Dalam proses menuju penerbitan,
sebuah naskah fiksi jarang langsung meluncur dalam ujud 100% versi orisinal
pengarang. Editor di penerbitan tak hanya melakukan editing, melainkan juga
revisi. Kadang proses revisi amat berat, tak beda jauh dari naskah skripsi yang
dibantai dosbing killer.
Hal yang sama juga kualami. Aku
nggak tahu persis bagaimana dengan pengarang-pengarang lain, tapi sejauh yang
terjadi selama satu dekade terakhir ini nerbitin buku, yang kualami dari buku
ke buku sungguh sangat unik dan luar biasa.
Tak hanya itu,
pengalaman-pengalaman direvisi itu, dan juga semua insiden “behind
the desk” buku-bukuku, mirip
pendekar dalam cerita silat yang jatuh ke jurang tapi diselamatkan tokoh jagoan
tua superhero: membuatku mempelajari jurus-jurus maut baru.
Seperti inilah hal-hal seru
itu...
Panduan Praktis Membuat Homepage (2001)
Judul lengkap
buku ini adalah Panduan Praktis Membuat
Homepage dengan Microsoft FrontPage 2000. Ini merupakan bukuku yang sangat
pertama sekali. Karena masih lugu, aku terpaksa mau nulis buku dengan namaku
tak tercantum di kredit pengarang (tapi kalau sampai ada gugatan penjiplakan,
cuman pengarang yang diajukan ke meja hijau; jan kampret tenan!).
Buku ini
menarik karena aku harus nulis panduan mendetail bikin website sementara aku
sama sekali nggak bisa bikin itu. Modalnya cuman modul kursus homepage di LPK
Budiman milik adikku, Dahono, dan beli beberapa buku panduan internet. Ancaman
penjiplakan kuakali dengan ilmu mengarang dasar dari zaman SD, yaitu Tuliskan dengan
Kalimatmu Sendiri.
Intinya,
kita baca sesuatu, merekam pengetahuan baru itu ke dalam pikiran, lalu menuangkannya
kembali dengan kata-kata kita sendiri. Ilmu itu juga yang kemudian kupakai sebagai
senjata saat jadi penulis freelance dan editor jurnalis (di Tren dan Gradasi). Maka
saat ambil bahan dari internet, kita tidak main gampangan lewat tombol Ctrl+C
dan Ctrl+V!
Buku ini
juga membuka cakrawala baru bahwa penulis sejati nggak dibatasi oleh kemampuannya
sendiri, sejauh hal itu masih bisa ditulis. Sekalipun dirimu belum pernah
kursus astronot di NASA langsung, tak ada yang menghalangimu untuk nulis buku 7
Habits of Highly Effective Astronaut, misalnya…
Waiting
4 Tomorrow (2005)
Bahan asli novel ini adalah
manuskrip berbentuk ketikan manual yang kubuat 13 tahun sebelumnya, dengan
judul asli Bella. Sebelum kuemail ke
Elex Media Komputindo, tentu naskah asli harus ku-convert jadi file MS Word dulu. Metoda paling simpel tentu adalah
dengan di-scan dengan software OCR (optical character recognition).
Aku pakai peranti scanner di tempat kerjaku saat itu,
redaksi tabloid Tren, untuk memindai satu demi satu halaman naskah Bella yang berjumlah 120-an. Karena
mesin scanner tahun 2005 belum
secanggih sekarang, kerjanya masih sangat lambat. Aku mulai sibuk pukul 9 dan
baru rampung sekitar pukul 17.30 dalam keadaan kantor sepi senyap, padahal
sangat angker!
The Rain Within (2005)
Dua novel
pertama, Kok jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow, didesain setebal
buku-buku manga terbitan Elex, kecil dan tipis. Untuk novel ketiga, aku pun
kirim naskah yang hanya setebal 120-an halaman. Ternyata Elex baru saja mengubah
kebijakan untuk menervitkan novel-novel dalam kemasan yang jauh lebih tebal.
Order mendadak
pun datang dari Mbak Retno Kristy, editorku, untuk menambah jumlah halaman The Rain Within kira-kira 100-an lagi.
Aku mumet pada awalnya. Menambah tebal 100 halaman sama saja dengan bikin satu
novel baru. Untung kemudian solusinya muncul: menambahkan satu tokoh baru sekaligus
dengan plotnya.
