scribo ergo sum

Minggu, 05 Oktober 2014

How to Make SInetron Better?

14:27 Posted by wiwien wintarto 2 comments

Bicara sinetron, pasti akan bicara juga soal konflik, kekerasan, dan cerita yang aneh dengan logika yang semaunya sendiri. Belum lagi ditambah dengan penayangan model stripping yang membuat seluruh kru dan pemain bekerja kejar tayang sehingga tak sempat lagi berpikir soal detail dan kualitas.
Tiap kali disinggung mengenai hal ini, pihak PH dan stasiun TV menjadikan rating Nielsen dan kemauan penonton sebagai tameng. Dan itu dengan seketika menihilkan kemungkinan akan kemauan untuk berbenah dan melakukan inovasi. Seakan ada ketakutan yang amat sangat bahwa perubahan sekecil apa pun pada metoda cerita dan penggarapan akan langsung menimbulkan kiamat kubro—sama sekali tak ditonton sehingga mata pencaharian lenyap dalam semalam!
Pertanyaan pun harus diajukan, apakah sekian ratus juta pemirsa TV di Indonesia adalah benda mati yang tertutup total terhadap perubahan dan perkembangan? Kenyataannya, ketika dihadapkan pada sinetron bercorak berbeda semacam Bajaj Bajuri atau OB, publik tetap dapat mengakomodasi.
Permasalahan pokoknya bukanlah apa yang disebut “kemauan pemirsa”, namun kemampuan (yang didahului kemauan) untuk menghasilkan kemasan yang menarik. Pemirsa akan terus mengikuti beda-beda gaya cerita apa pun sepanjang cerita itu bisa ditampilkan dengan menarik. Ini sesuai dengan model komunikasi jarum hipodermik, di mana pemirsa (audiens) akan ikut menganggap penting apa yang dianggap penting oleh media massa.
Dan bicara soal sinetron yang berkualitas tak lantas semua sineas layar gelas diharuskan untuk dengan seketika menelurkan tayangan-tayangan art yang sedahsyat karya-karya Garin Nugroho atau Stanley Kubrick. Perubahan bisa dimulai pelan-pelan dari titik paling simpel yang langsung bisa dikerjakan hari ini juga, baru berikutnya menginjak poin-poin lain yang lebih berat...

Mengganti MM
MM adalah singkatan dari Mbatin-Monolog, tempat dalam skenario ketika penulis berusaha menjelaskan cerita lewat suara hati atau gumaman tokoh (dalam bahasa Jawa disebut ngudarasa, bicara kepada diri sendiri). Itu ditempuh karena sutradara tak sempat membuat storyboard scene-by-scene kayak di film layar lebar guna menjelaskan banyak hal lewat gambar. Dan mengapa mereka tak sempat adalah sangat bisa dipahami—dipaksa stasiun TV tayang stripping.
Pada tahap awal tak perlu langsung berubah frontal dengan menghilangkannya total. Mungkin bisa dikurangi bertahap jadi di bawah 30% dari keseluruhan skenario, sembari produser, sutradara, dan penulis skenario menyadari bahwa penonton sinetron juga makan sekolahan. Cukup dengan melihat senyum, kecemberutan, lirikan mata, dan bahasa tubuh, info bahwa si A takut cintanya ditolak si B, si C cemburu lihat si D jalan sama si E, atau si F kagum dari kejauhan pada si G; bisa ditangkap penonton.

Raut Muka Baru
Hanya ada tiga jenis ekspresi dalam sinetron: marah, MMK (mata menyipit kejam—saat membatin atau monolog), dan mewek. Dan itu—dalam dua dekade terakhir—sudah sukses membuat wajah-wajah cantik Deasy Ratnasari, Jihan Fahira, Lyra Virna, Chelsea Olivia, Arumi, Asmirandah, hingga Rachel Amanda, jadi kehilangan kecantikannya.
Rayuan gombal “Kamu cantik kalau lagi marah” itu sudah kuno dan ketinggalan zaman sejauh empat epoch. Siapapun akan jadi terlihat jauh lebih cakep jika tertawa geli, menatap penuh cinta, tersenyum cerah, nyengir, atau berekspresi haru biru (seperti jika melihat reuni ibu dan anak yang tak ketemu selama 25 tahun).
Corak-corak ekspresi baru perlu diujicobakan dalam skenario. Dan itu sangat mungkin dilakukan tanpa perlu mengubah plot dan konflik sama sekali (masih dalam cerita rebutan warisan atau tukang jahit cantik yang ketemu cowok nyebelin).

