scribo ergo sum

Minggu, 22 Maret 2015

Ditolak dalam Tempo Dua Hari

14:09 Posted by wiwien wintarto No comments
Dalam proses menuju penerbitan, sebuah naskah fiksi jarang langsung meluncur dalam ujud 100% versi orisinal pengarang. Editor di penerbitan tak hanya melakukan editing, melainkan juga revisi. Kadang proses revisi amat berat, tak beda jauh dari naskah skripsi yang dibantai dosbing killer.
Hal yang sama juga kualami. Aku nggak tahu persis bagaimana dengan pengarang-pengarang lain, tapi sejauh yang terjadi selama satu dekade terakhir ini nerbitin buku, yang kualami dari buku ke buku sungguh sangat unik dan luar biasa.
Tak hanya itu, pengalaman-pengalaman direvisi itu, dan juga semua insiden “behind the desk” buku-bukuku, mirip pendekar dalam cerita silat yang jatuh ke jurang tapi diselamatkan tokoh jagoan tua superhero: membuatku mempelajari jurus-jurus maut baru.
Seperti inilah hal-hal seru itu...

Panduan Praktis Membuat Homepage (2001)
Judul lengkap buku ini adalah Panduan Praktis Membuat Homepage dengan Microsoft FrontPage 2000. Ini merupakan bukuku yang sangat pertama sekali. Karena masih lugu, aku terpaksa mau nulis buku dengan namaku tak tercantum di kredit pengarang (tapi kalau sampai ada gugatan penjiplakan, cuman pengarang yang diajukan ke meja hijau; jan kampret tenan!).
Buku ini menarik karena aku harus nulis panduan mendetail bikin website sementara aku sama sekali nggak bisa bikin itu. Modalnya cuman modul kursus homepage di LPK Budiman milik adikku, Dahono, dan beli beberapa buku panduan internet. Ancaman penjiplakan kuakali dengan ilmu mengarang dasar dari zaman SD, yaitu Tuliskan dengan Kalimatmu Sendiri.
Intinya, kita baca sesuatu, merekam pengetahuan baru itu ke dalam pikiran, lalu menuangkannya kembali dengan kata-kata kita sendiri. Ilmu itu juga yang kemudian kupakai sebagai senjata saat jadi penulis freelance dan editor jurnalis (di Tren dan Gradasi). Maka saat ambil bahan dari internet, kita tidak main gampangan lewat tombol Ctrl+C dan Ctrl+V!
Buku ini juga membuka cakrawala baru bahwa penulis sejati nggak dibatasi oleh kemampuannya sendiri, sejauh hal itu masih bisa ditulis. Sekalipun dirimu belum pernah kursus astronot di NASA langsung, tak ada yang menghalangimu untuk nulis buku 7 Habits of Highly Effective Astronaut, misalnya…

Waiting 4 Tomorrow (2005)
Bahan asli novel ini adalah manuskrip berbentuk ketikan manual yang kubuat 13 tahun sebelumnya, dengan judul asli Bella. Sebelum kuemail ke Elex Media Komputindo, tentu naskah asli harus ku-convert jadi file MS Word dulu. Metoda paling simpel tentu adalah dengan di-scan dengan software OCR (optical character recognition).
Aku pakai peranti scanner di tempat kerjaku saat itu, redaksi tabloid Tren, untuk memindai satu demi satu halaman naskah Bella yang berjumlah 120-an. Karena mesin scanner tahun 2005 belum secanggih sekarang, kerjanya masih sangat lambat. Aku mulai sibuk pukul 9 dan baru rampung sekitar pukul 17.30 dalam keadaan kantor sepi senyap, padahal sangat angker!

