ikut lomba si anak, tapi yang bikin puisi sang guru), lomba dibagi dalam kategori guru dan murid.
Lalu, sejak dari tingkat terbawah (kecamatan), gandeng donatur atau pakai dana sekolah untuk menerbitkan buku kumpulan berisi 15 atau 20 karya (15 atau 20 penulis, untuk lomba tulis puisi—masing-masing penyair bisa memasukkan 3-4 puisi). Murah banget biayanya, pasti terjangkau. Dan peluncurannya dibikinkan acara launching untuk membuat anak-anak dan ortunya bangga.
Nah, sebelum acara lomba dimulai, gandeng penulis dan sastrawan lokal untuk memberi semacam workshop kepenulisan. Nanti mereka juga yang menjadi juri lomba dan membidani kelahiran bukunya. Dengan cara itu, lomba yang digelar Kemendikbud atau Dinas-dinas Pendidikan di daerah tak cuman sekadar acara rutinitas, namun juga suatu event yang memproduksi banyak hal, sejak sosok sastrawan baru, karya-karya berkualitas, dan juga peristiwa untuk diberitakan lewat media.

Kalau mau yang lebih simpel, kontak saja kantor Rumah Media atau Kuasakata untuk ngobrol lebih lanjut...! (jebul mung iklan)

0 komentar:

Posting Komentar