Bicara sinetron, pasti
akan bicara juga soal konflik, kekerasan, dan cerita yang aneh dengan logika
yang semaunya sendiri. Belum lagi ditambah dengan penayangan model stripping
yang membuat seluruh kru dan pemain bekerja kejar tayang sehingga tak sempat
lagi berpikir soal detail dan kualitas.
Tiap kali
disinggung mengenai hal ini, pihak PH dan stasiun TV menjadikan rating Nielsen
dan kemauan penonton sebagai tameng. Dan itu dengan seketika menihilkan
kemungkinan akan kemauan untuk berbenah dan melakukan inovasi. Seakan ada
ketakutan yang amat sangat bahwa perubahan sekecil apa pun pada metoda cerita
dan penggarapan akan langsung menimbulkan kiamat kubro—sama sekali tak ditonton
sehingga mata pencaharian lenyap dalam semalam!
Pertanyaan pun
harus diajukan, apakah sekian ratus juta pemirsa TV di Indonesia adalah benda
mati yang tertutup total terhadap perubahan dan perkembangan? Kenyataannya,
ketika dihadapkan pada sinetron bercorak berbeda semacam Bajaj Bajuri
atau OB, publik tetap dapat mengakomodasi.
Permasalahan
pokoknya bukanlah apa yang disebut “kemauan pemirsa”, namun kemampuan (yang
didahului kemauan) untuk menghasilkan kemasan yang menarik. Pemirsa akan terus
mengikuti beda-beda gaya cerita apa pun sepanjang cerita itu bisa ditampilkan
dengan menarik. Ini sesuai dengan model komunikasi jarum hipodermik, di mana pemirsa
(audiens) akan ikut menganggap penting apa yang dianggap penting oleh media
massa.
Dan bicara soal
sinetron yang berkualitas tak lantas semua sineas layar gelas diharuskan untuk
dengan seketika menelurkan tayangan-tayangan art yang sedahsyat
karya-karya Garin Nugroho atau Stanley Kubrick. Perubahan bisa dimulai
pelan-pelan dari titik paling simpel yang langsung bisa dikerjakan hari ini
juga, baru berikutnya menginjak poin-poin lain yang lebih berat...
Mengganti MM
MM adalah
singkatan dari Mbatin-Monolog, tempat dalam skenario ketika penulis berusaha
menjelaskan cerita lewat suara hati atau gumaman tokoh (dalam bahasa Jawa
disebut ngudarasa, bicara kepada diri sendiri). Itu ditempuh karena
sutradara tak sempat membuat storyboard scene-by-scene kayak di film
layar lebar guna menjelaskan banyak hal lewat gambar. Dan mengapa mereka tak
sempat adalah sangat bisa dipahami—dipaksa stasiun TV tayang stripping.
Pada tahap awal
tak perlu langsung berubah frontal dengan menghilangkannya total. Mungkin bisa
dikurangi bertahap jadi di bawah 30% dari keseluruhan skenario, sembari
produser, sutradara, dan penulis skenario menyadari bahwa penonton sinetron
juga makan sekolahan. Cukup dengan melihat senyum, kecemberutan, lirikan mata,
dan bahasa tubuh, info bahwa si A takut cintanya ditolak si B, si C cemburu
lihat si D jalan sama si E, atau si F kagum dari kejauhan pada si G; bisa
ditangkap penonton.
Raut Muka Baru
Hanya ada tiga
jenis ekspresi dalam sinetron: marah, MMK (mata menyipit kejam—saat membatin
atau monolog), dan mewek. Dan itu—dalam dua dekade terakhir—sudah sukses
membuat wajah-wajah cantik Deasy Ratnasari, Jihan Fahira, Lyra Virna, Chelsea
Olivia, Arumi, Asmirandah, hingga Rachel Amanda, jadi kehilangan kecantikannya.
Rayuan gombal
“Kamu cantik kalau lagi marah” itu sudah kuno dan ketinggalan zaman sejauh
empat epoch. Siapapun akan jadi terlihat jauh lebih cakep jika tertawa geli,
menatap penuh cinta, tersenyum cerah, nyengir, atau berekspresi haru biru
(seperti jika melihat reuni ibu dan anak yang tak ketemu selama 25 tahun).
