Pernahkah kamu begitu mengidolakan
seseorang yang menginspirasimu melakukan sesuatu, lalu sekian tahun kemudian,
kamu tampil dalam satu proyek yang sama dengannya? Itulah yang sedang kualami sekarang.
Rasanya lebih dari sekadar mimpi jadi nyata, karena dulu, untuk memimpikannya
saja tak sempat terpikirkan.
Di buku terbaruku ini, Cerita Cinta Indonesia: 45 Cerpen Terpilih,
aku berkesempatan untuk satu buku dengan idolaku dari masa tiga dekade lalu, yaitu
Arswendo Atmowiloto. Tidak pakai kumpul ketemu lalu merembuk konsep, karena ini
murni proyek Gramedia Pustaka Utama. Para pengarang hanya diundang untuk mengirim
cerpen masing-masing, lalu buku kumcernya ujug-ujug sudah ada, dengan kemasan
yang sangat luks.
Seperti sudah sering kuceritakan
di mana-mana, tahun 1985 aku mulai tertarik nulis novel. Aku mulai benar-benar
dari enol, sejak dari cara nyusun paragraf dan menaruh tulisan plus tanda-tanda
baca dengan benar. Tanpa guru yang membimbing, aku belajar dari buku, yaitu
karya Agatha Christie, Enid Blyton, dan Arswendo. Dari kedua pengarang Inggris
itu aku belajar logika dan cara bikin cerita yang tak biasa. Dari Arswendo, aku
belajar bagaimana menggunakan kata-kata yang krispi dan empuk.
Buku dia yang pertama kali
kulihat dan kubeli adalah novel tipis Dewa
Mabuk. Aku beli itu pas kelas II SMP,
waktu bareng Pratmono, sobatku semasa di SMP 20 Semarang, mampir Gedung Kanjengan
di kompleks Pasar Johar Semarang untuk main ding dong setelah renang di Stadion
Diponegoro. Harganya waktu itu masih Rp 800. Ajaib untuk ukuran sekarang.
Perjumpaan kedua dengan karya
Arswendo adalah cerita silat Senopati
Pamungkas, saat masih dimuat jadi cerber
di Majalah Hai tahun 1984. Yang
kubaca waktu itu adalah episode ke-25, pas adegan Galih Kaliki ikut Sayembara
Mantu untuk mendapatkan Dyah Muning Maduwangi (yang jebul adalah cowok dari
Mongol!). Aku nggak langganan Hai,
jadi ya hanya sempat baca Senopati Pamungkas sekali itu saja sebelum terbit
jadi buku tiga tahun kemudian.
Dua kali perjumpaan itu membuat
aku ngefans berat sama Arswendo. Aku suka cara dia menyusun kata-kata sehingga
bisa membentuk tuturan narasi dan kalimat-kalimat dialog yang kuat meski dengan
diksi yang simpel dan nggak terlalu nyastra.
Aku makin ngefans waktu cerbung Senopati Pamungkas terbit jadi buku (tebal, bersampul merah keren) tahun
1987. Aku nyelengi agak lama untuk beli itu. Belinya di Mickey Morse Bookstore
Jalan Depok (sekarang sudah nggak ada). Harganya sangat mahal: Rp 3.000—tapi
puas banget. Setelah jilid pertama yang diangkat dari cerbung, aku terus mengikuti
kelanjutannya hingga tamat di episode ke-25.
Ketika tahun 2005 aku bisa mengikuti
jejaknya untuk jadi novelis juga, aku masih tetap membaca buku-bukunya dengan kekaguman
yang sama. Dan kemudian, muncullah buku kumcer CCI yang sangat keren ini. Aku sendiri nggak nyangka bakal bisa
kumpul dengan para maestro.
Waktu dihubungi editor GPU Meilia
Kusumadewi sekitar bulan Mei 2014 lalu untuk ikut ngirim cerpen untuk buku kumcer
khusus menyambut ultah ke-40 GPU, aku bahkan nggak yakin cerpenku lolos seleksi.
Maklum, aku kan “cerpenis proyek”—baru sadar mau bikin cerpen kalau jelas mau
ada event tertentu.
Dan aku juga bahkan sudah lupa
ada acara itu. Sudah lewat berbulan-bulan sejak aku kirim cerpenku, yang berjudul
The Pink Lotus. Aku baru
ingat lagi setelah lihat status Facebook kawan baikku Lexie Xu, yang memuat
soal jadwal edar buku kumcer berjudul Cerita
Cinta Indonesia, berisi 45 judul cerpen dari 45 pengarang beken. Dia ikut
ada di situ, dan aku juga.
