scribo ergo sum

Rabu, 04 Februari 2015

Sukses Tak Tidur

14:22 Posted by wiwien wintarto No comments

Kali pertama aku mengenalnya adalah bulan Januari 2013 lalu, lewat FB. Waktu itu dia masih jadi ABG umur 16 biasa saja, yang penuh semangat pengin jadi penulis. Dia bilang baru saja mengirim naskah novelnya ke Gramedia. Judulnya Janji Hati. Ia lalu mengirim file novel itu ke aku untuk kubaca dan kukasih masukan.
“Kak, tolong dibaca dan dikomen ya. Pedes pun gak papa,” demikian katanya, eh... ketiknya waktu itu. Aku pun sudah pasti menyanggupinya (tapi cuman kubaca sampai prolog doang, hihi...!).

Bulan April, kami kopdaran di ajang gathering penulis GPU. Waktu itu naskahnya sudah di-approve, dan meski belum resmi terbit, dia boleh ikut acara sebagai penulis. Tak lama kemudian, ia mencari sosok seleb untuk dimintai testimoni. Asal sebut saja, aku mengusulkan nama Rudi Soedjarwo, sang sutradara kondang itu.

Pas ketemu di Gathering Pengarang GPU, April 2013
Ternyata, tak cuma bisa dikontak, Rudi juga bisa diajak kopdaran di Jakarta. Maka, pas Janji Hati terbit sebagai teenlit bulan Juni 2013, back cover-nya dihiasi testimoni dari tiga sosok selebriti legendaris, yaitu Merry Riana, Rudi Soedjarwo, dan aku, haha (dan aku nulis blurb dalam kondisi belum baca!).
Dan kemudian, dunia berubah sedemikian cepat buat Elvira Natali.
Tak sampai dua bulan, novel JH buming dan langsung dicetak ulang. Follower Twitter-nya membengkak dari 100-an (jauh di bawahku yang waktu itu ada 300-an) menjadi 21 ribu. Sepertinya semua ABG membicarakan JH, sehingga aku penasaran dan baru menyempatkan diri untuk membacanya sampai tuntas.
Berikutnya, Rudi Soedjarwo menggaet novel itu untuk dia jadiin film. Dan Vira digaet juga untuk main jadi tokoh utamanya, Amanda Tavari. Situasi kian gaduh ketika pemeran tokoh utama cowok, Dava, tak lain adalah Aliando Syarief, yang waktu itu sudah mengalami gejala akan ngetop lewat sinetron GGS.
Open casting digelar mulai November 2013 sampai Februari 2014. Setelah didahului proses reading selama bulan Mei, syuting digeber bulan Juni. Selama syuting, Vira ngilang, tak bisa dikontak maupun mengontak. Pengambilan gambar memang tak jarang berlangsung hingga dini hari. Bahkan ada juga adegan yang syutingnya di Pangandaran.
Awalnya kupikir film Janji Hati akan diedarkan pas liburan Lebaran, tapi ternyata enggak. Edarnya baru terjadi setelah ganti tahun, tepatnya 5 Februari 2015. Timing-nya pas, nunggu Aliando makin ngetop. Dan selama periode penantian, Vira harus rela dicemburui para fans fanatik Ali & Prilly yang merasa terancam.
Vira, sekarang, dari foto di Kapanlagi.
Selasa (3/2) kemarin aku ikut datang ke acara gala premiere di bioskop XXI mal Pejaten Village, Jakarta. Naik Kopaja P-20 dari Lebak Bulus, aku setengah berlari masuk mal, karena baru tiba 10 menit dari jadwal pemutaran yang pukul 17.00. Setelah nanya di mana letak bioskop XXI pada satpam, aku buru-buru langsung naik ke lantai paling atas, takut telat dan dihukum guru BP.
Pas lewat pintu masuk, tahu-tahu ada suara memanggil-manggil. Aku menoleh ke asal suara dan tertawa. Ternyata itu Vira, stand by di salah satu kafe menunggu panggilan untuk naik ke XXI. Padahal aku baru akan nge-LINE Windasari, manajernya, untuk ambil undanganku. Malah sekalian ketemu Winda juga di situ.
Sayang ngobrolnya nggak bisa lama, karena aku kebelet pipis. Toh ntar bisa BBM-an atau telponan juga, seperti biasa. Aku langsung naik ke lantai III, masuk XXI, dan menukar undanganku dengan tiket. Sore itu keenam teater di Penville dipakai buat premier JH. Aku dapat jatah nonton di teater 4.
Film JH disutradarai Otoy Wiyoto, dengan skenario dikerjakan Anggi Septianto. Rudi sendiri di sini bertindak sebagai produser bareng Tyas Abiyoga. Masuk bioskop dalam kondisi ngantuk karena malam sebelumnya baru tidur pukul 3 pagi, aku sudah yakin bakal terlelap di tengah pemutaran. Jangankan melodrama, nonton film Jet Li pun aku pules!
