scribo ergo sum

Senin, 20 Oktober 2014

Bareng Para Maestro

07:39 Posted by wiwien wintarto No comments

Pernahkah kamu begitu mengidolakan seseorang yang menginspirasimu melakukan sesuatu, lalu sekian tahun kemudian, kamu tampil dalam satu proyek yang sama dengannya? Itulah yang sedang kualami sekarang. Rasanya lebih dari sekadar mimpi jadi nyata, karena dulu, untuk memimpikannya saja tak sempat terpikirkan.
Di buku terbaruku ini, Cerita Cinta Indonesia: 45 Cerpen Terpilih, aku berkesempatan untuk satu buku dengan idolaku dari masa tiga dekade lalu, yaitu Arswendo Atmowiloto. Tidak pakai kumpul ketemu lalu merembuk konsep, karena ini murni proyek Gramedia Pustaka Utama. Para pengarang hanya diundang untuk mengirim cerpen masing-masing, lalu buku kumcernya ujug-ujug sudah ada, dengan kemasan yang sangat luks.

Seperti sudah sering kuceritakan di mana-mana, tahun 1985 aku mulai tertarik nulis novel. Aku mulai benar-benar dari enol, sejak dari cara nyusun paragraf dan menaruh tulisan plus tanda-tanda baca dengan benar. Tanpa guru yang membimbing, aku belajar dari buku, yaitu karya Agatha Christie, Enid Blyton, dan Arswendo. Dari kedua pengarang Inggris itu aku belajar logika dan cara bikin cerita yang tak biasa. Dari Arswendo, aku belajar bagaimana menggunakan kata-kata yang krispi dan empuk.
Buku dia yang pertama kali kulihat dan kubeli adalah novel tipis Dewa Mabuk. Aku beli itu pas kelas II SMP, waktu bareng Pratmono, sobatku semasa di SMP 20 Semarang, mampir Gedung Kanjengan di kompleks Pasar Johar Semarang untuk main ding dong setelah renang di Stadion Diponegoro. Harganya waktu itu masih Rp 800. Ajaib untuk ukuran sekarang.
Perjumpaan kedua dengan karya Arswendo adalah cerita silat Senopati Pamungkas, saat masih dimuat jadi cerber di Majalah Hai tahun 1984. Yang kubaca waktu itu adalah episode ke-25, pas adegan Galih Kaliki ikut Sayembara Mantu untuk mendapatkan Dyah Muning Maduwangi (yang jebul adalah cowok dari Mongol!). Aku nggak langganan Hai, jadi ya hanya sempat baca Senopati Pamungkas sekali itu saja sebelum terbit jadi buku tiga tahun kemudian.
Dua kali perjumpaan itu membuat aku ngefans berat sama Arswendo. Aku suka cara dia menyusun kata-kata sehingga bisa membentuk tuturan narasi dan kalimat-kalimat dialog yang kuat meski dengan diksi yang simpel dan nggak terlalu nyastra.
Aku makin ngefans waktu cerbung Senopati Pamungkas terbit jadi buku (tebal, bersampul merah keren) tahun 1987. Aku nyelengi agak lama untuk beli itu. Belinya di Mickey Morse Bookstore Jalan Depok (sekarang sudah nggak ada). Harganya sangat mahal: Rp 3.000—tapi puas banget. Setelah jilid pertama yang diangkat dari cerbung, aku terus mengikuti kelanjutannya hingga tamat di episode ke-25.
Ketika tahun 2005 aku bisa mengikuti jejaknya untuk jadi novelis juga, aku masih tetap membaca buku-bukunya dengan kekaguman yang sama. Dan kemudian, muncullah buku kumcer CCI yang sangat keren ini. Aku sendiri nggak nyangka bakal bisa kumpul dengan para maestro.
Waktu dihubungi editor GPU Meilia Kusumadewi sekitar bulan Mei 2014 lalu untuk ikut ngirim cerpen untuk buku kumcer khusus menyambut ultah ke-40 GPU, aku bahkan nggak yakin cerpenku lolos seleksi. Maklum, aku kan “cerpenis proyek”—baru sadar mau bikin cerpen kalau jelas mau ada event tertentu.
Dan aku juga bahkan sudah lupa ada acara itu. Sudah lewat berbulan-bulan sejak aku kirim cerpenku, yang berjudul The Pink Lotus. Aku baru ingat lagi setelah lihat status Facebook kawan baikku Lexie Xu, yang memuat soal jadwal edar buku kumcer berjudul Cerita Cinta Indonesia, berisi 45 judul cerpen dari 45 pengarang beken. Dia ikut ada di situ, dan aku juga.
Yang bikin kaget, banyak nama beken—bahkan legendaris—ikut ada di situ. Selain Arswendo, ada juga Ahmad Tohari, Marga T, Mira W, Maria A. Sardjono, S. Mara Gd, Gol A Gong. Mereka adalah para empu—sudah malang melintang tanpa tanding di kolong langit ini 30 tahun lalu saat aku baru bisa ndomblong membaca buku-buku mereka.
Mengingat nama-nama besar itu, aku jadi geli sendiri pada cerpenku—rasanya jadi kayak guyonan. The Pink Lotus mengusung ide yang hanya mungkin terpikirkan oleh orang stres karena menderita kekurangan asupan es krim, yaitu soal nudity in movies. Teknik penceritaannya mirip dengan yang kupakai di novel The Supper Club pas adegan Ciara ditelepon bapaknya.
The Pink Lotus itu sendiri adalah judul film Hollywood buatan sutradara Belanda tempat sang tokoh utama, Indah, main sebagai aktris utama. Karena ceritanya seru, dan ngenes, bisa saja ntar ini akan kubikin cerita tersendiri untuk novel adult yang saru.
Seperti kumcer metropop Autumn Once More, hasil penjualan Cerita Cinta Indonesia juga disumbangkan untuk keperluan amal. Jadi berasa kayak anggota grup USA for Africa. Jadi silakan dibeli untuk beramal. Harganya cukup mahal: Rp 108 ribu karena memang tebal, 400 halaman lebih, tapi dijamin takkan rugi. Buku kumcer yang sekeren ini belum tentu lahir sekali dalam dua atau tiga dekade.
Kota Lunpia diwakili oleh dua artisnya, yaitu Budi Maryono dan aku. Nama-nama lain yang mengandung bau Semarang adalah Dewie Sekar (eks tetangga di Pudakpayung, sekarang di Surabaya), Andina Dwifatma (dulu bareng aku nulis di rubrik entertainment Suara Merdeka Minggu dengan nama pena Andien DF), dan juga Retni Sb (sekarang di Singkawang)
Ini dia judul lengkap ke-45 cerpen dalam buku CCI.


