Dua
hari kemarin, Sabtu dan Minggu tanggal 13-14 Desember 2014, para kru Rumah
Media upyek di Kudus untuk berburu matoa. Di sesela kesibukan perburuan, kami
menyuntikkan virus mendongeng pada para peserta Workshop Mendongeng gelaran
lembaga Marwah, yang berlangsung di rumah joglo antik Griya Balur Muria, Jl.
Ngasinan nomor 9, Kudus.
Workshopnya
sendiri sudah digagas cukup lama, sejak 2013. Setelah mempersiapkan segala
sesuatunya, penyelenggaraan baru terwujud nyaris setahun kemudian. Rumah Media
kemudian memberangkatkan tim yang terdiri atas Mas Anto Prabowo, Aulia
Muhammad, dan aku, plus pendongeng Ditya Naumila sebagai bintang tamu.
Kami
berangkat numpak mobil Aul hari Sabtu pagi pukul 6, kala mentari masih muda dan
embun menetes dari pucuk dedaunan membasahi tanah. Begitu tiba di TKP sekitar
satu setengah jam kemudian, kami berempat langsung disuguhi sarapan opor ayam
yang sangat lezat. Saking lezatnya, aku sampai lupa diri dan mencaplok semua
lomboknya, padahal perutku sedang berada dalam keadaan yang kurang fit.
Akibatnya,
hanya beberapa menit sebelum kickoff dan aku harus tampil paling awal, aku
masih sibuk lari-lari mencari WC untuk throwing big water. Pukul 9.30 acara
dimulai dengan sambutan-sambutan dari para sesepuh. Workshop diikuti 17 peserta
yang sebagian besar cewek. Mereka merupakan hasil seleksi panitia yang dipimpin
Mas Hasan Aoni dan Mas Edy Supratno. Pengumuman workshop sendiri dipasang di
koran Radar Kudus seminggu sebelum acara.
Sesudah
pembukaan, aku muncul duluan memberi pencerahan tentang apa itu dongeng.
Bahannya minimalis, karena hanya berisi definisi dongeng dan mendongeng plus
jenis-jenis dongeng (fabel, myth, legend, new age). Biar kelihatan agak
panjang, kudahului urusan dongeng dengan menceritakan buku-bukuku. Mayan, bisa
nambah waktu 30 menit lebih.
Di
sesi kedua ada Aul mengunggah materi tentang arti penting dongeng. Ternyata
dongeng lebih dari sekadar kegiatan menceritai anak, melainkan cara paling
vital untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak tanpa harus memaksanya
menghapalkan banyak aturan norma. Ia juga cerita soal gelombang otak dan kaitannya
dengan mengapa dongeng diceritakan pada anak sebelum mereka tidur.
Sepanjang acara
berlangsung, terutama pas aku break, aku berada dalam keadaan setengah mabok,
pengin mereeem terus. Malam sebelumnya memang tidur agak kurang, lalu bangun
pukul 4.30 pagi agar bisa berangkat pukul 6. Mata baru melek pas lunch dengan
menu ayam goreng Lombok Idjo (tapi aku nggak berani mencaplok
signature-sambel-nya, takut harus lari ke WC lagi), lalu meredup sesaat
sesudahnya.
Kondisi
tak kunjung membaik meski kemudian ada music performance dari Swaranabya.
Dengan lagu-lagu melodius berlirik puitis dalam lantunan vokal Latree Manohara
yang membuat mereka harus secara serius mempertimbangkan kemungkinan ikut
Rising Star Indonesia season depan, audiens dibuat bergoyang dan merenung (piye
jal kuwi?). Namun di kursi, aku nyaris bobok, sehingga harus pindah-pindah
kursi dan akhirnya berdiri saja. Logikaku mengatakan, kalau aku berdiri, tak
mungkin aku tertidur karena aku bukan kuda.
Sempat
disela penampilan Satifa, putri Mas Hasan yang cantik jelita dan baru kelas VI
SD tapi bertalenta mirip Ghaitsa Kenang (ini juga harus ikut kontes nyanyi di
TV seenggaknya tahun depan), Swaranabya menyelesaikan konser dengan lagu-lagu
upbeat yang bikin aku bangun. Ini sangat penting, karena aku melakukan
penampakan lagi pada sesi berikutnya tentang menulis dongeng.
Secara
umum, nulis dongeng ya setali tiga uang dengan nulis fiksi umum yang berupa
cerpen atau novel. Yang membedakan hanya soal genre. Menjelang magrib, ada
pemaparan Aul tentang mencocokkan aktivitas dongeng dengan karakter anak agar
nilai-nilai moral yang dimasukkan lewat dongeng dapat berefek maksimal. Ada
yang harus dengan gambar, ada yang harus dengan sering menyebut nama anak, ada
juga yang sambil didongengi, anak harus sering dielus atau ditepuk bahunya.
Habis
break magriban dan makan nasi goreng, sesi berikutnya adalah Aul lagi dengan
dongeng spontan. Ia menunjukkan rangkaian gambar yang harus diinterpretasi para
peserta secara spontan menjadi dongeng hasil imajinasi diri sendiri. Setelah
dihipnosis dengan slogan “hilangkan kata ‘sulit’!”, semua peserta pelan-pelan
bisa memberanikan diri untuk maju mendongeng tanpa harus ditunjuk.
Sejak
sesi ini mulailah para peserta terbius dengan gaya bahasa Aul yang penuh
agitasi ngegombal, terutama pada yang namanya Ulin Noor Baroroh. Kelak di
kemudian hari, dia bahkan digosipkan sebagai pelatih stand up comedy (Aul-nya,
bukan Ulin)!
