Beberapa tahun lalu, seorang pengamen
masuk ke bus ekonomi jurusan Semarang-Jogja yang kunaiki. Tanpa instrumen berupa
gitar atau ukulele, dia menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia dari tahun 1970-an,
seperti milik Tetty Kadi, Erny Djohan, atau Arie Kusmiran. Lain dari pengamen
lain yang cukup membawakan satu-dua lagu, dia nyanyi lama sekali.
Mungkin ada kalau enam sampai tujuh
lagu. Dan cara nyanyinya kayak ngelantur tanpa ujung pangkal, sampai-sampai
kondektur bus meneriakinya, “Tro, Mitro, uwis! Mudhun kana!”
(Sudah, turun sana!). Saat itu barulah aku mengamati sang pengamen. Dan melongolah
aku melihat seperti apa penampilannya.
Dia tidak bertipe pengamen pada
umumnya, yang rata-rata remaja ABG bertampang anak jalanan. Pengamen satu ini
sudah berusia paruh baya, lebih tua dari aku. Bajunya rapi, meski hanya berupa
kemeja dan celana pendek. Kulitnya putih bersih.
Padanya kuberikan selembar uang seribuan.
Lalu setelah ia melompat turun, kernet dan para penumpang sibuk membicarakannya.
“Mesakke. Kuwi mesthi wong sing stres gara-gara
usahane bangkrut njur dadi kere…!” ujar seorang perempuan
yang disetujui para penumpang lain (Kasihan. Itu pasti orang yang stres gara-gara
usahanya bangkrut lantas jatuh miskin).
Fragmen kejadian itulah yang melintas
di benakku saat nonton film Blue Jasmine,
besutan sutradara legendaris Woody Allen. Dengan skenario ditulis sendiri oleh
Allen, cerita film ini mirip dengan dugaan sang ibu penumpang bus kala itu,
yakni tentang warga jet set yang stres dan lama-lama nggak waras setelah
bangkrut dan jatuh miskin sejadi-jadinya.
Blue Jasmine berkisah soal kepailitan
yang menimpa Jeanette French (Cate Blanchett), sosialita kaya raya yang mengubah
namanya menjadi Jasmine. Tak berduit lagi, dan terusir dari tempat tinggal mewahnya
di New York, ia lantas hijrah ke San Fransisco dan tinggal menumpang di rumah
adik perempuannya yang miskin, Ginger (Sally Hawkins).
Jasmine dan Ginger adalah sama-sama
anak adopsi. Jadi tak ada hubungan darah antara mereka. Sejak kecil, ortu mereka
selalu menyebut Jasmine sebagai pemilik “gen yang lebih baik”. Dan itu terwujud
pada masa dewasa mereka. Jasmine jadi sosialita jet set, sedang Ginger berjuang
keras mencari nafkah sekenanya dengan bekerja serabutan.
Saat mereka ketemu lagi, Ginger telah
bercerai dari Augie (Andrew Dice Clay) dengan dua anak laki-laki yang hampir menginjak
remaja. Ia akan segera menikah dengan Chili (Bobby Cannavale) yang agak bodoh
dan berangasan. Saat dikenalkan pada Jasmine oleh Ginger, Chili berusaha mencomblangkan
Jasmine dengan Eddie (Max Casella).
Bagian selanjutnya adalah kegalauan
Jasmine dalam melanjutkan hidup sebagai mantan orang kaya. Ia ingin kuliah,
tapi karena tak berduit, ia putuskan untuk mengambil kursus daring (online) guna menjadi seorang desainer
interior. Sayang ia “computer-illiterate”,
sehingga harus kursus lebih dulu. Untuk membiayai kursusnya, ia kerja sebagai resepsionis
di tempat praktik seorang dokter gigi. Sebuah pekerjaan yang disebutnya “terlalu
rendah” untuk standar kehidupannya dulu.
Dalam sebuah pesta, ia dan Ginger
lalu sama-sama berkenalan dengan para pria yang menarik. Ginger ketemu Al
(Louis CK), pria paruh baya yang bekerja sebagai tukang memasang sound system. Sedang Jasmine lengket dengan
Dwight (Peter Sarsgaard), duda elit mantan diplomat yang tengah akan mencalonkan
diri sebagai anggota Kongres.
Sampai di situ, cerita mengalami gejala
akan menjadi semacam sinetron melodrama atau film komedi romantis biasa: muncul
sosok-sosok hero sempurna yang menyelamatkan kedua cewek itu dari nasib tak
mujur mereka. Entah bagaimana caranya, Al akan membawa Ginger keluar dari kehidupannya
yang sarat problem. Dan Dwight akan memulihkan kembali kehidupan Jasmine ke
titik normal, yaitu balik lagi jadi wanita sosialita kelas atas.
Sayangnya ini Woody Allen, Bos (niru
gaya bicara Ketua DPRD DKI)—sineas yang tidak mengabdi pada penonton dalam bentuk
happy ending nan indah seperti dalam
dongeng. Ia patuh dengan realitas ala kehidupan dunia nyata, dan tak membelok menuju
titik penyelesaian ideal seperti yang diimpikan yang memerlukan keajaiban-keajaiban
tak terduga.
