scribo ergo sum

Selasa, 04 November 2014

Four Steps

12:59 Posted by wiwien wintarto No comments

Tak jarang kita tak punya alasan mengapa bisa mencintai seseorang. Lalu ada kawan yang curhat dengan mengatakan betapa ia “Nggak tahu kenapa kepikiran dia terus”, atau “Padahal dia itu ya biasa-biasa saja, tapi kok…” dan seterusnya, dan seterusnya. Intinya, suka tapi nggak bisa menjelaskan penyebabnya.
Lalu kita berkesimpulan, kalau sebabnya nggak diketahui, berarti itu true love. Kalau nggak bisa dirasio pakai logika, berarti itu “sesuatu yang khusus dianugerahkan dari Langit khusus hanya bagi diri kita seorang”. Lalu kita kembali menuliskan puisi di kertas koran bekas pembungkus gorengan sambil cengengesan sendiri.

Fenomena semacam ini lazim terjadi pada orang-orang yang tengah dilanda asmara. Dan itu biasa dianggap sebagai peningkatan level sesudah kita suka karena tampang, karena bodi, karena kendaraan, dan karena “kepribadian”. Yang tak banyak diketahui adalah, masih ada beberapa lapis tingkatan yang lebih tinggi lagi. Dan kita tak pernah tahu karena tak pernah juga mau memberi diri kita (dan juga dirinya) waktu yang lebih lapang untuk apa saja.
Hasil riset dan penelitian ilmiah bidang arkeologi kebidanan yang kulakukan menemukan beberapa fakta menarik mengenai tahapan-tahapan hubungan antara dua orang yang berikutnya menjadi cerita cinta, yaitu…

Fase Kepemilikan
Di level yang paling basic ini, orang terpikat pada orang lain karena apa yang dimilikinya, baik secara fisik maupun secara mental. Karena cantik, ganteng, tinggi, berkulit putih, seksi, kaya raya, ahli waris perusahaan besar, smart, berkepribadian kuat, dan lain-lain.
Keterpesonaan dan kekaguman dalam fase ini terjadi dari jarak jauh. Bisa karena sama sekali belum kenal sehingga cuman jadi secret admirer, bisa juga karena hanya sekadar kenal tapi belum tahu secara akrab (hanya bisa stalking FB-nya doang).
Susahnya, karena belum kenal baik sehingga banyak kekurangan belum terungkap, efek keterpesonaan itu bisa berlipat ganda. Seolah dia adalah dewa/dewi, yang begitu superior, mengagumkan, dan dahsyat dalam eksistensinya sebagai manusia.
Ditambah fakta bahwa fase ini berlangsung pada mereka yang masih rapuh dalam usia mental, subjek pun seringkali menjadi buta dan menafikan semua pertimbangan logis formal. Cinta itu buta? Yang buta bukan cintanya, tapi orangnya. Berhentilah menyalahkan benda! Yang ngebut memang busnya, tapi masa bus bisa jalan sendiri? Emang Google Driverless Bus?
Berangkat dari pemikiran ini, maka kekaguman berdasarkan sisi akhlak, kesalehan perilaku, dan ilmu-ilmu rohaniah juga masih berada pada taraf yang sama dengan keterpikatan pada wajah dan bodi. Sama-sama merupakan hal yang ada pada diri seseorang, hanya beda subkelas saja, karena memang orang yang berakhlak baik tentu (berpotensi untuk) lebih fungsional daripada yang tampan dan ayu.

