Ada sebuah kredo di dunia kepenulisan
fiksi yang menyatakan bahwa menyampaikan kuliah atau dakwah atau pesan pendidikan
lewat cerita fiksi, entah cerpen atau novel, adalah sebuah kesalahan. Saat menulis
cerita, sang penulis harus fokus hanya mengenai teknis cerita. Pesan moral dan
aneka paket penyuluhan akan muncul dengan sendirinya, bila teknik yang dipakai
telah benar.
Saat pengarang terlalu berhasrat
untuk berpetuah dan berpenerangan lewat karangan fiksinya, bisa dipastikan
kualitas cerita tak akan tergarap. Daya tariknya sebagai karya fiksi akan terbenam
di bawah gelimang nasihat dan informasi yang diemban sang penulis. Itulah yang
terjadi pada novel The Jacatra Secret
karya Rizki Ridyasmara.
Novel setebal 424 halaman yang berjudul
komplet The Jacatra Secret: Misteri
Simbol Satanic di Jakarta ini berkisah soal pembunuhan yang terjadi atas
Sudrajat Djoyonegoro, seorang ekonom senior yang berkarier di Bappenas. Pembunuhan
dilakukan oleh Drago, petugas eksekutor dari kelompok persaudaraan rahasia Freemasonry.
Penelusuran kemudian dilakukan oleh
simbolog asal AS, Dr. John Grant, bersama partnernya, Angelina Demetria yang
ayu bak bidadari, terhadap medallion yang ditinggalkan almarhum pada pacarnya yang
asal Uzbekishtan dan berusia jauh lebih muda, Sally Kostova.
Hasil riset mereka menyimpulkan,
Sudrajat dibunuh karena hendak mengkhianati organisasinya. Lewat medallion itu, membeberkan rahasia letak tambang emas
di Jawa Barat yang bisa saja jatuh ke tangan asing sebagaimana tambang timah
(namun berisi emas dan uranium) di Timika yang dikangkangi Freeport.
Sejak bagian pembukaan, TJS kuyup diwarnai aneka macam pembahasan
mengenai simbol-simbol rahasia di banyak bangunan kuno Jakarta yang penuh
nuansa Masonik. Lewat paparan panjang lebar John Grant, kita jadi tahu bahwa
Batavia dibangun oleh para pengikut Freemasonry dari Belanda. Simbol-simbol
organisasi satanik itu terutama bisa ditemukan di gedung Museum Fatahillah (Staadhuis)
dan kantor Bappenas (Aduchstaat).
Para penggemar teori konspirasi
pasti akan terhibur oleh novel ini. Wawasan pengetahuan akan bertambah. Kaget mengetahui
bahwa Jakarta ternyata sebuah kota Masonik, dan bahwa logo McDonald’s ternyata
bernuansa penyembahan setan! Sayang, pada nyaris 90% porsinya, berbagai fakta menarik
itu tak lebih dari sekadar fakta.
Pasalnya, sebagian besar pemaparan mengenai
Freemasonry dan seluruh sejarah kompletnya tak berhubungan secara langsung dengan
progress cerita. Soal misteri pembunuhan Profesor Sudrajat, hanya ada dua materi
saja yang penting bagi pembaca berkaitan dengan alur ceritanya, yaitu arti kode
“SD-LVIIIm” pada medallion korban dan agenda Neolib terhadap negara Republik
Indonesia.
Tanpa kedua hal itu, siapa sesungguhnya
korban, motif di balik pembunuhannya, dan siapa pelaku pembunuhan, tak akan
bisa diketahui. Namun cerita tak akan terpengaruh jika 20 halaman bab 2 berisi
kuliah umum Dr. Grant soal simbol-simbol Masonik di Jakarta tidak dibaca. Juga
seluruh diskusi panjang lebar antara Grant, Angelina, dan Muhammad Kasturi tentang
sejarah dan latar belakang Freemasonry.
Berbagai informasi soal teori
konspirasi, simbol Masonik, Illuminati, Bidelberg Group, Ksatria Templar, atau
Bundaran HI yang mirip Mata Horus memang menyita porsi penceritaan. Bahkan tak
jarang, penyampaiannya tak cocok dengan situasi maupun keperluannya bagi cerita.
Sebagai contoh adalah pada bab 34,
saat informasi yang harus diketahui pembaca mengenai Profesor Sudrajat adalah
apa arti kode di medallion yang dicari Drago dan berada di tangan Sally.
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan itu, topik diskusi melebar hingga kisah
nabi-nabi, Galileo, Knight Templar, makna tersembunyi di balik logo Microsoft
Windows, dan sejarah lengkap asal-usul barcode.
Semua info kecuali arti kode
“SD-LVIIIm” tak penting bagi alur cerita. Tak dibaca pun tak apa-apa karena
yang diperlukan saat itu memang hanya keterangan soal siapa sesungguhnya Profesor
Sudrajat. Dan obrolan panjang lebar membahas itu semua antara Dr. Grant, Pak
Kasturi, Angelina, dan Sally agak aneh bisa berlangsung demikian santai dan
khusyuk, soalnya saat itu mereka tengah dalam pelarian untuk menyelamatkan
Sally dari kejaran Drago.
Di samping itu, konstruksi pemunculan
materi panjang lebar soal semua teori konspirasi tak terlalu konstruktif. Sebagian
besar dialog berisi diskusi mengenai hal-hal itu terjadi antara John Grant dan
Angelina, yang jadi agak lucu karena keduanya sudah sama-sama tahu banyak soal itu.