Workshop
hari pertama berakhir pukul 21 dengan peserta diberi tugas menulis konsep
dongeng karya sendiri. Setelah para peserta pulang, para instruktur mengalami
kengantukan sehingga harus tidur. Kamar yang kami pakai ber-AC, tapi aku nggak
berani nyalain karena hawa sudah cukup dingin setelah hujan turun sejak sore.
Padahal tak terlihat ada penampakan selimut.
Hari
Minggu, aku bangun dan langsung disambut kopi, teh, bubur kacang ijo, dan
garang asem pedas. Dinikmati dalam pagi berhujan, semuanya terasa bagai
rangkaian simfoni ciptaan Beethoven atau Chopin. Pas mandi pukul 8, ada satu
peserta yang sudah muncul, yaitu Naili yang seorang guru SD. Dia pun ikut
sarapan green peanuts porridge.
Ngantuk
pun sirna, dan aku main paling awal lagi untuk membahas dongeng interaktif. Ini
cara baru penyampaian dongeng baik dalam bentuk tulisan maupun pendongengan. Dalam
dongeng jenis ini, kelanjutan alur cerita ditentukan sendiri oleh anak. Ada
banyak titik pilihan yang diserahkan pada audiens. Misal apakah sang putri
harus ikut pangeran atau tidak, apakah sang putri menolong nenek atau tidak,
dan tiap pilihan akan berlanjut pada alur cerita beda sehinga ending-nya bisa
lain pula.
Sesi
berikutnya sangat seru, karena semua peserta harus mendongeng dengan konsep
yang telah dibuat sebelumnya dari tugas hari pertama. Ada yang masih agak
kagok, ada yang kayak Ulin membawa alat peraga berupa wayang kupu dan wayang
larva, ada juga yang penuh kata “kemudian” (sehingga kemudian dijuluki Mas
Kemudian).
Break
pendongengan disela dengan penampilan Ditya mendongeng tentang raksasa dan
rombongan kurcaci. Ia menunjukkan acara dongeng on a whole new level, di mana
sang pendongeng melakukan interaksi penuh dengan audiens. Kebetulan ada
anak-anak kecil yang selalu ikut nimbrung, yaitu Ayra, putri bungsu Mas Hasan,
dan Azka, putra Mbak Eva salah satu peserta. Mereka sebaya, kira-kira berumur 4
tahun. Sepanjang Ditya mendongeng, mereka tak henti nyeletuk mengikuti
dongengnya. Dan Ditya bisa menanggapi celetukan mereka untuk dimasukkan ke
dalam cerita dongeng.
Penampilan
ndongeng para peserta kembali dilanjutkan usai makan siang dengan menu ayam
goreng sambel kosek. Kembali aku berduka, tak bisa bebas bersambel. Tapi tak
apalah. Lewat satu sambel, masih akan ada sambel-sambel berikutnya yang tak
kalah cantik dan memesona.
Pada
babak kedua, penampilan mendongeng para peserta makin oke. Ada Adis yang cerita
soal pohon beringin, juga Naili yang bagus sekali dongengannya, tentang pasukan
kuman menyerbu mulut lalu bisa interaktif dengan anak-anak. Dan yang
paling aneh adalah dongengan Imam Khanafi. Dia cuman mendongeng secuwil cerita,
lalu bersambung. Kalau ada yang mau tahu lanjutannya, diharap japri dia. Baru
kali ini aku tahu dongengan ada juga free trial-nya. Bisa-bisa harus subscribe
dulu kalau mau dengar full version-nya!
Keseluruhan
workshop ditutup dengan materi penghujung dari Aul tentang dongeng baik vs
buruk. Ia memaparkan bahwa dongeng ada juga yang tak baik untuk diceritakan,
yaitu yang mengandung kekerasan, fitnah, unhappy ending, dan mengandung
kematian tokoh. Dan ternyata banyak dongeng nina bobo legendaris, terutama dari
Eropa, yang ternyata kelam dan penuh kekejaman, lalu telah mengalami modifikasi
hingga “ramah anak” seperti sekarang ini. Masuk kategori ini misalnya kisah
Cinderella, Sleeping Beauty, dan juga Rapunzel.
Sebelum
penutupan yang dihelat pascamagrib, ada penampilan musik dari Anto, kawan Mas
Hasan. Lalu Tifa tampil lagi, membawakan Someone Like You-nya Adelle sambil
main kibord. Di acara penutupan, Mas Hasan menuturkan bahwa kegiatan dongeng
hasil workshop tak berhenti sampai di sini. Para peserta akan membentuk grup
komunitas lewat Facebook, lalu menerbitkan buku kumpulan dongeng, dan Januari
nanti akan piknik ke sekolah Qaryah Thayibah di Salatiga. Aseeek!
Kru
Murbei baru cabut pukul 21.30 setelah nonton babak pertama MU vs Liverpool pas
kedudukan 2-0 di jeda pertandingan. Mas Hasan mengoleh-olehi kami berempat
dengan matoa dan jenang Kudus sekerdus. Sangat menyenangkan, dan mengenyangkan!
Dari
hasil dua hari workshop terkuak fakta bahwa dongeng tak hanya sekadar salah
satu cara untuk nyuruh anak tidur cepat. Dongeng is much much more than that.
Bahkan bisa kusimpulkan, dongeng punya posisi sangat penting bagi pembentukan
karakter anak, terutama dalam pemahaman terhadap moralitas. Anak yang rajin
didongengi akan punya pegangan moral yang kuat lewat kesadaran sendiri tanpa
harus lewat “didikan yang keras” tentang “meningkatkan keimanan dan ketakwaan”
serta “harus memegang teguh nilai-nilai ketimuran”.
Nah, bagi yang mau
mendongeng seperti lembaga Marwah, silakan mengontak markas Murbei. Kami akan
datang dan mengajak kalian mendongeng…!
0 komentar:
Posting Komentar