scribo ergo sum

Sabtu, 24 Januari 2015

Robert Langdon Membahas Tasawuf

19:57 Posted by wiwien wintarto No comments

Novel Dan Brown keluaran 2009, The Lost Symbol, bukan sesuatu yang gampang dikunyah. Pertama, ketebalannya mencapai 670 halaman. Bisa dipakai sebagai bantal. Dan kedua, yang kutemukan di rumah Dahono di Pondok Cabe adalah edisi bahasa aslinya terbitan Bantam Press, London, Inggris.
Aku tahu aku cukup gampang mencerna pelajaran bahasa Inggris sejak SMP (versi merendah untuk frase “pinter banget”!), tapi membaca novel yang dituturkan selain dengan Bahasa Indonesia nggak pernah terpikir sebelumnya. Baca novel basa Jawa saja kadang berat banget, karena nggak terbiasa (apalagi nulis fiksi basa Jawa).

Maka waktu awal membuka-buka halaman TLS, niatku cuman iseng. Coba saja, siapa tahu bisa paham. Pikiranku waktu itu membayangkan andai diriku harus menggantikan tempat Frodo untuk melanglang buana ke Mount Doom untuk mencemplungkan The Ring ke kawahnya. Jalan aja dulu barang 100-200 meter dari rumah. Kalau terasa oke, bisa dilanjutkan. Kalau enggak, tinggal bayar tukang ojek untuk ganti bawa tuh cincin, lalu aku balik lagi ke rumah dan boci.
Namun ternyata aku tak jadi pulang balik. Entah aku yang telah jadi terlalu canggih dalam hal reading atau gaya bahasa Dan Brown pada dasarnya memang cemen, aku tak mengalami kesulitan sama sekali membaca TLS sebelum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Ditambah skill nulis yang oke dan topik cerita yang menarik, TLS pun benar-benar jadi page turner—bikin susah berhenti.
Meski sudah baca dua novel Brown sebelumnya—The Da Vinci Code dan Deception PointTLS tetap bikin aku manggut-manggut dan membatin “Oooh… gitu to?” dari halaman ke halaman. Aku cuman tak lagi kaget pada gambar besarnya soal teori konspirasi karena sudah mengantisipasi sejak ketemu TDVC satu dekade lalu.
Kembali menampilkan simbolog Robert Langdon, TLS berkisah soal organisasi misterius Freemasonry dan pencarian terhadap apa yang disebut Misteri Purba. Cerita dibuka dengan kedatangan Langdon ke Washington, DC., atas undangan sahabatnya, Peter Solomon, untuk mengisi kuliah simbologi di Gedung Capitol.
Ternyata ia dijebak. Yang mengundangnya bukanlah Solomon, melainkan seorang pria misterius sakti mandraguna bernama Mal’akh. Orang itu memaksa Langdon membongkar sandi dan simbol-simbol pada Piramid Mason milik Solomon guna mencari sebuah portal ajaib dengan taruhan nyawa Solomon. Portal itu menuju ke satu tempat misterius yang di dalamnya terdapat harta karun mahadahsyat berkaitan dengan Misteri Purba.
Berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa Solomon yang diculik dan disekap Mal’akh, Langdon pun berusaha keras memecahkan rangkaian teka-teki yang ada di Piramid. Ia terlibat dalam petualangan seru sepanjang malam, dan bertemu banyak karakter unik, seperti Direktur Kantor Keamanan CIA Inoue Sato yang galak, Katherine Solomon yang menarik, serta sang Arsitek yang tak berdaya.
Seperti biasa, kelebihan Dan Brown yang selalu menjadi suri tauladan buatku adalah betapa sempitnya rentang latar waktu seluruh kejadian yang ia ceritakan. Kita kerap baca cerita roman yang berlangsung dalam rentang waktu berbulan-bulan. Novel-novel melodrama Sydney Sheldon bahkan diawali saat sang tokoh utama masih kecil dan ditutup saat ia sudah jadi kakek atau nenek.
TLS tak perlu rentang waktu semasif itu untuk menuntaskan ceritanya, karena hanya berlangsung dari pukul 18 hingga pukul 6 pagi saat matahari terbit. Tepat 12 jam. Dan seluruh kejadian berlangsung di Washington, DC., mungkin hanya di wilayah satu kecamatan—dari Gedung Capitol, Perpustakaan Kongres, perumahan Kalorama Heights, Lapangan Franklin, dan House of Temple.
Singkatnya rentang waktu kejadian menyebabkan (atau bisa juga karena) cerita sangat padat dan harus dikisahkan dengan ritme cepat. Tak ada waktu senggang, tempat para tokoh bersantai ngobrol di kafe atau menikmati kerlap-kerlip lampu kota hanya untuk mengguman “I’ve never seen anything like this before…!”.
