scribo ergo sum

Rabu, 29 Oktober 2014

The Intervensions

12:48 Posted by wiwien wintarto No comments

Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini adalah salah satu periode terkelam dalam sejarah keberadaan sinema televisi Indonesia (sinetron) sejak kali pertama dimunculkan oleh TVRI pada awal dekade 1980-an lalu. Kualitas penggarapan yang seadanya, ditambah dengan muatan kekerasan di dalamnya, membuat cabang kesenian yang satu ini sedang berhenti berevolusi.
Para praktisi kreatifnya, terutama penulis, bukannya tak menyadari kondisi ini. Mereka sendiri terjebak dalam pusaran lingkaran setan tanpa ujung yang sangat rumit antara tiga pemilik kepentingan komersialitas sinetron, yaitu stasiun TV, lembaga rating (ACNielsen), dan pemasang iklan.

Dengan semua upaya produksi hanya semata diarahkan untuk mengejar “yang sedang laku dan diminati”, para penulis dan kru kreatif lain hanyalah sebatas pekerja, bukan kreator sebagaimana dalam cabang-cabang seni lain semisal sastra atau musik. Mereka tidak bebas berkreasi dan mencetuskan ide-ide baru, melainkan hanya sekadar mematuhi garis-garis besar haluan yang telah ditentukan.
Kondisi diperparah dengan matinya keran apresiasi kritis untuk sinetron. Apa pun diskursus yang muncul selalu dianggap sebagai serangan pribadi dari pihak-pihak “yang tidak mengalami sendiri kondisi yang ada”. Dan dari pihak stasiun TV dan studio production house juga tak pernah ada kemauan untuk berbenah secara kreatif dan estetis sebagaimana pada era “Orde Tunggal” TVRI dulu, yaitu berbenah atas inisiatif sendiri dan bukan mematuhi “perintah” pihak eksternal, misalnya lembaga rating.
Dalam situasi ketika segala lini tidur pulas (atau ditidurkan), sejak dari kreator, media, hingga audiens, satu-satunya tempat berpaling hanyalah negara. Ini mengingatkan kita semua kepada masa 30 tahunan yang lalu, saat kondisi musik pop dianggap menyedihkan sebagai akibat maraknya lagu-lagu cengeng dengan lirik merintih mendayu.
Menteri Penerangan waktu itu, Harmoko, seketika menyerukan diakhirinya tren lagu-lagu cengeng untuk diganti dengan jenis musik yang lebih kreatif dan progresif. Dan kemudian lahirlah istilah “pop kreatif”, untuk membedakannya dengan “pop tidak kreatif”, yaitu lagu-lagu berlirik merintih itu tadi.
Sejarah kemudian mencatat, pertengahan dekade 1980-an memang lantas diwarnai dengan kebangkitan jenis musik yang lebih progresif dan eksperimental dengan tokoh-tokoh seperti Fariz RM, Deddy Dhukun, Dian Pramana Poetra, dan Vina Panduwinata. Band-band Top 40 yang kala itu ngetop menganut genre yang saat ini pasti bikin berkerut kening anak muda ABG, yaitu smooth jazz, jazz rock, dan fusion jazz nan rumit penuh skill tingkat tinggi, seperti Krakatau, Karimata, Black Fantasy, serta Emerald.
Seandainya kemandegan sinetron saat ini terjadi pada era Orde Baru yang represif, tangan Pemerintah bisa dipinjam untuk memberikan “fatwa haram” semacam itu. Tentu saja, hal demikan sekarang tak termungkinkan. Andai Pemerintah diharuskan untuk turun tangan melakukan pembenahan dan pembinaan, mereka harus masuk lewat pintu belakang.
Salah satu metoda termudah yang bisa digunakan adalah dengan membuat sinetron-sinetron yang bertema “program penerangan”. Melalui lembaga negara seperti PPFN (Pusat Produksi Film Negara) pada masa Orba, atau bekerja sama dengan PH swasta, Pemerintah bisa ikut memproduksi sinetron-sinetron untuk memasyarakatkan berbagai program negara dengan kemasan yang tak saja menarik secara komersial, namun juga artistik.
Kementerian Kelautan & Perikanan, misalnya, bisa berkampanye melawan illegal fishing dengan membuat drama semacam JAG atau NCIS yang bertema kemaritiman. Kementerian Hukum dan HAM dapat mengedukasi masyarakat agar mengemohi korupsi lewat serial semacam Law & Order atau Gotham. Sedang Polri bisa membersihkan kepolisian dari citra buruk melalui sinetron-sinetron bertema police procedural sebagaimana CSI atau Criminal Minds.
Dengan membebaskan para penulis dan kru kreatif untuk bereksplorasi tanpa tekanan jam kerja ketat gara-gara jadwal tayang tiap hari (stripping), kualitas produk yang muncul pasti akan berbeda. Dan karena didanai oleh uang negara tanpa keharusan untuk balik modal, angka rating yang selalu didewakan industri sinetron komersial pun menjadi tak berlaku.
Pihak stasiun TV dan studio produksi tak perlu risau apakah sinetron-sinetron tersebut tertonton secara masif atau tidak. Dana produksi selalu ada, tidak terpengaruh hasil popularitas. Dengan demikian, para kru kreatif dapat sepenuhnya berasyik masyuk dengan sisi kualitas garapan. Pemeo “kalau terlalu smart malah nggak ditonton” harus pelan-pelan dipatahkan.
Masyarakat harus diedukasi untuk akhirnya dapat kembali membiasakan diri dengan tontonan-tontonan cerdas sebagaimana dulu kita punya Losmen, Jendela Rumah Kita, Rumah Masa Depan, Kisah Serumpun Bambu, Sitti Nurbaja, atau Sengsara Membawa Nikmat.
Kreator dan media tak bisa selamanya semata hanya “mengikuti apa kemauan penonton”. Melainkan memimpin di depan untuk mengedukasi. Prosesnya memang akan rumit dan lama, tapi akan berbuah manis.
Kita kan tak bisa 100% mengisi aktivitas kerja kita melulu hanya dengan spirit “mencari makan”. Sebagaimana harta harus dizakatkan dan perusahaan memberi balik pada masyarakat lewat program-program CSR, kita juga harus mendedikasikan geliat pekerjaan untuk sesuatu yang jauh lebih mulia daripada hanya sekadar profit.
Dalam hal sinetron, peran Pemerintah memang layak dipertanyakan. Praktis sejak kemunculan klan Punjabi menguasai televisi kita pada dasawarsa 1990-an, Pemerintah seperti lenyap menghilang sempurna. Tak ada lagi rekam jejak negara di dalamnya, baik dalam bentuk produksi, edukasi, maupun apresiasi.
Padahal pada masa lalu yang kerap kita anggap kelam, peran itu mampu dijalankan dengan baik. Hampir semua sinetron yang tayang di TVRI adalah produksi PPFN, dan tiap judulnya tak lain adalah program-program Pemerintah. Anehnya, sinetron-sinetron kampanye itu justru malah punya tempat khusus hingga sekarang karena kualitasnya, semisal serial Si Unyil atau ACI (Aku Cinta Indonesia).

Turun tangannya negara dalam bidang-bidang kehidupan tertentu tak selamanya bermakna negatif, karena tentu tergantung dari bagaimana cara “tariannya”. Selama ini kita hanya kurang gigih dalam mencari cara-cara, karena bangsa ini telanjur menjadi bangsa yang lamban dalam berproses. Semua hanya berlomba-lomba mencapai hasil.

0 komentar:

Posting Komentar