Materi Edukasi
Apakah membuat sinetron yang memuat materi pendidikan harus berarti ceritanya kudu tentang anak miskin yang pengin sekolah dan penuh adegan mengenaskan tentang kelamnya kemiskinan dan daerah kumuh perkotaan yang dihuni pemulung, pengemis, germo, serta anak jalanan?
Tentu tidak. Orang Inggris bilang, “The world is not as small as kelor's leaves”. Imajinasi tiada batas. Banyak cara untuk bercerita tentang segala sesuatu. Hal-hal berbau edukasi bisa diselipkan dengan sangaaaaaaat mudah sekali pada cerita yang sudah dan sedang dibuat. Sekali lagi, bahkan tanpa mengubah plot dan muatan konfliknya sama sekali.
Misal, dalam cerita tentang cewek yang di-bully, diceritakan bahwa ia stres karena putus cinta, lalu pas nonton TV, ia nemu acara Mario Teguh yang bilang bahwa “extraordinary things happen to extraordinary people”, dan itu bikin ia menemukan kembali semangat hidupnya. Dan di sinetron religi tentang ustad ganteng yang ditaksir 10 santriwati sekaligus, diselipkan cerita tentang sang ustad yang mengkoordinir para fansnya itu untuk mengumpulkan buku-buku guna mendirikan rumah baca untuk anak-anak jalanan. Pretty simple kan?

Different Story
Setelah mengganti pernak-pernik plot dari cerita yang sudah umum dipakai, level berikutnya yang lebih berat adalah menghadirkan cerita yang sepenuhnya beda (penulis skenario mana pun pasti bisa, hanya tinggal menunggu kemauan dari PH dan stasiun TV).
Sebagai contoh, cerita tentang ibu rumah tangga baik hati yang ternyata bandar narkoba internasional, kisah pekerja di tempat terpencil (bukan dokter puskesmas yang dibenci dukun setempat, melainkan petugas penjaga mercu suar atau tentara/polisi di perbatasan RI-PNG), ABG yang culun tapi hacker jagoan, cerita dunia kerja para petugas Satreskrim Polda Metro Jaya, kisah ABK feri Merak-Bakauheni (masih ingat serial Baruna?), horor bukan tentang pocong melainkan koyang, atau cerita laga sejarah mengenai Prabu Siliwangi atau Prabu Airlangga tapi yang betul-betul menghadirkan konsultan sejarah.
So many stories to tell, tapi kenapa kita selalu saja sukses dalam membatasi diri sendiri?

Official Adaptation
Mulai level ini sudah bukan lagi ranah penulis skenario, melainkan produser dan stasiun TV. Jadi para penulis skenario tidak perlu lagi sensi mulai tahapan ini.
Saat ini muncul dua serial yang cetha mela-mela meniru produk luar, yaitu Dia yang Berasal dari Bintang dan Ganteng-ganteng Serigala. Dalam waktu dekat, agaknya kita harus siap jika tiba-tiba ada Pacarku Luwak Berekor Sembilan!
Seberapa sulitnya sih mengajukan rekues ke pemilik hak cipta untuk membuat adaptasi resmi? Sudah ada e-mail dan e-banking. Just a click away. Uang juga berlimpah dari hasil semua serial stripping selama 20 tahun terakhir ini. Ditambah sponsor (yang pasti mau), pasti cukup kalau hanya sekadar untuk membeli rights seperti Indonesian Idol atau MasterChef. Kenapa terus-menerus mempermalukan bangsa sendiri dengan melakukan penjiplakan?
Dan dulu kan kita pernah melakukannya dengan sangat baik. Masih ingat sinetron Tahta, Cinta Selembut Sutra, Senggal-senggol, atau Belahan Jiwa?