Maka
kumunculkan tokoh Wening beserta sejarahnya dengan Elan—dia pernah nolak cinta Elan
dan kemudian justru berbalik ingin dekat setelah tak merasa nyaman dengan
pacarnya yang sekarang. Penambahan satu alur cerita baru dengan tepat menambah
tebal pula halaman TRW seperti yang
diinginkan, yaitu melewati 200-an halaman.
Penggarapan
novel ini melatih skill-ku dalam hal
menyusun cerita yang tersusun atas banyak plot sekaligus. Dan untung zaman sekarang
sudah bisa ngetik secara digital, sehingga berbagai adegan tambahan bisa
langsung diselipkan pada bagian-bagian yang diperlukan. Aku tak bisa membayangkan
bagaimana hal serupa bisa dikerjakan dengan mudah dengan mesin ketik manual…
Dunia Dini (2007)
Revisi Dunia
Dini adalah kebalikan dari TRW.
Karena terlalu asyik bikin cerita ala detektif yang rumit, jumlah halamannya membengkak
hingga nyaris mencapai 300-an sesudah di-layout. Rekues pun datang: tipiskan!
Juga dengan jumlah yang hampir sama, yaitu 100-an halaman.
Solusinya
pun kebalikannya juga. Dengan menghilangkan tokoh dokter hewan Vety yang cantik
serta alur kisah asmaranya dengan Rio, misi tersebut berhasil diselesaikan dengan
baik. Yang bikin rumit adalah editingnya, karena tidak kukerjakan di file, melainkan
di print out file hasil layout akhir sebelum masuk proofreading, cukup dengan
dicoret-coret pakai spidol merah.
Mengedit
dengan cara manual seperti itu tentu saja berisiko, karena aku hanya bisa mencoret-coret,
dan sama sekali tak bisa mengedit semua referensi soal Vety pada adegan-adegan
lain dengan kata-kata berbeda. Untung sepertinya cerita final version hasil coret-coret cukup selamat dari penyebutan soal
dokter hewan atau anjing yang pasti bakal bikin bingung.
Say No to Love (2007)
Proses editing
dan revisi naskah ini cukup panjang karena hampir sama berat dengan revisi
naskah skripsi. Mbak Ike, editorku, sangat teliti dan tak hanya mengedit redaksional,
namun juga merevisi banyak hal yang kurang logis dan tak akurat secara realisme.
Salah satunya adalah soal tetek-bengek permohonan visa untuk bepergian ke Amerika
dan Eropa, yang memang aku gak patio mudeng.
Pasca-SNTL, aku jadi makin menaruh perhatian
pada soal logika dan Realism Accuracy, baik buat novel sendiri maupun saat membantu
mengedit naskah punya teman. Logika tentu tak sama dengan kelumrahan alam dunia
nyata (realisme). Cerita yang tak realis kayak dongeng Tolkien, CS Lewis, atau
novel-novel Haruki Murakami pun tetap bisa dibikin logis bila pengambilan kerangka
berpikir sebab-akibatnya tepat.
Grasshopper (2010)
Sebelum
kumasukkan ke Elex, Grasshopper pernah
kutawarkan ke Bentang Pustaka. Bila GPU memberi waktu tiga bulan menuju keputusan
approval naskah, maka Bentang hanya perlu tak sampai seminggu!
Betul. Tepat
seminggu, naskahnya dikirim balik. Dan melihat dari alasan penolakan yang
sangat normatif dan tidak detail (“belum cocok dengan tematik umum kami”,
“kualitas masih perlu ditingkatkan”, serta “terima kasih atas kepercayaan Anda
pada…”), sepertinya yang dibaca oleh editor penyeleksi hanya sinopsisnya.
Barulah kemudian
di Elex, Grasshopper benar-benar
dibaca utuh oleh (almarhumah) Mbak Martini. Dia bahkan memintaku menambahkan glossary untuk istilah-istilah teknis
badminton biar pembaca tidak bingung.
Saranghae Yo Super Junior & SNSD (2012)
Buku ini
mencatat banyak rekor. Satu, aku hanya punya waktu penggarapan selama tiga
hari. Order datang hari Jumat sore dan sudah harus jadi hari Senin. Dua, aku menulis
soal artis-artis K-pop yang aku cenderung nggak terlalu ngefans plus sama sekali
tidak mudeng duduk persoalannya. Dan tiga, aku muncul pakai nama pena selain WW,
yaitu Hangguk Nim.