The Rain Within (2005)
Dua novel pertama, Kok jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow, didesain setebal buku-buku manga terbitan Elex, kecil dan tipis. Untuk novel ketiga, aku pun kirim naskah yang hanya setebal 120-an halaman. Ternyata Elex baru saja mengubah kebijakan untuk menervitkan novel-novel dalam kemasan yang jauh lebih tebal.
Order mendadak pun datang dari Mbak Retno Kristy, editorku, untuk menambah jumlah halaman The Rain Within kira-kira 100-an lagi. Aku mumet pada awalnya. Menambah tebal 100 halaman sama saja dengan bikin satu novel baru. Untung kemudian solusinya muncul: menambahkan satu tokoh baru sekaligus dengan plotnya.
Maka kumunculkan tokoh Wening beserta sejarahnya dengan Elan—dia pernah nolak cinta Elan dan kemudian justru berbalik ingin dekat setelah tak merasa nyaman dengan pacarnya yang sekarang. Penambahan satu alur cerita baru dengan tepat menambah tebal pula halaman TRW seperti yang diinginkan, yaitu melewati 200-an halaman.
Penggarapan novel ini melatih skill-ku dalam hal menyusun cerita yang tersusun atas banyak plot sekaligus. Dan untung zaman sekarang sudah bisa ngetik secara digital, sehingga berbagai adegan tambahan bisa langsung diselipkan pada bagian-bagian yang diperlukan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hal serupa bisa dikerjakan dengan mudah dengan mesin ketik manual…

Dunia Dini (2007)
 Revisi Dunia Dini adalah kebalikan dari TRW. Karena terlalu asyik bikin cerita ala detektif yang rumit, jumlah halamannya membengkak hingga nyaris mencapai 300-an sesudah di-layout. Rekues pun datang: tipiskan! Juga dengan jumlah yang hampir sama, yaitu 100-an halaman.
Solusinya pun kebalikannya juga. Dengan menghilangkan tokoh dokter hewan Vety yang cantik serta alur kisah asmaranya dengan Rio, misi tersebut berhasil diselesaikan dengan baik. Yang bikin rumit adalah editingnya, karena tidak kukerjakan di file, melainkan di print out file hasil layout akhir sebelum masuk proofreading, cukup dengan dicoret-coret pakai spidol merah.
Mengedit dengan cara manual seperti itu tentu saja berisiko, karena aku hanya bisa mencoret-coret, dan sama sekali tak bisa mengedit semua referensi soal Vety pada adegan-adegan lain dengan kata-kata berbeda. Untung sepertinya cerita final version hasil coret-coret cukup selamat dari penyebutan soal dokter hewan atau anjing yang pasti bakal bikin bingung.

Say No to Love (2007)
Proses editing dan revisi naskah ini cukup panjang karena hampir sama berat dengan revisi naskah skripsi. Mbak Ike, editorku, sangat teliti dan tak hanya mengedit redaksional, namun juga merevisi banyak hal yang kurang logis dan tak akurat secara realisme. Salah satunya adalah soal tetek-bengek permohonan visa untuk bepergian ke Amerika dan Eropa, yang memang aku gak patio mudeng.
Pasca-SNTL, aku jadi makin menaruh perhatian pada soal logika dan Realism Accuracy, baik buat novel sendiri maupun saat membantu mengedit naskah punya teman. Logika tentu tak sama dengan kelumrahan alam dunia nyata (realisme). Cerita yang tak realis kayak dongeng Tolkien, CS Lewis, atau novel-novel Haruki Murakami pun tetap bisa dibikin logis bila pengambilan kerangka berpikir sebab-akibatnya tepat.

Grasshopper (2010)
Sebelum kumasukkan ke Elex, Grasshopper pernah kutawarkan ke Bentang Pustaka. Bila GPU memberi waktu tiga bulan menuju keputusan approval naskah, maka Bentang hanya perlu tak sampai seminggu!
Betul. Tepat seminggu, naskahnya dikirim balik. Dan melihat dari alasan penolakan yang sangat normatif dan tidak detail (“belum cocok dengan tematik umum kami”, “kualitas masih perlu ditingkatkan”, serta “terima kasih atas kepercayaan Anda pada…”), sepertinya yang dibaca oleh editor penyeleksi hanya sinopsisnya.
Barulah kemudian di Elex, Grasshopper benar-benar dibaca utuh oleh (almarhumah) Mbak Martini. Dia bahkan memintaku menambahkan glossary untuk istilah-istilah teknis badminton biar pembaca tidak bingung.

