Tak jarang kita tak punya alasan
mengapa bisa mencintai seseorang. Lalu ada kawan yang curhat dengan mengatakan
betapa ia “Nggak tahu kenapa kepikiran dia terus”, atau “Padahal dia itu ya
biasa-biasa saja, tapi kok…” dan seterusnya, dan seterusnya. Intinya, suka tapi
nggak bisa menjelaskan penyebabnya.
Lalu kita berkesimpulan, kalau sebabnya
nggak diketahui, berarti itu true love. Kalau nggak bisa dirasio pakai logika,
berarti itu “sesuatu yang khusus dianugerahkan dari Langit khusus hanya bagi diri
kita seorang”. Lalu kita kembali menuliskan puisi di kertas koran bekas pembungkus
gorengan sambil cengengesan sendiri.
Fenomena semacam ini lazim terjadi
pada orang-orang yang tengah dilanda asmara. Dan itu biasa dianggap sebagai peningkatan
level sesudah kita suka karena tampang, karena bodi, karena kendaraan, dan karena
“kepribadian”. Yang tak banyak diketahui adalah, masih ada beberapa lapis
tingkatan yang lebih tinggi lagi. Dan kita tak pernah tahu karena tak pernah
juga mau memberi diri kita (dan juga dirinya) waktu yang lebih lapang untuk apa
saja.
Hasil riset dan penelitian ilmiah
bidang arkeologi kebidanan yang kulakukan menemukan beberapa fakta menarik mengenai
tahapan-tahapan hubungan antara dua orang yang berikutnya menjadi cerita cinta,
yaitu…
Fase
Kepemilikan
Di level yang paling basic ini,
orang terpikat pada orang lain karena apa yang dimilikinya, baik secara fisik
maupun secara mental. Karena cantik, ganteng, tinggi, berkulit putih, seksi,
kaya raya, ahli waris perusahaan besar, smart, berkepribadian kuat, dan
lain-lain.
Keterpesonaan dan kekaguman dalam
fase ini terjadi dari jarak jauh. Bisa karena sama sekali belum kenal sehingga
cuman jadi secret admirer, bisa juga karena hanya sekadar kenal tapi belum tahu
secara akrab (hanya bisa stalking FB-nya doang).
Susahnya, karena belum kenal baik
sehingga banyak kekurangan belum terungkap, efek keterpesonaan itu bisa berlipat
ganda. Seolah dia adalah dewa/dewi, yang begitu superior, mengagumkan, dan
dahsyat dalam eksistensinya sebagai manusia.
Ditambah fakta bahwa fase ini berlangsung
pada mereka yang masih rapuh dalam usia mental, subjek pun seringkali menjadi
buta dan menafikan semua pertimbangan logis formal. Cinta itu buta? Yang buta
bukan cintanya, tapi orangnya. Berhentilah menyalahkan benda! Yang ngebut memang
busnya, tapi masa bus bisa jalan sendiri? Emang Google Driverless Bus?
Berangkat dari pemikiran ini,
maka kekaguman berdasarkan sisi akhlak, kesalehan perilaku, dan ilmu-ilmu
rohaniah juga masih berada pada taraf yang sama dengan keterpikatan pada wajah
dan bodi. Sama-sama merupakan hal yang ada pada diri seseorang, hanya beda subkelas
saja, karena memang orang yang berakhlak baik tentu (berpotensi untuk) lebih
fungsional daripada yang tampan dan ayu.
Fase
Efek
Sesudah kekaguman dan keterpesonaan,
tahap berikutnya adalah efek alias pengaruh. Satu orang tertentu itu bisa memberikan
dampak yang nyata pada diri kita. Bisa baik bisa jelek. Tahu-tahu jadi semangat
ngantor atau sekolah agar bisa ketemu, tahu-tahu jadi giat belajar atau menyelesaikan
deadline kerjaan, tahu-tahu jadi suka rokok gara-gara dia tampak cool saat ngerokok,
dll.