Fase Efek
Sesudah kekaguman dan keterpesonaan, tahap berikutnya adalah efek alias pengaruh. Satu orang tertentu itu bisa memberikan dampak yang nyata pada diri kita. Bisa baik bisa jelek. Tahu-tahu jadi semangat ngantor atau sekolah agar bisa ketemu, tahu-tahu jadi giat belajar atau menyelesaikan deadline kerjaan, tahu-tahu jadi suka rokok gara-gara dia tampak cool saat ngerokok, dll.
Dalam ilmu psikologi maritim, ini dikenal dengan istilah Efek Pengharum Ruangan. Ketika satu unit air freshner ditaruh di ruangan, mendadak kondisi ruangan itu berubah. Lebih segar, lebih harum, lebih menenangkan, atau lebih apek (kalau pengharumnya pakai aroma celana kolor yang sudah tidak dicuci selama satu semester).
Orang-orang juga begitu. Ketika hadir di suatu lingkungan, ia mendadak memberikan suatu pengaruh. Bisa dirasakan semua orang, bisa juga hanya oleh satu-dua orang tertentu. Dan kadang, bentuk pengaruh itu nggak bisa terbaca dengan jelas selain hanya sebentuk perasaan ecstasy saja. Di sinilah tahap teman kita yang mengungkap “Dia sih biasa-biasa aja, tapi kok…” itu tadi berada.
Satu orang tertentu bisa saja mengisi hati kita dengan cara yang tepat, tapi secara klasifikasi tampang atau mentalitas, dia nggak tergolong apa yang masuk dalam “tipe ideal” kita. Maka muncullah pertanyaan itu: dia nggak cantik/ganteng, tingkat kecerdasan dan akhlaknya juga standar-standar aja, tapi aku kok jadi kayak giniiii?
Karena gagal menemukan kaitan antara attribute dengan result, kita pun berkesimpulan bahwa “aku tak tahu apa yang bikin aku cinta sama dia”. Dan berhubung penyebab cinta tidak diketahui, maka berarti dialah true love. Kan true love does not need any reason at all.

Fase Ada
I love you for always be there for me, through night and day”. Kita merasakan sesuatu karena keberadaan seseorang bagi kita menjadi begitu penting. Secara substantif, ini sama dengan Fase Efek. Bedanya, pada fase ini, sudah ada interaksi timbal balik secara intens.
Saat kemunculan seseorang memengaruhi kita untuk jadi begini dan jadi begitu, proses itu berlangsung dari jauh, saat orang itu hanya sekadar muncul di antara kita. Hal itu lantas mendorong kita untuk mendekat karena tertarik. Ternyata, setelah dipedekatei, dia adalah pacar gelap bos!
Orang baru bisa menjadi ada bila ia terlibat secara aktif dalam keseluruhan dunia kita, dan begitu pula sebaliknya. Dan itu baru bisa terwujud bila antara kedua belah pihak telah muncul ikatan kedekatan yang sangat kuat sebagai BFF. Hanya pada taraf ikatan emosional inilah seseorang menjadi ada buat kita. Ada berarti mengatasi semua situasi. Baik saat suka maupun saat ribet.
Dalam sosiologi percintaan Islami, seseorang bisa menjadi ada lewat proses taaruf, saling mengenal. Ini juga sekalian menjadi tahap “audisi”. Yang mau dan mampu menjadi ada, itulah yang lolos. Yang cuman ada maunya kalau pas kita cakep (tapi kalau pas kita sakit dan muka jadi bengkak, tahu-tahu ganti nomer HP!), tentu lebih baik dibuang ke sungai saja.