Tapi
imbalannya juga cucok. Satu, aku menguasai skill
baru berupa menggarap naskah buku (nonfiksi tentu saja; kalau fiksi mah ogah!)
dalam tenggat yang sangat mencekik. Dua, aku jadi nambah wawasan soal K-pop (tetep
nggak ngefans, tapi sangat angkat topi pada orang yang bernama Lee Soo-man).
Dan tiga, royaltinya bagus banget!
Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri (2012)
Persis setelah
Saranghae Yo rampung, aku dapat order
buku lain lagi dengan tenggat mencekik. Yang ini datang dari Nora Umres. Aku
harus melengkapi buku teknik mendongeng karya Widyo “Babahe” Leksono dengan
naskah tentang teknik nulis dongeng. Kedua naskah akan dijadikan satu menjadi sebuah
buku 2-in-1 yang sangat unik.
Buku itu
rencananya akan jadi buku pegangan untuk sebuah acara workshop mendongeng dengan
Babahe sebagai narasumber. Karena jadwal penyelenggaraan acara sudah mepet, aku
hanya punya waktu nulis selama empat hari. Rekues muncul Minggu malam, dan hari
Kamis sudah harus jadi.
Mirip
tokoh di game fantasi yang sesudah mengalahkan Naga Api lalu muncul pemberitahuan
berbunyi “Congratulations! Now you’ve mastered new techniques to fight
Fire Dragons!”, aku bisa mengerjakannya relatif lancar sesudah menggarap Saranghae Yo. Apalagi aku jauh lebih mudeng
soal dongeng daripada K-pop.
The Supper Club (2014)
Karena
ragu bakal diapruv GPU berhubung ceritanya sangat beda, naskah The Supper Club kumasukkan ke penerbit
lain yang sebenarnya sudah cukup akrab. Kukirim via email, naskah itu menerima
penolakan yang mungkin menjadi rekor tercepat di seluruh dunia, yaitu tak
sampai 48 jam!
Kuemail Senin
tanggal 26 November 2012, hari Rabu (28/11/12) pagi, emailku sudah langsung di-reply oleh salah satu editor dengan
alasan “unsur horornya terlalu gampang ditebak”. Naskahnya langsung kuprin dan
kumasukkan GPU. Ternyata diterima. Kejutan juga sih. Tidak menyangka.
Naskah
ini unik karena unsurnya yang paling mengejutkan (kanibalisme) sama sekali tak
nampak di sinopsis. Editor pun baru tahu sesudah baca sampai tamat, karena plot twist soal itu kutaruh di ujung
paling belakang, sementara sejak awal, cerita terlihat seperti kisah roman
biasa.
Takutku
adalah, editor menyetujui naskah diterbitkan cukup dengan baca sinopsis dan
bagian-bagian awal naskah. Lantas mereka kaget begitu sudah masuk revisi dan
sampai pada bagian plot twist itu. Bisa-bisa editor mumet dan mikir, “Kok jadi
gini?”
Untung
tidak. GPU ternyata akomodatif terhadap variasi jenis cerita yang seperti
bagaimanapun—yang penting tetap bermain di koridor labelnya. Dan berkat panduan
revisi dari Didiet dan Ijul, TSC sempat
nangkring di rak best seller beberapa tobuk Gramedia. Mengenai unsur horornya,
hampir semua pembaca mengaku kaget dan mual-mual begitu tahu daging apa yang
dimasak oleh Danny dan Ciara.
Newest Book (2015)
Untuk
naskah yang ini, aku kembali melakoni proses revisi yang seru, karena berupa penuaan
cerita. Naskah aslinya bergenre teenlit, namun karena ada beberapa materi cerita
yang berbau adult content, ceritanya
harus kuubah jadi metropop.
Ini sekilas
mudah, karena hanya mengubah umur para tokoh dari 17 menjadi 25-an. Namun mengubah
umur karakter akan mengubah semuanya, sejak dari cara bicara, pilihan kata, mimpi-mimpi,
hingga harapan, perspektif, dan hal-hal yang diurusi. Maka akhirnya revisinya
jadi lumayan lama karena harus mengubah banyak barang kecil-kecil dalam cerita.
Lantas
kayak apa hasilnya? Dan apa judulnya? Tunggulah tak lama lagi…!
0 komentar:
Posting Komentar