Saranghae Yo Super Junior & SNSD (2012)
Buku ini mencatat banyak rekor. Satu, aku hanya punya waktu penggarapan selama tiga hari. Order datang hari Jumat sore dan sudah harus jadi hari Senin. Dua, aku menulis soal artis-artis K-pop yang aku cenderung nggak terlalu ngefans plus sama sekali tidak mudeng duduk persoalannya. Dan tiga, aku muncul pakai nama pena selain WW, yaitu Hangguk Nim.
Tapi imbalannya juga cucok. Satu, aku menguasai skill baru berupa menggarap naskah buku (nonfiksi tentu saja; kalau fiksi mah ogah!) dalam tenggat yang sangat mencekik. Dua, aku jadi nambah wawasan soal K-pop (tetep nggak ngefans, tapi sangat angkat topi pada orang yang bernama Lee Soo-man). Dan tiga, royaltinya bagus banget!

Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri (2012)
Persis setelah Saranghae Yo rampung, aku dapat order buku lain lagi dengan tenggat mencekik. Yang ini datang dari Nora Umres. Aku harus melengkapi buku teknik mendongeng karya Widyo “Babahe” Leksono dengan naskah tentang teknik nulis dongeng. Kedua naskah akan dijadikan satu menjadi sebuah buku 2-in-1 yang sangat unik.
Buku itu rencananya akan jadi buku pegangan untuk sebuah acara workshop mendongeng dengan Babahe sebagai narasumber. Karena jadwal penyelenggaraan acara sudah mepet, aku hanya punya waktu nulis selama empat hari. Rekues muncul Minggu malam, dan hari Kamis sudah harus jadi.
Mirip tokoh di game fantasi yang sesudah mengalahkan Naga Api lalu muncul pemberitahuan berbunyi “Congratulations! Now you’ve mastered new techniques to fight Fire Dragons!”, aku bisa mengerjakannya relatif lancar sesudah menggarap Saranghae Yo. Apalagi aku jauh lebih mudeng soal dongeng daripada K-pop.

The Supper Club (2014)
Karena ragu bakal diapruv GPU berhubung ceritanya sangat beda, naskah The Supper Club kumasukkan ke penerbit lain yang sebenarnya sudah cukup akrab. Kukirim via email, naskah itu menerima penolakan yang mungkin menjadi rekor tercepat di seluruh dunia, yaitu tak sampai 48 jam!
Kuemail Senin tanggal 26 November 2012, hari Rabu (28/11/12) pagi, emailku sudah langsung di-reply oleh salah satu editor dengan alasan “unsur horornya terlalu gampang ditebak”. Naskahnya langsung kuprin dan kumasukkan GPU. Ternyata diterima. Kejutan juga sih. Tidak menyangka.
Naskah ini unik karena unsurnya yang paling mengejutkan (kanibalisme) sama sekali tak nampak di sinopsis. Editor pun baru tahu sesudah baca sampai tamat, karena plot twist soal itu kutaruh di ujung paling belakang, sementara sejak awal, cerita terlihat seperti kisah roman biasa.
Takutku adalah, editor menyetujui naskah diterbitkan cukup dengan baca sinopsis dan bagian-bagian awal naskah. Lantas mereka kaget begitu sudah masuk revisi dan sampai pada bagian plot twist itu. Bisa-bisa editor mumet dan mikir, “Kok jadi gini?”
Untung tidak. GPU ternyata akomodatif terhadap variasi jenis cerita yang seperti bagaimanapun—yang penting tetap bermain di koridor labelnya. Dan berkat panduan revisi dari Didiet dan Ijul, TSC sempat nangkring di rak best seller beberapa tobuk Gramedia. Mengenai unsur horornya, hampir semua pembaca mengaku kaget dan mual-mual begitu tahu daging apa yang dimasak oleh Danny dan Ciara.

Newest Book (2015)
Untuk naskah yang ini, aku kembali melakoni proses revisi yang seru, karena berupa penuaan cerita. Naskah aslinya bergenre teenlit, namun karena ada beberapa materi cerita yang berbau adult content, ceritanya harus kuubah jadi metropop.
Ini sekilas mudah, karena hanya mengubah umur para tokoh dari 17 menjadi 25-an. Namun mengubah umur karakter akan mengubah semuanya, sejak dari cara bicara, pilihan kata, mimpi-mimpi, hingga harapan, perspektif, dan hal-hal yang diurusi. Maka akhirnya revisinya jadi lumayan lama karena harus mengubah banyak barang kecil-kecil dalam cerita.

Lantas kayak apa hasilnya? Dan apa judulnya? Tunggulah tak lama lagi…!

0 komentar:

Posting Komentar