Angelina sudah membaca dua buku masterpiece John Grant, yaitu The Dark History of the World dan A Secret Code of Freemasonry. Sebagai penyuka
teori konspirasi, ia harusnya sudah tak perlu diberitahu atau menggali info
dari Dr. Grant soal simbol-simbol Masonik di Jakarta termasuk mengapa pinggiran
kolam air di Bundaran HI dibikin licin.
Harusnya pula, ia bisa dengan mudah
menjelaskan (pada Sally—satu-satunya orang awam soal teori konspirasi) arti kode
di medallion tanpa perlu menunggu Pak Kasturi mengambil peta kuno Jakarta terlebih
dulu.
Ada konstruksi dalam teknik penulisan
fiksi yang harus dipatuhi soal pemaparan hal-hal detail mengenai satu bidang
yang dijadikan tema cerita, entah itu tentang siklus hidup bakteri, tentang
curare, atau tentang taktik 4-4-2 di sepakbola. Materi itu harus muncul dalam bentuk
jawaban atas pertanyaan dari tokoh yang tidak tahu (yang mewakili pembaca) kepada
tokoh ahli.
Dalam The Da Vinci Code-nya Dan Brown, tokoh yang tak tahu itu adalah Bezu
Fache sang detektif. Saat pusing melakukan olah TKP kasus pembunuhan misterius
terhadap Jacques Sauniere di Museum Louvre, ia memanggil Robert Langdon untuk memberi
banyak penjelasan mengenai siapa sesungguhnya Sauniere dan apa makna posenya
yang meniru gambar The Vitruvian Man karya Leonardo Da Vinci (plus ia curiga Langdon lah pelaku pembunuhan
atas diri Sauniere).
Berikutnya, sesudah bareng Sophie Neveu
menemukan peranti berbentuk tabung di safe deposit box bank, Langdon berubah menjadi
si Tidak Tahu dengan meminta penjelasan dari
Sir Leigh Teabing, temannya yang pakar soal Holy Grail, mengenai apa sesungguhnya
tabung aneh itu. Tanpa kedua
informasi itu—dari Langdon dan Teabing—cerita tak akan bisa dilanjutkan.
Akan lebih konstruktif jika karakter
Angelina dijadikan sebagai orang awam yang muncul di simposium Conspiratus Society
hanya sebagai moderator, dengan pengetahuan sangat terbatas mengenai teori
konspirasi. Kekagetannya saat tahu satu demi satu soal rahasia gelap kota
Jakarta dari Dr. Grant akan dengan tepat mewakili keterpanaan pembaca mengenai
semua info mengejutkan itu.
Dan terakhir, singgungan mengenai TDVC sudah dengan pas menyimpulkan arah
kiblat TJS. Cukup dengan membaca kata
“simbolog” di bagian sinopsis back cover,
semua “simbol” langsung terbaca. Lalu ada “Jacques Sauniere” yang terbunuh di
kawasan museum dan berpose kriptik untuk memberi petunjuk, ada “Robert Langdon”
yang kebetulan tengah ada acara di Jakarta, ada “Sophie Neveu” yang magang di
Trunojoyo, dan ada “Bezu Fache” yang suka dangdut!
Pengaruh cerita lain adalah wajar menginspirasi,
namun menjadi pengikut (epigon) adalah soal lain. Maka patut dihargai upaya ES
Ito dalam novel Negara Kelima.
Sama-sama thriller misteri seperti TDVC, Ito mengambil rute yang sangat berbeda
dan khas Indonesia, yaitu teori bahwa benua hilang Atlantis berlokasi di Indonesia
(juga bahwa ras Minang, sukunya, adalah keturunan langsung Alexander Agung dari
hasil invasi ke India).
Tokohnya pun bukan orang asing berkulit
putih, melainkan reserse Mabes Polri bernama Timur Mangkuto. Dan tak lama setelah
Negara Kelima terbit, muncul buku supertebal
berjudul Atlantis, the Lost Continent Finally Found: The Definitive Localization of
Plato’s Lost Civilization karya sejarahwan asal
Brasil Arysio Santos. Buku ini
memaparkan teori hasil hipotesis ilmiahnya bahwa Atlantis memang
ada di Indonesia, tepatnya di pulau Jawa dan Sumatera saat masih menyatu sebelum
terpisah pada akhir Zaman Es 10 milenia lalu.
Overall, TJS sangat melelahkan untuk dibaca karena kisahnya jadi amat tak berarti
dibandingkan kuyupnya informasi soal Freemasonry. Sangat terasa bahwa RR terlalu
berhasrat untuk berbagi pengetahuan mengenai itu, dengan meminjam sastra hanya
sebagai medium untuk bertutur.
Jika novel ini dikerjakan dengan “nawaitu” murni untuk menulis fiksi, maka
sekali lagi hanya akan ada dua unsur yang perlu diketahui para tokoh (dan pembaca)
untuk membongkar kasus pembunuhan Profesor Sudrajat: arti kode “SD-LVIIIm” dan
keterkaitannya dengan geng Neolib warisan Orba & Mafia Berkeley. Keseluruhan
TSJ akan rampung tak melewati 100
halaman.
Akan beda ceritanya jika TSJ ditulis full saja sebagai buku nonfiksi. Subjudulnya pun bukan corak
subjudul untuk buku-buku sastra, kecuali memang dimaksudkan sebagai parodi…
0 komentar:
Posting Komentar