Betul. Sama sekali tak ada keajaiban
dalam Blue Jasmine. Juga tak ada
sosok hero nan sempurna itu. Baik Jasmine maupun Ginger sama-sama kena batunya.
Dan bagian sesudah itu mengubah kehidupan mereka menuju ke titik yang tak pernah
mereka sangka sebelumnya.
Bagian paling menarik dari film ini
adalah kesederhanaannya. Simpel secara cerita, simpel juga dalam eksekusi sinemateknya.
Allen tak mengambil cara penceritaan yang dianeh-aneh seperti Natural Born Killers-nya Oliver Stone,
atau Punch Drunk Love (Paul Thomas Anderson). Cara pengambilan
gambarnya juga biasa-biasa saja. Langsung bisa dipelajari dan dipraktikkan para
indie filmmaker pemula sekalipun.
Kekuatan utama Blue Jasmine berada pada akting para pemainnya, terutama Cate
Blanchett. Ia benar-benar masuk ke dalam karakter Jasmine yang pelan-pelan
hancur karena nerve breakdown. Lihat
sorot matanya. Lihat ekspresi wajahnya. Itu sungguh-sungguh mirip gejala orang
yang stres dan lama-lama kenthir
(sakit jiwa). Tak heran peran ini membuatnya menang Oscar tahun lalu untuk kategori
Best Lead Actress.
Satu lagi yang layak disorot adalah
skenarionya, khususnya dalam cara Allen menaruh adegan-adegan flashback untuk menjelaskan kehidupan
masa lalu Jasmine saat masih kaya dan menikah dengan Hal (Alec Baldwin).
Umumnya, flashback digunakan sebagai
cara pengarang mendramatisasi suatu kejadian masa lalu yang dikisahkan seorang
tokoh pada tokoh lain—dan bukan cukup lewat dialog-dialog panjang saja seperti
teknik Agatha Christie dalam novel-novel detektifnya.
Allen menggunakan fragmen-fragmen flashback untuk menjelaskan cerita, dan
dipasang secara konstan di titik-titik tempat ia memang dibutuhkan. Ini mirip dengan
gaya penceritaan di serial Arrow,
yang juga terbagi dalam alur present day
dan alur lima tahun sebelumnya—yang melatarbelakangi transformasi seorang Oliver
Queen dari jutawan menjadi superhero.
Maka dari alur flashback itu kita bisa tahu secara bertahap satu demi satu apa
yang membuat hidup Jasmine berantakan. Suaminya ternyata pialang investasi penipu.
Hal melalukan praktik yang disebut Ponzi Scheme, yaitu membayar benefit investor bukan dengan keuntungan
perusahaan tempat investasi diletakkan, melainkan dari uang para investor lain
yang bergabung belakangan.
Hal juga melakukan itu terhadap Augie,
yang baru saja menang lotere senilai $ 200 ribu (Rp 2,6 miliar) dan ingin menggunakannya
sebagai modal untuk jadi pengusaha. Akibatnya, rumah tangga Augie dan Ginger
hancur, lalu mereka cerai. Belakangan terungkap juga bahwa yang membuat Jasmine
jatuh miskin adalah dirinya sendiri—lewat sebuah panggilan telepon ke FBI saat
ia marah dan bingung gara-gara cemburu.
Menyaksikan film seperti Blue Jasmine ini menarik karena kita
akan dibawa menuju arah-arah cerita yang jauh beda dari pada lazimnya film atau
sinetron yang selalu berakhir baik. Dan anehnya, unsur-unsur yang beda itu
justru adalah yang paling mungkin terjadi jika kita sungguhan mengalaminya di
dunia nyata. Menyadarkan kita betapa tontonan sinema telah begitu jauh menjauhkan
kita dari realita hidup.
Lewat Blue Jasmine, Allen memberitahu bahwa mukjizat tak terjadi tiap
hari. Kita berharap sang putri kaya raya akan kembali menemukan jalan kembali ke
istana dan kemewahannya, mirip dalam film-film Disney. Sayangnya tidak.
Alih-alih pulih, kebiasaan Jasmine untuk ngomong sendiri makin tambah parah.
Dan di akhir cerita, kita akan sepakat bahwa ia sudah resmi perlu masuk RSJ.
Lalu kita bisa melihat, “metamorfosa”
semacam itu jugalah yang bisa menimpa kita semua andai mengalami cobaan yang
sama perih dengan Jasmine. Kita kerap menertawakan wong edan berambut gimbal yang jalan sakparan-paran bugil di sepanjang jalan lalu sibuk memaki-maki
angin di perempatan jalan.
Kita merasa imun dari berubah jadi
kayak gitu. Tapi sebagaimana yang dialami Jasmine, proses menuju arah itu seringkali
tak terjadi tiba-tiba, melainkan perlahan dan nyaris tak disadari oleh yang bersangkutan.
Nah, sekarang yakinkah kamu bahwa
dirimu masih 100% waras…?
0 komentar:
Posting Komentar