Dalam ilmu psikologi maritim, ini
dikenal dengan istilah Efek Pengharum Ruangan. Ketika satu unit air freshner
ditaruh di ruangan, mendadak kondisi ruangan itu berubah. Lebih segar, lebih
harum, lebih menenangkan, atau lebih apek (kalau pengharumnya pakai aroma celana
kolor yang sudah tidak dicuci selama satu semester).
Orang-orang juga begitu. Ketika
hadir di suatu lingkungan, ia mendadak memberikan suatu pengaruh. Bisa
dirasakan semua orang, bisa juga hanya oleh satu-dua orang tertentu. Dan
kadang, bentuk pengaruh itu nggak bisa terbaca dengan jelas selain hanya sebentuk
perasaan ecstasy saja. Di sinilah tahap teman kita yang mengungkap “Dia sih
biasa-biasa aja, tapi kok…” itu tadi berada.
Satu orang tertentu bisa saja mengisi
hati kita dengan cara yang tepat, tapi secara klasifikasi tampang atau mentalitas,
dia nggak tergolong apa yang masuk dalam “tipe ideal” kita. Maka muncullah pertanyaan
itu: dia nggak cantik/ganteng, tingkat kecerdasan dan akhlaknya juga
standar-standar aja, tapi aku kok jadi kayak giniiii?
Karena gagal menemukan kaitan
antara attribute dengan result, kita pun berkesimpulan bahwa “aku tak tahu apa
yang bikin aku cinta sama dia”. Dan berhubung penyebab cinta tidak diketahui,
maka berarti dialah true love. Kan true love does not need any reason at all.
Fase
Ada
“I love you for always be there for me, through night and day”. Kita merasakan sesuatu karena keberadaan seseorang
bagi kita menjadi begitu penting. Secara substantif, ini sama dengan Fase Efek.
Bedanya, pada fase ini, sudah ada interaksi timbal balik secara intens.
Saat kemunculan seseorang memengaruhi
kita untuk jadi begini dan jadi begitu, proses itu berlangsung dari jauh, saat
orang itu hanya sekadar muncul di antara kita. Hal itu lantas mendorong kita
untuk mendekat karena tertarik. Ternyata, setelah dipedekatei, dia adalah pacar
gelap bos!
Orang baru bisa menjadi ada bila
ia terlibat secara aktif dalam keseluruhan dunia kita, dan begitu pula sebaliknya.
Dan itu baru bisa terwujud bila antara kedua belah pihak telah muncul ikatan kedekatan
yang sangat kuat sebagai BFF. Hanya pada taraf ikatan emosional inilah seseorang
menjadi ada buat kita. Ada berarti mengatasi semua situasi. Baik saat suka
maupun saat ribet.
Dalam sosiologi percintaan
Islami, seseorang bisa menjadi ada lewat proses taaruf, saling mengenal. Ini
juga sekalian menjadi tahap “audisi”. Yang mau dan mampu menjadi ada, itulah
yang lolos. Yang cuman ada maunya kalau pas kita cakep (tapi kalau pas kita
sakit dan muka jadi bengkak, tahu-tahu ganti nomer HP!), tentu lebih baik
dibuang ke sungai saja.
Fase
Involvement
Yang paling tinggi adalah saat
kita benar-benar terlibat secara dalam dan saling timbal balik dengan seseorang.
Jika dalam Fase Ada yang kita rasakan hanyalah manfaat orang itu bagi kita (ada
saat suka-duka, tulus, selalu support, selalu mau melakukan apa saja), maka
dalam tahap tertinggi ini, kita sungguh-sungguh melihat dua dunia yang komplet
pada dirinya.
Ada kelebihan yang membuat kita
kagum, ada pula kekurangan yang bikin kita sebal. Secara matematis, hitungannya
akan menjadi p – a = x, dengan p adalah kelebihan pasangan, a adalah kekurangannya,
dan x adalah koefisien resultan. Bila x dalam posisi negatif, secara teori kita
tidak dapat menjalin hubungan asmara dengannya.