Corak-corak
ekspresi baru perlu diujicobakan dalam skenario. Dan itu sangat mungkin
dilakukan tanpa perlu mengubah plot dan konflik sama sekali (masih dalam cerita
rebutan warisan atau tukang jahit cantik yang ketemu cowok nyebelin).
Materi Edukasi
Apakah membuat
sinetron yang memuat materi pendidikan harus berarti ceritanya kudu tentang
anak miskin yang pengin sekolah dan penuh adegan mengenaskan tentang kelamnya
kemiskinan dan daerah kumuh perkotaan yang dihuni pemulung, pengemis, germo,
serta anak jalanan?
Tentu tidak.
Orang Inggris bilang, “The world is not as small as kelor's leaves”.
Imajinasi tiada batas. Banyak cara untuk bercerita tentang segala sesuatu.
Hal-hal berbau edukasi bisa diselipkan dengan sangaaaaaaat mudah sekali pada
cerita yang sudah dan sedang dibuat. Sekali lagi, bahkan tanpa mengubah plot
dan muatan konfliknya sama sekali.
Misal, dalam
cerita tentang cewek yang di-bully, diceritakan bahwa ia stres karena
putus cinta, lalu pas nonton TV, ia nemu acara Mario Teguh yang bilang bahwa “extraordinary
things happen to extraordinary people”, dan itu bikin ia
menemukan kembali semangat hidupnya. Dan di sinetron religi tentang ustad
ganteng yang ditaksir 10 santriwati sekaligus, diselipkan cerita tentang sang
ustad yang mengkoordinir para fansnya itu untuk mengumpulkan buku-buku guna
mendirikan rumah baca untuk anak-anak jalanan. Pretty simple kan?
Different Story
Setelah mengganti
pernak-pernik plot dari cerita yang sudah umum dipakai, level berikutnya yang
lebih berat adalah menghadirkan cerita yang sepenuhnya beda (penulis skenario
mana pun pasti bisa, hanya tinggal menunggu kemauan dari PH dan stasiun TV).
Sebagai contoh,
cerita tentang ibu rumah tangga baik hati yang ternyata bandar narkoba
internasional, kisah pekerja di tempat terpencil (bukan dokter puskesmas yang
dibenci dukun setempat, melainkan petugas penjaga mercu suar atau
tentara/polisi di perbatasan RI-PNG), ABG yang culun tapi hacker jagoan, cerita
dunia kerja para petugas Satreskrim Polda Metro Jaya, kisah ABK feri
Merak-Bakauheni (masih ingat serial Baruna?), horor bukan tentang pocong
melainkan koyang, atau cerita laga sejarah mengenai Prabu Siliwangi atau Prabu
Airlangga tapi yang betul-betul menghadirkan konsultan sejarah.
So many
stories to tell, tapi kenapa kita selalu saja
sukses dalam membatasi diri sendiri?
Official Adaptation
Mulai level ini
sudah bukan lagi ranah penulis skenario, melainkan produser dan stasiun TV.
Jadi para penulis skenario tidak perlu lagi sensi mulai tahapan ini.
Saat ini muncul
dua serial yang cetha mela-mela meniru produk luar, yaitu Dia yang
Berasal dari Bintang dan Ganteng-ganteng Serigala.
Dalam waktu dekat, agaknya kita harus siap jika tiba-tiba ada Pacarku Luwak
Berekor Sembilan!
Seberapa sulitnya
sih mengajukan rekues ke pemilik hak cipta untuk membuat adaptasi resmi? Sudah
ada e-mail dan e-banking. Just a click away. Uang juga berlimpah dari
hasil semua serial stripping selama 20 tahun terakhir ini. Ditambah
sponsor (yang pasti mau), pasti cukup kalau hanya sekadar untuk membeli rights
seperti Indonesian Idol atau MasterChef. Kenapa
terus-menerus mempermalukan bangsa sendiri dengan melakukan penjiplakan?
Dan dulu kan kita
pernah melakukannya dengan sangat baik. Masih ingat sinetron Tahta, Cinta
Selembut Sutra, Senggal-senggol, atau Belahan Jiwa?
CSR
Selain mencari
profit, ada tanggung jawab perusahaan-perusahaan gede untuk memberi balik bagi
masyarakat, istilahnya CSR (community service responsibility),
dengan dana sekian persen dari total pendapatan. Perusahaan rokok misalnya
dengan ngasih beasiswa, perkebunan kelapa sawit dengan membuka sekolah, dan
pabrik kondom dengan memberi modal usaha kecil & menengah (misalnya kerajinan
miniatur kondom dari rotan!).