Fase Involvement
Yang paling tinggi adalah saat kita benar-benar terlibat secara dalam dan saling timbal balik dengan seseorang. Jika dalam Fase Ada yang kita rasakan hanyalah manfaat orang itu bagi kita (ada saat suka-duka, tulus, selalu support, selalu mau melakukan apa saja), maka dalam tahap tertinggi ini, kita sungguh-sungguh melihat dua dunia yang komplet pada dirinya.
Ada kelebihan yang membuat kita kagum, ada pula kekurangan yang bikin kita sebal. Secara matematis, hitungannya akan menjadi p – a = x, dengan p adalah kelebihan pasangan, a adalah kekurangannya, dan x adalah koefisien resultan. Bila x dalam posisi negatif, secara teori kita tidak dapat menjalin hubungan asmara dengannya.
Tapi kadang ada faktor eksternal yang ikut berpengaruh, misalnya kemampuan leadership (sehingga bisa mengubah dia jadi lebih baik), kemampuan bertoleransi (dapat menerima kelebihan dan kekurangan secara adil), dan kemampuan absorbsi (bisa menjadikan kelebihan dan kekurangan kita saling melengkapi dengan punya dia).
The bottom line is, saat kita bisa melihat seseorang secara utuh, saat itulah true love dimulai. Karena untuk bisa sampai ke sana, akan ada cukup banyak persyaratan emosional, psikologis, dan kemampuan-kemampuan bersosialisasi yang harus dipenuhi kedua belah pihak. Mereka telah sama-sama matang. Dan ketika dua orang telah matang secara emosional, gelombang peristiwa kehidupan yang seperti apa pun nggak akan mampu menggoyahkan ikatan mereka.

Dari keempat fase itu, nomor 3 dan 4 tentulah menjadi yang paling fungsional. Pasangan bukan lagi sekadar benda pajangan untuk dikagumi dan dipamer-pamerkan, melainkan “benda hidup” yang telah sungguh-sungguh menghasilkan karya nyata dan berfungsi secara faktual dalam hidup kita. Ibarat mobil yang sudah membawa kita ke mana-mana dan kita telah menjalani banyak suka dan duka dengannya, dan bukan cuman pajangan untuk mengisi garasi.
Sayang seringkali kita tidak sampai ke sana karena satu masalah sepele: waktu. Mayoritas orang nggak punya skill tinggi dalam hal nunggu, sehingga tidak telaten dan tidak sabar. Bahkan ada yang seminggu setelah kenal dengan cewek cakep langsung PDKT dan ngajak pacaran dengan landasan teori dan landasan pemikiran yang amat absurd: “Harus cepat agar nggak keduluan cowok lain”. Emang doi sandal Croc pas cuci gudang!?
Taaruf yang dianjurkan dalam sosiologi Islami pun nggak efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa saat yang sangat singkat (karena takut mengundang fitnah). Saling pengenalan yang hanya dalam sekian hari atau minggu, lalu mengambil keputusan.
Segala kekurangan pasangan pun baru terungkap pascaijab. Jika sudah punya skill leadership, toleransi, dan absorbsi, semua akan gampang diatasi. Namun jika tidak, sementara mayoritas orang enggan berurusan dengan perceraian, yang kemudian ada hanyalah sekadar memendam dan memendam, lalu jadi penyakit organ dalam.
Maka kita memang harus ikut kursus menunggu, agar punya keterampilan dalam hal nunggu. Semua proses butuh waktu. Bahkan mi instan pun nggak ujug-ujug jadi mak cling, apalagi kisah cinta. Ketika kita menunggu sedikit lebih lama dan membiarkan si dia untuk berkembang jadi cantik dengan caranya sendiri, seleksi alam akan terjadi alamiah.
Jika lolos keempat tahapan, berarti dialah orangnya. Yang bukan “the one” bakal berguguran di level satu, dua, atau tiga. Cakep dan pintar, bisa membuat penuh semangat, selalu hadir kapan pun dibutuhkan, namun ternyata suka main tangan saat marah atau depresi. Bakal game over di tingkatan keempat.

Dan tak perlu takut soal kemungkinan mengundang fitnah untuk kedekatan dua insan nonmuhrim dalam jangka waktu lama. Satu, jagat luas tidaklah separanoid dan sehomogen itu dengan mengasumsikan semua orang berpikir dengan cara yang sama terhadap sesuatu. Dan dua, mau pakai cara apa pun, kita nggak akan pernah bisa mengontrol cara pikir dan pandang orang lain. Jadi kenapa terlalu berpatokan pada itu?

0 komentar:

Posting Komentar