Yang bikin kaget, banyak nama beken—bahkan
legendaris—ikut ada di situ. Selain Arswendo, ada juga Ahmad Tohari, Marga T,
Mira W, Maria A. Sardjono, S. Mara Gd, Gol A Gong. Mereka adalah para empu—sudah
malang melintang tanpa tanding di kolong langit ini 30 tahun lalu saat aku baru
bisa ndomblong membaca buku-buku mereka.
Mengingat nama-nama besar itu,
aku jadi geli sendiri pada cerpenku—rasanya jadi kayak guyonan. The Pink Lotus mengusung ide yang hanya
mungkin terpikirkan oleh orang stres karena menderita kekurangan asupan es
krim, yaitu soal nudity in movies. Teknik
penceritaannya mirip dengan yang kupakai di novel The Supper Club pas adegan Ciara ditelepon
bapaknya.
The
Pink Lotus itu sendiri adalah judul film Hollywood buatan sutradara Belanda
tempat sang tokoh utama, Indah, main sebagai aktris utama. Karena ceritanya seru,
dan ngenes, bisa saja ntar ini akan kubikin cerita tersendiri untuk novel adult yang saru.
Seperti kumcer metropop Autumn Once More, hasil penjualan
Cerita Cinta Indonesia juga
disumbangkan untuk keperluan amal. Jadi berasa kayak anggota grup USA for
Africa. Jadi silakan dibeli untuk beramal. Harganya cukup mahal: Rp 108 ribu
karena memang tebal, 400 halaman lebih, tapi dijamin takkan rugi. Buku kumcer
yang sekeren ini belum tentu lahir sekali dalam dua atau tiga dekade.
Kota Lunpia diwakili oleh dua
artisnya, yaitu Budi Maryono dan aku. Nama-nama lain yang mengandung bau Semarang
adalah Dewie Sekar (eks tetangga di Pudakpayung, sekarang di Surabaya), Andina
Dwifatma (dulu bareng aku nulis di rubrik entertainment
Suara Merdeka Minggu dengan nama pena Andien DF), dan juga Retni Sb (sekarang
di Singkawang)
Ini dia judul lengkap ke-45 cerpen
dalam buku CCI.
- SK
Pensiun (Ahmad Tohari)
- Celebrity
Baby (aliaZalea)
- Paman
Kate (Andina Dwifatma)
- Yu
Ngatemi (Anjar Anastasia)
- Rindu
yang Terlalu (Arswendo Atmowiloto)
- Surat-Surat
untuk Ibu (Ayu Gendis)
- Aku
Rela Jadi Dangdutmu (Boim Lebon)
- Gerimis
yang Ganjil (Budi Maryono)
- Nasihat
Nenek (Clara Ng)
- Tabula
Rasa (Debbie Widjaja)
- Rindu
(Dewi Kharisma Michellia)
- Terbukalah
(Dewi Ria Utari)
- Pemburu
Hiu (Dewie Sekar)
- Savana
(Dyan Nuranindya)
- Hachiko
dan Luka yang Setia (Eka Kurniawan)
- Cinta
untuk Rere (Erlin Cahyadi)
- Jerat
(Esti Kinasih)
- Suatu
Siang di Bandara (Gol A Gong)
- Muse
(Ika Natassa)
- Ojek
(Iwok Abqary)
- Dua
Garis (Jessica Huwae)
- Gelas
di Pinggir Meja (Ken Terate)
- Dear
Audrey (Lea Agustina Citra)
- Asylum
(Lexie Xu)
- SMS
(Luna Torashyngu)
- Gadis
dan Pohon Jambu (M. Aan Mansyur)
- Persepsi
(Maggie Tiojakin)
- Apalah
Artinya Nama (Marga T)
- Life
Begins at Forty (Maria A. Sardjono)
- Love,
X (Mia Arsjad)
- Janji
dalam Kotak Kosong (Mira W.)
- Karena
Darren (Nina Addison)
- Bahagia
Bersyarat (Okky Madasari)
- Maya
(Primadonna Angela)
- Bau
Laut (Ratih Kumala)
- Pilihan
(Retni Sb)
- Wanita
Terindah (Rina Suryakusuma)
- Letting
Go (RisTee)
- Bukit
Tengkorak (S. Mara Gd)
- Pesta
(Sari Safitri Mohan)
- Karma
(Shandy Tan)
- The
Second Chance (Syafrina Siregar)
- Lukisan
Menangis (Syahmedi Dean)
- Back
for Love (Teresa Bertha)
- The
Pink Lotus (wewe gombel)
0 komentar:
Posting Komentar