Lalu apa CSR-nya
semua PH besar yang selama ini sudah meraup miliaran rupiah dari berjualan
sinetron? Kenapa tidak dengan mengalokasikan dana khusus guna memproduksi
sinetron yang memang tidak bertujuan untuk meraup rupiah, tapi berkesenian,
sebagaimana yang dilakukan Deddy Mizwar lewat Para Pencari Tuhan
atau Sinema Wajah Indonesia?
Tidak perlu
dengan serial masif yang berepisode puluhan, melainkan miniseri saja seperti
drama-drama Korea. Dengan biaya produksi sekitar Rp 150 juta per episode untuk
durasi 30 menit dan Rp 250 juta untuk durasi 60 menit, miniseri 6 episode
(seperti musim pertama Si Doel Anak Sekolahan) hanya akan menelan
dana antara Rp 900 juta hingga Rp 1,5 M. Itu receh untuk kelasnya Punjabi atau
Shanker atau Sutanto!
Sesekali
kehilangan uang untuk bersodakoh kan gakpapa. Lagian, siapa yang bilang bahwa
sinetron berkualitas pasti 100% akan di-jothak-kan penonton? Pembedanya
adalah daya tarik kemasan, bukan isinya.
No Stripping
Dari berbagai
pengamatan, sepertinya hanya di Indonesia semua tayangan populer—termasuk
sinetron—dipaksakan untuk tayang tiap hari demi mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya (suatu saat bisa saja La Liga atau Liga Primer disuruh main
tiap hari karena rating-nya pasti tinggi!). Di Amerika Serikat, sinetron tayang
tiap hari hanya pada jam siang (daytime) untuk serial opera sabun.
Serial-serial prime time tayang mingguan. Di Korea dan Jepang,
sebagian besar judul drama serial yang populer di sini juga tayang sekali
sepekan.
Weekly telecast bagaimanapun adalah format paling ideal bagi
sinetron. Satu, meringankan beban kerja kru dan pemain. Dua, memberi semakin
banyak slot untuk kehadiran judul-judul (dan PH-PH) baru untuk ikut bermain.
Yang terjadi saat ini adalah praktik-praktik monopoli: satu PH mengangkangi
jatah seluruh jam sinetron untuk satu stasiun TV swasta, sehingga kedua pihak
sama-sama terlena pules.
Tentu tidak perlu
juga dengan serta merta besok magrib semua tayangan seketika tak stripping
lagi. Bisa ditempuh bertahap. Misal dari 3 slot penayangan sinetron dalam
sehari pada jam prime time, satu di antaranya dialokasikan bagi
sinetron yang tayang mingguan. Lalu pelan-pelan bergerak sehingga pada
akhirnya, sinetron stripping cukup satu atau dua saja dalam jam
penayangan siang.
Yang satu ini
memang murni teritori stasiun TV. Harus ada kemauan, untuk menyadari bahwa
mereka masih tetap bisa kaya raya sugih mBlegedhu meski
sinetron-sinetron tak lagi stripping. Sedikit studi banding ke MBC dan
KBS di Korea, atau NBC dan ABC di Amerika, mengenai bagaimana menjaga
efektivitas program-program yang tayang mingguan, akan banyak membantu.
Masalahnya, apakah hal itu pernah dilakukan?
Nah, kami nggak
hanya menghujat (baca: mengkritik) atau sekadar berkaok-kaok kan, tapi juga memberi
ide-ide solusi? Dan itu semua sangat mudah dilakukan kalau punya satu hal simpel
bernama kemauan—yang sudah membuat Soekarno-Hatta bisa memerdekakan negara besar
ini.
Mungkin sdh telat bgt sy nemu artikel ini. Tp sy nggk bs nhn untuk tdk ikut mnytkn klau sy setuju dg ide dan saran anda.
BalasHapusDan klau mnrt sy, sbgi penonton awam,sinetron ind tu berkiblatnya ke serial India yg mmg khas dg series ber-episode ribuan...
memang betul. termasuk juga dalam pengadeganan dan musik latar, sinetron kita berkiblat ke India.
BalasHapus