Semua obrolan dan diskusi panjang lebar terjadi dalam konteks pencarian data dan fakta untuk memecahkan masalah soal Piramid. Dan karena merembug hal-hal baru yang perlu bagi progress cerita, maka semua obrolan itu jadi sama menarik dengan segmen-segmen laganya. Lebih menarik lagi karena Langdon tak dijadikan sebagai si mahatahu yang serba penuh informasi untuk dikotbahkan.
Kadang ia justru tampak bego mengenai segala hal yang berbau Freemasonry di hadapan Peter Solomon. Dan soal keagamaan, ia justru dikuliahi Katherine. Langdon diposisikan tepat sesuai dengan karakteristiknya sebagai guru besar bidang sejarah dan simbologi lengkap dengan skeptisismenya, yang sangat khas akademikus.
Dan seperti novel-novelnya yang lain, TLS juga menjadi page turner karena diceritakan dalam bab-bab yang singkat (tak pernah melebihi 10 halaman—mayoritas bahkan hanya empat atau lima atau kurang). Nyaris semuanya selalu diakhiri dengan cliffhanger, seperti “To his horror, something was staring back” (hal. 211), “’AD isn’t a date, Katherine. It’s a person’” (hal. 345), atau “And then blackness. Robert Langdon was gone” (hal. 504).
Cara penceritaan seperti ini jadi jauh lebih efektif ketika dipadukan dengan alur cerita yang berganda (multiplot), dan bab-babnya disusun saling bergantian antarplot.  Ada beberapa alur sekaligus dalam TLS yang terjadi bersamaan—petualangan Langdon, petualangan Katherine (kemudian jadi satu saat mereka ketemu), kisah Mal’akh, aksi-aksi Direktur Sato dan para anak buahnya, dan ditambah alur-alur minor soal Trish, Nola, dan satpam bernama Anderson.
Alur-alur ini ditempatkan silih berganti tiap bab. Saat kita dibikin penasaran akan apa yang membuat Langdon kaget, cerita melompat dulu ke alur Mal’akh, lalu Katherine, dan baru kemudian balik lagi ke Langdon untuk mengungkap apa yang bikin dia kaget. Jadi untuk bisa tahu apa yang dilihat Langdon, kita dipaksa untuk melahap banyak halaman terlebih dulu.
Begitu seterusnya. Susah untuk berhenti. Selalu ada punch di tiap bagian, sebelum diakhiri punch klimaks soal identitas Mal’akh dan harta karun mahadahsyat macam apakah yang disembunyikan para leluhur Masonik dari abad ke-19 di bawah tanah Washington.
Namun keistimewaan Dan Brown yang sangat khas Dan Brown adalah tematiknya. Setelah mengungkap sejarah alternatif agama Katolik yang bikin gempar, di sini ia membedah pernak-pernik Freemasonry dan perannya dalam pembentukan negara United States abad ke-18 dulu.  Lucunya, pada bagian ujung, temanya belok ke urusan agama juga.
Tak hanya Kristianitas, semua agama disebut, termasuk Islam dan Muhammad. Dan topik diskusi bermuara pada satu hal: semua agama tak melulu mengajarkan pemahaman kesalehan sebatas nilai-nilai “syariah” semata, melainkan berevolusi menuju titik tertinggi pada kesadaran bahwa unsur-unsur ketuhanan menempel dalam diri tiap individu.
Manusia bisa melakukan fase aphosteosis (naik lebih tinggi menjadi “manusia setengah dewa” mirip Brama Kumbara!) bila berhasil menyatu dengan elemen-elemen ketuhanan itu. Dalam praktik sufi Islam, fase ini disebut makrifat. Ngelmu Kejawen menyebutnya “manunggaling kawula-Gusti”. Di cerita wayang, istilahnya Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Maka kita tiba pada titik terpenting yang harus diperhatikan semua penulis fiksi. Kalau Dan Brown seorang teolog atau praktisi tasawuf atau penganut aliran kebatinan, tak aneh ia bisa mengarang novel tentang itu semua. Tapi sepertinya tidak. Ia pengarang biasa saja, yang hidupnya sangat jauh dari semua detail yang ia tuliskan dalam cerita.
Itu jadi penting karena ia menunjukkan profesionalisme dan totalitas dalam bekerja. Normalnya, kita (hanya mau, atau mampu) menuliskan hal-hal yang dekat dengan diri kita saja. Lingkup pekerjaan, hobi, minat, keahlian, atau bahkan melulu hanya diri sendiri. Namun kalau seseorang yang sangat hobi soal musik rock sanggup menulis detail tentang hukum tata negara, lalu di buku selanjutnya bisa menggambarkan secara rinci soal profesi dokter, barulah itu istimewa.
So, aku tak akan kaget jika dalam buku berikutnya, Robert Langdon pergi ke Jogja untuk membedah rahasia sandi simbol-simbol pada bilah keris Kyai Sangkelat dan peran Isaac Newton dalam membantu Pangeran Mangkubumi memberontak hingga akhirnya bertahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat…!

0 komentar:

Posting Komentar