Ajaibnya, ternyata tidak. Sebagian besar karena, untuk pertama kalinya, aku nonton teman sendiri main film jadi tokoh utama. Dan sebagian lagi karena, sebagai sebuah cheesy melodramatic movie, JH perfectly works well (bahasaku sudah kian mendekati level almarhum Roger Ebert!).
Dikisahkan Amanda nendang bola futsal yang pas kena muka Dava sampai tulang hidungnya retak dan harus absen main tiga bulan. Kesal, Dava memaksa Amanda membersihkan ruang musiknya tiap hari sebelum ia bersedia memaafkan gadis itu. Dan seperti pada umumnya melodrama, keduanya ditakdirkan saling jatuh cinta.
Saingan Dava adalah kakak tirinya, Leo (Guntur Nugraha), yang lebih dulu mengenal Amanda. Sebuah rahasia kelam yang melibatkan Leo dengan insiden tabrak lari yang menewaskan Revan, kakak angkat Amanda, membuat gadis itu hijrah ke LA. Ia baru balik ke Indonesia saat sebuah insiden tragis menimpa Dava.
JH memuat banyak hal yang khas melodrama tearjerker, tapi berhasil menghindari banyak hal yang juga sangat khas. Tak ada adegan keluarga pasien bertanya “Bagaimana, Dokter...?”. Tak ada cewek nangis sambil jalan sakparan-paran di tengah hujan. Tak ada adegan orang ditabrak mobil dengan kamera ECU ke lampu mobil. Tak ada juga adegan pemakaman di tengah hujan beserta baju, celana, kacamata, dan payung serbahitam.
Secara umum filmnya lumayan. Ceritanya selamat dari hal-hal tak masuk akal dan kebetulan yang terlalu dipaksakan. Satu saja yang kurang detail, yaitu SMS soal ketemuan di kereta. Juga ada yang tak terjelaskan dan membuat penonton harus menduga-duga sendiri, yaitu insiden apa yang menimpa Dava sehingga membuatnya koma.
JH versi film juga menempuh rute beda dari novel. Plot cerita soal kegiatan Dava dan Amanda dengan anak-anak panti asuhan tak dibahas, hanya muncul di satu adegan. Padahal elemen inilah yang bikin cerita aslinya hidup. JH the Movie pun murni hanya bertujuan untuk memeras air mata penonton pada bagian akhir, lalu sudah.
Untung keseluruhan kemasannya rapi. Gambar-gambarnya enak dilihat, terutama efek kamera goyang (apa ini istilah sinematografinya?) sebagai akibat dari penggunaan kamera handheld. Dulu aku lihat efek ini dipakai di serial NYPD Blue yang main di Indosiar dekade 1990-an. Adegan yang statis (karena hanya ada Dava dan Amanda ngomong sambil berdiri) jadi terasa lebih “bergerak”.
Akting Vira sendiri selamat. Not great, tapi nggak jelek juga. Pengucapannya jelas, dan bahkan lebih baik dari Aliando yang bicara terlalu cepat sehingga beberapa kata tak terdengar. Ekspresinya juga cukup variatif, nggak cuman mrengut, sedih, mewek, marah, dan melotot. Adegan mbatin-monolog? Sama sekali tak ada, which is pretty good.
Kalau hanya sekadar untuk fenomena “author-turn-to-moviestar-in-one-film”, dia sudah melampaui target minimal. Ujian sesungguhnya untuk karier nyata sebagai pemain film adalah peran yang beda di film berikut. Bukan, bukan sebagai orang gila atau psikopat. Itu udah terlalu mainstream. Misal sebagai cewek kanibal yang dendam dan lantas merekues pada kenalan sahabatnya agar mantan pacarnya dimasak!
Film Janji Hati akan mulai diputar serempak di bioskop-bioskop seluruh Indonesia besok tanggal 5 Februari. Buat para gadis berhati lembut, kalau nonton jangan lupa bawa. Buat para cowok, lagu soundtrack-nya yang ditulis Aliando dan dinyanyikan Budilla (tantenya Ali) bisa dipakai buat pedekate.
Buatku, melihat perjalanan karier Vira jadi mengingatkanku pada slogan Honda pas ada robot Asimo, yaitu “the power of dreams”. Some people finally be able to fulfill their dream at a very long time, kayak aku yang perlu dua dekade. Sebagian lagi bisa sangat cepat dan tak terduga-duga.
Vira adalah sebuah contoh yang amat nyata untuk slogan itu. Bulan Januari 2013, dia masih sama kayak teman-teman ABG lain yang berhasrat jadi penulis. Kirim naskah ke aku sambil berharap dibaca, dikomentari, dan didoakan. Bulan Desember 2013, dia menutup tahun sudah dalam predikat sebagai penulis best seller dan calon pemain film.
Maka memang eman-eman kalau hidup nggak ada mimpi (the muluker the better). Shoot for the moon. Even if you missed, you’ll still land among the stars...

0 komentar:

Posting Komentar