CSR
Selain mencari profit, ada tanggung jawab perusahaan-perusahaan gede untuk memberi balik bagi masyarakat, istilahnya CSR (community service responsibility), dengan dana sekian persen dari total pendapatan. Perusahaan rokok misalnya dengan ngasih beasiswa, perkebunan kelapa sawit dengan membuka sekolah, dan pabrik kondom dengan memberi modal usaha kecil & menengah (misalnya kerajinan miniatur kondom dari rotan!).
Lalu apa CSR-nya semua PH besar yang selama ini sudah meraup miliaran rupiah dari berjualan sinetron? Kenapa tidak dengan mengalokasikan dana khusus guna memproduksi sinetron yang memang tidak bertujuan untuk meraup rupiah, tapi berkesenian, sebagaimana yang dilakukan Deddy Mizwar lewat Para Pencari Tuhan atau Sinema Wajah Indonesia?
Tidak perlu dengan serial masif yang berepisode puluhan, melainkan miniseri saja seperti drama-drama Korea. Dengan biaya produksi sekitar Rp 150 juta per episode untuk durasi 30 menit dan Rp 250 juta untuk durasi 60 menit, miniseri 6 episode (seperti musim pertama Si Doel Anak Sekolahan) hanya akan menelan dana antara Rp 900 juta hingga Rp 1,5 M. Itu receh untuk kelasnya Punjabi atau Shanker atau Sutanto!
Sesekali kehilangan uang untuk bersodakoh kan gakpapa. Lagian, siapa yang bilang bahwa sinetron berkualitas pasti 100% akan di-jothak-kan penonton? Pembedanya adalah daya tarik kemasan, bukan isinya.

No Stripping
Dari berbagai pengamatan, sepertinya hanya di Indonesia semua tayangan populer—termasuk sinetron—dipaksakan untuk tayang tiap hari demi mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya (suatu saat bisa saja La Liga atau Liga Primer disuruh main tiap hari karena rating-nya pasti tinggi!). Di Amerika Serikat, sinetron tayang tiap hari hanya pada jam siang (daytime) untuk serial opera sabun. Serial-serial prime time tayang mingguan. Di Korea dan Jepang, sebagian besar judul drama serial yang populer di sini juga tayang sekali sepekan.
Weekly telecast bagaimanapun adalah format paling ideal bagi sinetron. Satu, meringankan beban kerja kru dan pemain. Dua, memberi semakin banyak slot untuk kehadiran judul-judul (dan PH-PH) baru untuk ikut bermain. Yang terjadi saat ini adalah praktik-praktik monopoli: satu PH mengangkangi jatah seluruh jam sinetron untuk satu stasiun TV swasta, sehingga kedua pihak sama-sama terlena pules.
Tentu tidak perlu juga dengan serta merta besok magrib semua tayangan seketika tak stripping lagi. Bisa ditempuh bertahap. Misal dari 3 slot penayangan sinetron dalam sehari pada jam prime time, satu di antaranya dialokasikan bagi sinetron yang tayang mingguan. Lalu pelan-pelan bergerak sehingga pada akhirnya, sinetron stripping cukup satu atau dua saja dalam jam penayangan siang.
Yang satu ini memang murni teritori stasiun TV. Harus ada kemauan, untuk menyadari bahwa mereka masih tetap bisa kaya raya sugih mBlegedhu meski sinetron-sinetron tak lagi stripping. Sedikit studi banding ke MBC dan KBS di Korea, atau NBC dan ABC di Amerika, mengenai bagaimana menjaga efektivitas program-program yang tayang mingguan, akan banyak membantu. Masalahnya, apakah hal itu pernah dilakukan?


Nah, kami nggak hanya menghujat (baca: mengkritik) atau sekadar berkaok-kaok kan, tapi juga memberi ide-ide solusi? Dan itu semua sangat mudah dilakukan kalau punya satu hal simpel bernama kemauan—yang sudah membuat Soekarno-Hatta bisa memerdekakan negara besar ini.

2 komentar:

  1. Mungkin sdh telat bgt sy nemu artikel ini. Tp sy nggk bs nhn untuk tdk ikut mnytkn klau sy setuju dg ide dan saran anda.
    Dan klau mnrt sy, sbgi penonton awam,sinetron ind tu berkiblatnya ke serial India yg mmg khas dg series ber-episode ribuan...

    BalasHapus
  2. memang betul. termasuk juga dalam pengadeganan dan musik latar, sinetron kita berkiblat ke India.

    BalasHapus