Tapi kadang ada faktor eksternal
yang ikut berpengaruh, misalnya kemampuan leadership
(sehingga bisa mengubah dia jadi lebih baik), kemampuan bertoleransi (dapat menerima
kelebihan dan kekurangan secara adil), dan kemampuan absorbsi (bisa menjadikan
kelebihan dan kekurangan kita saling melengkapi dengan punya dia).
The
bottom line is, saat kita bisa melihat seseorang
secara utuh, saat itulah true love dimulai. Karena untuk bisa sampai ke sana,
akan ada cukup banyak persyaratan emosional, psikologis, dan kemampuan-kemampuan
bersosialisasi yang harus dipenuhi kedua belah pihak. Mereka telah sama-sama
matang. Dan ketika dua orang telah matang secara emosional, gelombang peristiwa
kehidupan yang seperti apa pun nggak akan mampu menggoyahkan ikatan mereka.
Dari keempat fase itu, nomor 3
dan 4 tentulah menjadi yang paling fungsional. Pasangan bukan lagi sekadar benda
pajangan untuk dikagumi dan dipamer-pamerkan, melainkan “benda hidup” yang telah
sungguh-sungguh menghasilkan karya nyata dan berfungsi secara faktual dalam
hidup kita. Ibarat mobil yang sudah membawa kita ke mana-mana dan kita telah menjalani
banyak suka dan duka dengannya, dan bukan cuman pajangan untuk mengisi garasi.
Sayang seringkali kita tidak
sampai ke sana karena satu masalah sepele: waktu. Mayoritas orang nggak punya
skill tinggi dalam hal nunggu, sehingga tidak telaten dan tidak sabar. Bahkan
ada yang seminggu setelah kenal dengan cewek cakep langsung PDKT dan ngajak
pacaran dengan landasan teori dan landasan pemikiran yang amat absurd: “Harus cepat
agar nggak keduluan cowok lain”. Emang doi sandal Croc pas cuci gudang!?
Taaruf yang dianjurkan dalam
sosiologi Islami pun nggak efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa saat
yang sangat singkat (karena takut mengundang fitnah). Saling pengenalan yang
hanya dalam sekian hari atau minggu, lalu mengambil keputusan.
Segala kekurangan pasangan pun
baru terungkap pascaijab. Jika sudah punya skill leadership, toleransi, dan
absorbsi, semua akan gampang diatasi. Namun jika tidak, sementara mayoritas
orang enggan berurusan dengan perceraian, yang kemudian ada hanyalah sekadar memendam
dan memendam, lalu jadi penyakit organ dalam.
Maka kita memang harus ikut
kursus menunggu, agar punya keterampilan dalam hal nunggu. Semua proses butuh
waktu. Bahkan mi instan pun nggak ujug-ujug jadi mak cling, apalagi kisah
cinta. Ketika kita menunggu sedikit lebih lama dan membiarkan si dia untuk berkembang
jadi cantik dengan caranya sendiri, seleksi alam akan terjadi alamiah.
Jika lolos keempat tahapan, berarti
dialah orangnya. Yang bukan “the one” bakal berguguran di level satu, dua, atau
tiga. Cakep dan pintar, bisa membuat penuh semangat, selalu hadir kapan pun
dibutuhkan, namun ternyata suka main tangan saat marah atau depresi. Bakal game
over di tingkatan keempat.
Dan tak perlu takut soal kemungkinan
mengundang fitnah untuk kedekatan dua insan nonmuhrim dalam jangka waktu lama.
Satu, jagat luas tidaklah separanoid dan sehomogen itu dengan mengasumsikan semua
orang berpikir dengan cara yang sama terhadap sesuatu. Dan dua, mau pakai cara
apa pun, kita nggak akan pernah bisa mengontrol cara pikir dan pandang orang
lain. Jadi kenapa terlalu berpatokan pada itu?
0 komentar:
Posting Komentar