scribo ergo sum

Jumat, 16 Januari 2015

Bukan Kisah Fiksi

13:24 Posted by wiwien wintarto No comments

Ada sebuah kredo di dunia kepenulisan fiksi yang menyatakan bahwa menyampaikan kuliah atau dakwah atau pesan pendidikan lewat cerita fiksi, entah cerpen atau novel, adalah sebuah kesalahan. Saat menulis cerita, sang penulis harus fokus hanya mengenai teknis cerita. Pesan moral dan aneka paket penyuluhan akan muncul dengan sendirinya, bila teknik yang dipakai telah benar.
Saat pengarang terlalu berhasrat untuk berpetuah dan berpenerangan lewat karangan fiksinya, bisa dipastikan kualitas cerita tak akan tergarap. Daya tariknya sebagai karya fiksi akan terbenam di bawah gelimang nasihat dan informasi yang diemban sang penulis. Itulah yang terjadi pada novel The Jacatra Secret karya Rizki Ridyasmara.

Novel setebal 424 halaman yang berjudul komplet The Jacatra Secret: Misteri Simbol Satanic di Jakarta ini berkisah soal pembunuhan yang terjadi atas Sudrajat Djoyonegoro, seorang ekonom senior yang berkarier di Bappenas. Pembunuhan dilakukan oleh Drago, petugas eksekutor dari kelompok persaudaraan rahasia Freemasonry.
Penelusuran kemudian dilakukan oleh simbolog asal AS, Dr. John Grant, bersama partnernya, Angelina Demetria yang ayu bak bidadari, terhadap medallion yang ditinggalkan almarhum pada pacarnya yang asal Uzbekishtan dan berusia jauh lebih muda, Sally Kostova.
Hasil riset mereka menyimpulkan, Sudrajat dibunuh karena hendak mengkhianati organisasinya. Lewat medallion itu, membeberkan rahasia letak tambang emas di Jawa Barat yang bisa saja jatuh ke tangan asing sebagaimana tambang timah (namun berisi emas dan uranium) di Timika yang dikangkangi Freeport.
Sejak bagian pembukaan, TJS kuyup diwarnai aneka macam pembahasan mengenai simbol-simbol rahasia di banyak bangunan kuno Jakarta yang penuh nuansa Masonik. Lewat paparan panjang lebar John Grant, kita jadi tahu bahwa Batavia dibangun oleh para pengikut Freemasonry dari Belanda. Simbol-simbol organisasi satanik itu terutama bisa ditemukan di gedung Museum Fatahillah (Staadhuis) dan kantor Bappenas (Aduchstaat).
Para penggemar teori konspirasi pasti akan terhibur oleh novel ini. Wawasan pengetahuan akan bertambah. Kaget mengetahui bahwa Jakarta ternyata sebuah kota Masonik, dan bahwa logo McDonald’s ternyata bernuansa penyembahan setan! Sayang, pada nyaris 90% porsinya, berbagai fakta menarik itu tak lebih dari sekadar fakta.
Pasalnya, sebagian besar pemaparan mengenai Freemasonry dan seluruh sejarah kompletnya tak berhubungan secara langsung dengan progress cerita. Soal misteri pembunuhan Profesor Sudrajat, hanya ada dua materi saja yang penting bagi pembaca berkaitan dengan alur ceritanya, yaitu arti kode “SD-LVIIIm” pada medallion korban dan agenda Neolib terhadap negara Republik Indonesia.
Tanpa kedua hal itu, siapa sesungguhnya korban, motif di balik pembunuhannya, dan siapa pelaku pembunuhan, tak akan bisa diketahui. Namun cerita tak akan terpengaruh jika 20 halaman bab 2 berisi kuliah umum Dr. Grant soal simbol-simbol Masonik di Jakarta tidak dibaca. Juga seluruh diskusi panjang lebar antara Grant, Angelina, dan Muhammad Kasturi tentang sejarah dan latar belakang Freemasonry.
Berbagai informasi soal teori konspirasi, simbol Masonik, Illuminati, Bidelberg Group, Ksatria Templar, atau Bundaran HI yang mirip Mata Horus memang menyita porsi penceritaan. Bahkan tak jarang, penyampaiannya tak cocok dengan situasi maupun keperluannya bagi cerita.
Sebagai contoh adalah pada bab 34, saat informasi yang harus diketahui pembaca mengenai Profesor Sudrajat adalah apa arti kode di medallion yang dicari Drago dan berada di tangan Sally. Alih-alih langsung menjawab pertanyaan itu, topik diskusi melebar hingga kisah nabi-nabi, Galileo, Knight Templar, makna tersembunyi di balik logo Microsoft Windows, dan sejarah lengkap asal-usul barcode.
Semua info kecuali arti kode “SD-LVIIIm” tak penting bagi alur cerita. Tak dibaca pun tak apa-apa karena yang diperlukan saat itu memang hanya keterangan soal siapa sesungguhnya Profesor Sudrajat. Dan obrolan panjang lebar membahas itu semua antara Dr. Grant, Pak Kasturi, Angelina, dan Sally agak aneh bisa berlangsung demikian santai dan khusyuk, soalnya saat itu mereka tengah dalam pelarian untuk menyelamatkan Sally dari kejaran Drago.
Di samping itu, konstruksi pemunculan materi panjang lebar soal semua teori konspirasi tak terlalu konstruktif. Sebagian besar dialog berisi diskusi mengenai hal-hal itu terjadi antara John Grant dan Angelina, yang jadi agak lucu karena keduanya sudah sama-sama tahu banyak soal itu.
Angelina sudah membaca dua buku masterpiece John Grant, yaitu The Dark History of the World dan A Secret Code of Freemasonry. Sebagai penyuka teori konspirasi, ia harusnya sudah tak perlu diberitahu atau menggali info dari Dr. Grant soal simbol-simbol Masonik di Jakarta termasuk mengapa pinggiran kolam air di Bundaran HI dibikin licin.
Harusnya pula, ia bisa dengan mudah menjelaskan (pada Sally—satu-satunya orang awam soal teori konspirasi) arti kode di medallion tanpa perlu menunggu Pak Kasturi mengambil peta kuno Jakarta terlebih dulu.
Ada konstruksi dalam teknik penulisan fiksi yang harus dipatuhi soal pemaparan hal-hal detail mengenai satu bidang yang dijadikan tema cerita, entah itu tentang siklus hidup bakteri, tentang curare, atau tentang taktik 4-4-2 di sepakbola. Materi itu harus muncul dalam bentuk jawaban atas pertanyaan dari tokoh yang tidak tahu (yang mewakili pembaca) kepada tokoh ahli.
Dalam The Da Vinci Code-nya Dan Brown, tokoh yang tak tahu itu adalah Bezu Fache sang detektif. Saat pusing melakukan olah TKP kasus pembunuhan misterius terhadap Jacques Sauniere di Museum Louvre, ia memanggil Robert Langdon untuk memberi banyak penjelasan mengenai siapa sesungguhnya Sauniere dan apa makna posenya yang meniru gambar The Vitruvian Man karya Leonardo Da Vinci (plus ia curiga Langdon lah pelaku pembunuhan atas diri Sauniere).
Berikutnya, sesudah bareng Sophie Neveu menemukan peranti berbentuk tabung di safe deposit box bank, Langdon berubah menjadi si Tidak Tahu dengan meminta penjelasan dari  Sir Leigh Teabing, temannya yang pakar soal Holy Grail, mengenai apa sesungguhnya tabung aneh itu. Tanpa kedua informasi itu—dari Langdon dan Teabing—cerita tak akan bisa dilanjutkan.
Akan lebih konstruktif jika karakter Angelina dijadikan sebagai orang awam yang muncul di simposium Conspiratus Society hanya sebagai moderator, dengan pengetahuan sangat terbatas mengenai teori konspirasi. Kekagetannya saat tahu satu demi satu soal rahasia gelap kota Jakarta dari Dr. Grant akan dengan tepat mewakili keterpanaan pembaca mengenai semua info mengejutkan itu.

