Novel Dan Brown keluaran 2009, The Lost Symbol, bukan sesuatu yang gampang dikunyah. Pertama, ketebalannya
mencapai 670 halaman. Bisa dipakai sebagai bantal. Dan kedua, yang kutemukan di
rumah Dahono di Pondok Cabe adalah edisi bahasa aslinya terbitan Bantam Press,
London, Inggris.
Aku tahu aku cukup gampang mencerna pelajaran bahasa
Inggris sejak SMP (versi merendah untuk frase “pinter banget”!), tapi membaca
novel yang dituturkan selain dengan Bahasa Indonesia nggak pernah terpikir sebelumnya.
Baca novel basa Jawa saja kadang berat banget, karena nggak terbiasa (apalagi
nulis fiksi basa Jawa).
Maka waktu awal membuka-buka halaman TLS, niatku cuman iseng. Coba saja,
siapa tahu bisa paham. Pikiranku waktu itu membayangkan andai diriku harus menggantikan
tempat Frodo untuk melanglang buana ke Mount Doom untuk mencemplungkan The Ring
ke kawahnya. Jalan aja dulu barang 100-200 meter dari rumah. Kalau terasa oke,
bisa dilanjutkan. Kalau enggak, tinggal bayar tukang ojek untuk ganti bawa tuh
cincin, lalu aku balik lagi ke rumah dan boci.
Namun ternyata aku tak jadi pulang balik. Entah aku
yang telah jadi terlalu canggih dalam hal reading atau gaya bahasa Dan Brown
pada dasarnya memang cemen, aku tak mengalami kesulitan sama sekali membaca TLS sebelum diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia. Ditambah skill nulis yang oke dan topik cerita yang menarik, TLS pun benar-benar jadi page turner—bikin susah berhenti.
Meski sudah baca dua novel Brown sebelumnya—The Da Vinci Code dan Deception Point—TLS tetap bikin aku manggut-manggut dan membatin “Oooh… gitu to?”
dari halaman ke halaman. Aku cuman tak lagi kaget pada gambar besarnya soal teori
konspirasi karena sudah mengantisipasi sejak ketemu TDVC satu dekade lalu.
Kembali menampilkan simbolog Robert Langdon, TLS berkisah soal organisasi misterius
Freemasonry dan pencarian terhadap apa yang disebut Misteri Purba. Cerita
dibuka dengan kedatangan Langdon ke Washington, DC., atas undangan sahabatnya,
Peter Solomon, untuk mengisi kuliah simbologi di Gedung Capitol.
Ternyata ia dijebak. Yang mengundangnya bukanlah
Solomon, melainkan seorang pria misterius sakti mandraguna bernama Mal’akh.
Orang itu memaksa Langdon membongkar sandi dan simbol-simbol pada Piramid Mason
milik Solomon guna mencari sebuah portal ajaib dengan taruhan nyawa Solomon.
Portal itu menuju ke satu tempat misterius yang di dalamnya terdapat harta
karun mahadahsyat berkaitan dengan Misteri Purba.
Berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa
Solomon yang diculik dan disekap Mal’akh, Langdon pun berusaha keras memecahkan
rangkaian teka-teki yang ada di Piramid. Ia terlibat dalam petualangan seru sepanjang
malam, dan bertemu banyak karakter unik, seperti Direktur Kantor Keamanan CIA
Inoue Sato yang galak, Katherine Solomon yang menarik, serta sang Arsitek yang
tak berdaya.
Seperti biasa, kelebihan Dan Brown yang selalu menjadi
suri tauladan buatku adalah betapa sempitnya rentang latar waktu seluruh kejadian
yang ia ceritakan. Kita kerap baca cerita roman yang berlangsung dalam rentang
waktu berbulan-bulan. Novel-novel melodrama Sydney Sheldon bahkan diawali saat
sang tokoh utama masih kecil dan ditutup saat ia sudah jadi kakek atau nenek.
TLS tak perlu
rentang waktu semasif itu untuk menuntaskan ceritanya, karena hanya berlangsung
dari pukul 18 hingga pukul 6 pagi saat matahari terbit. Tepat 12 jam. Dan seluruh
kejadian berlangsung di Washington, DC., mungkin hanya di wilayah satu kecamatan—dari
Gedung Capitol, Perpustakaan Kongres, perumahan Kalorama Heights, Lapangan
Franklin, dan House of Temple.
Singkatnya rentang waktu kejadian menyebabkan (atau
bisa juga karena) cerita sangat padat dan harus dikisahkan dengan ritme cepat.
Tak ada waktu senggang, tempat para tokoh bersantai ngobrol di kafe atau menikmati
kerlap-kerlip lampu kota hanya untuk mengguman “I’ve never seen anything like this before…!”.
Semua obrolan dan diskusi panjang lebar terjadi dalam
konteks pencarian data dan fakta untuk memecahkan masalah soal Piramid. Dan karena
merembug hal-hal baru yang perlu bagi progress cerita, maka semua obrolan itu
jadi sama menarik dengan segmen-segmen laganya. Lebih menarik lagi karena
Langdon tak dijadikan sebagai si mahatahu yang serba penuh informasi untuk
dikotbahkan.