  • SK Pensiun (Ahmad Tohari)
  • Celebrity Baby (aliaZalea)
  • Paman Kate (Andina Dwifatma)
  • Yu Ngatemi (Anjar Anastasia)
  • Rindu yang Terlalu (Arswendo Atmowiloto)
  • Surat-Surat untuk Ibu (Ayu Gendis)
  • Aku Rela Jadi Dangdutmu (Boim Lebon)
  • Gerimis yang Ganjil (Budi Maryono)
  • Nasihat Nenek (Clara Ng)
  • Tabula Rasa (Debbie Widjaja)
  • Rindu (Dewi Kharisma Michellia)
  • Terbukalah (Dewi Ria Utari)
  • Pemburu Hiu (Dewie Sekar)
  • Savana (Dyan Nuranindya)
  • Hachiko dan Luka yang Setia (Eka Kurniawan)
  • Cinta untuk Rere (Erlin Cahyadi)
  • Jerat (Esti Kinasih)
  • Suatu Siang di Bandara (Gol A Gong)
  • Muse (Ika Natassa)
  • Ojek (Iwok Abqary)
  • Dua Garis (Jessica Huwae)
  • Gelas di Pinggir Meja (Ken Terate)
  • Dear Audrey (Lea Agustina Citra)
  • Asylum (Lexie Xu)
  • SMS (Luna Torashyngu)
  • Gadis dan Pohon Jambu (M. Aan Mansyur)
  • Persepsi (Maggie Tiojakin)
  • Apalah Artinya Nama (Marga T)
  • Life Begins at Forty (Maria A. Sardjono)
  • Love, X (Mia Arsjad)
  • Janji dalam Kotak Kosong (Mira W.)
  • Karena Darren (Nina Addison)
  • Bahagia Bersyarat (Okky Madasari)
  • Maya (Primadonna Angela)
  • Bau Laut (Ratih Kumala)
  • Pilihan (Retni Sb)
  • Wanita Terindah (Rina Suryakusuma)
  • Letting Go (RisTee)
  • Bukit Tengkorak (S. Mara Gd)
  • Pesta (Sari Safitri Mohan)
  • Karma (Shandy Tan)
  • The Second Chance (Syafrina Siregar)
  • Lukisan Menangis (Syahmedi Dean)
  • Back for Love (Teresa Bertha)
  • The Pink Lotus (wewe gombel) 

0 komentar:

Posting Komentar