Dan terakhir, singgungan mengenai TDVC sudah dengan pas menyimpulkan arah kiblat TJS. Cukup dengan membaca kata “simbolog” di bagian sinopsis back cover, semua “simbol” langsung terbaca. Lalu ada “Jacques Sauniere” yang terbunuh di kawasan museum dan berpose kriptik untuk memberi petunjuk, ada “Robert Langdon” yang kebetulan tengah ada acara di Jakarta, ada “Sophie Neveu” yang magang di Trunojoyo, dan ada “Bezu Fache” yang suka dangdut!


Pengaruh cerita lain adalah wajar menginspirasi, namun menjadi pengikut (epigon) adalah soal lain. Maka patut dihargai upaya ES Ito dalam novel Negara Kelima. Sama-sama thriller misteri seperti TDVC, Ito mengambil rute yang sangat berbeda dan khas Indonesia, yaitu teori bahwa benua hilang Atlantis berlokasi di Indonesia (juga bahwa ras Minang, sukunya, adalah keturunan langsung Alexander Agung dari hasil invasi ke India).
Tokohnya pun bukan orang asing berkulit putih, melainkan reserse Mabes Polri bernama Timur Mangkuto. Dan tak lama setelah Negara Kelima terbit, muncul buku supertebal berjudul Atlantis, the Lost Continent Finally Found: The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization karya sejarahwan asal Brasil Arysio Santos. Buku ini memaparkan teori hasil hipotesis ilmiahnya bahwa Atlantis memang ada di Indonesia, tepatnya di pulau Jawa dan Sumatera saat masih menyatu sebelum terpisah pada akhir Zaman Es 10 milenia lalu.
Overall, TJS sangat melelahkan untuk dibaca karena kisahnya jadi amat tak berarti dibandingkan kuyupnya informasi soal Freemasonry. Sangat terasa bahwa RR terlalu berhasrat untuk berbagi pengetahuan mengenai itu, dengan meminjam sastra hanya sebagai medium untuk bertutur.
Jika novel ini dikerjakan dengan “nawaitu” murni untuk menulis fiksi, maka sekali lagi hanya akan ada dua unsur yang perlu diketahui para tokoh (dan pembaca) untuk membongkar kasus pembunuhan Profesor Sudrajat: arti kode “SD-LVIIIm” dan keterkaitannya dengan geng Neolib warisan Orba & Mafia Berkeley. Keseluruhan TSJ akan rampung tak melewati 100 halaman.
Akan beda ceritanya jika TSJ ditulis full saja sebagai buku nonfiksi. Subjudulnya pun bukan corak subjudul untuk buku-buku sastra, kecuali memang dimaksudkan sebagai parodi…

0 komentar:

Posting Komentar