Kadang ia justru tampak bego mengenai segala hal yang
berbau Freemasonry di hadapan Peter Solomon. Dan soal keagamaan, ia justru
dikuliahi Katherine. Langdon diposisikan tepat sesuai dengan karakteristiknya sebagai
guru besar bidang sejarah dan simbologi lengkap dengan skeptisismenya, yang
sangat khas akademikus.
Dan seperti novel-novelnya yang lain, TLS juga menjadi page turner karena diceritakan dalam bab-bab yang singkat (tak pernah
melebihi 10 halaman—mayoritas bahkan hanya empat atau lima atau kurang). Nyaris
semuanya selalu diakhiri dengan cliffhanger,
seperti “To his horror, something was staring back” (hal. 211),
“’AD isn’t a date, Katherine. It’s a person’” (hal. 345), atau “And then blackness. Robert
Langdon was gone” (hal. 504).
Cara penceritaan seperti ini jadi jauh lebih efektif
ketika dipadukan dengan alur cerita yang berganda (multiplot), dan bab-babnya
disusun saling bergantian antarplot. Ada
beberapa alur sekaligus dalam TLS
yang terjadi bersamaan—petualangan Langdon, petualangan Katherine (kemudian
jadi satu saat mereka ketemu), kisah Mal’akh, aksi-aksi Direktur Sato dan para
anak buahnya, dan ditambah alur-alur minor soal Trish, Nola, dan satpam bernama
Anderson.
Alur-alur ini ditempatkan silih berganti tiap bab.
Saat kita dibikin penasaran akan apa yang membuat Langdon kaget, cerita melompat
dulu ke alur Mal’akh, lalu Katherine, dan baru kemudian balik lagi ke Langdon
untuk mengungkap apa yang bikin dia kaget. Jadi untuk bisa tahu apa yang
dilihat Langdon, kita dipaksa untuk melahap banyak halaman terlebih dulu.
Begitu seterusnya. Susah untuk berhenti. Selalu ada punch di tiap bagian, sebelum diakhiri punch klimaks soal identitas Mal’akh dan
harta karun mahadahsyat macam apakah yang disembunyikan para leluhur Masonik
dari abad ke-19 di bawah tanah Washington.
Namun keistimewaan Dan Brown yang sangat khas Dan
Brown adalah tematiknya. Setelah mengungkap sejarah alternatif agama Katolik
yang bikin gempar, di sini ia membedah pernak-pernik Freemasonry dan perannya
dalam pembentukan negara United States abad ke-18 dulu. Lucunya, pada bagian ujung, temanya belok ke
urusan agama juga.
Tak hanya Kristianitas, semua agama disebut, termasuk
Islam dan Muhammad. Dan topik diskusi bermuara pada satu hal: semua agama tak melulu
mengajarkan pemahaman kesalehan sebatas nilai-nilai “syariah” semata, melainkan
berevolusi menuju titik tertinggi pada kesadaran bahwa unsur-unsur ketuhanan menempel
dalam diri tiap individu.
Manusia bisa melakukan fase aphosteosis (naik lebih
tinggi menjadi “manusia setengah dewa” mirip Brama Kumbara!) bila berhasil menyatu
dengan elemen-elemen ketuhanan itu. Dalam praktik sufi Islam, fase ini disebut
makrifat. Ngelmu Kejawen menyebutnya “manunggaling
kawula-Gusti”. Di cerita wayang, istilahnya Sastrajendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.
Maka kita tiba pada titik terpenting yang harus diperhatikan
semua penulis fiksi. Kalau Dan Brown seorang teolog atau praktisi tasawuf atau
penganut aliran kebatinan, tak aneh ia bisa mengarang novel tentang itu semua.
Tapi sepertinya tidak. Ia pengarang biasa saja, yang hidupnya sangat jauh dari
semua detail yang ia tuliskan dalam cerita.
Itu jadi penting karena ia menunjukkan profesionalisme
dan totalitas dalam bekerja. Normalnya, kita (hanya mau, atau mampu) menuliskan
hal-hal yang dekat dengan diri kita saja. Lingkup pekerjaan, hobi, minat, keahlian,
atau bahkan melulu hanya diri sendiri. Namun kalau seseorang yang sangat hobi
soal musik rock sanggup menulis detail tentang hukum tata negara, lalu di buku
selanjutnya bisa menggambarkan secara rinci soal profesi dokter, barulah itu
istimewa.
So, aku tak akan kaget jika
dalam buku berikutnya, Robert Langdon pergi ke Jogja untuk membedah rahasia
sandi simbol-simbol pada bilah keris Kyai Sangkelat dan peran Isaac Newton
dalam membantu Pangeran Mangkubumi memberontak hingga akhirnya bertahta sebagai
Sri Sultan Hamengkubuwana I di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat…!
0 komentar:
Posting Komentar