scribo ergo sum

Senin, 29 September 2014

Para Analis Kuliner

14:19 Posted by wiwien wintarto No comments
Nisa Quin bareng Jenny's War dan The Supper Club
Sejak sering nonton acara Wisata Kuliner di Trans TV, aku jadi hobi menganalisis makanan ala Bondan Winarno. Kalau pas jajan bareng teman-teman, aku akan pura-pura mengerutkan kening, lalu berkomentar, “Mmm… aroma bawangnya terasa, dan lumer di mulut”, dan yang lainnya akan tertawa. “Analisis”-ku itu tentu hanya parodi, karena aku bukan chef. Nah, pas di Surabaya kemarin, aku nemu versi originalnya.
Tugas utamaku sendiri di Kota Pahlawan adalah menemani Nisa Quin meluncurkan novel perdananya, Jenny’s War. Acara digelar di Naomi CafĂ© & Resto, Jl. Raya Tenggilis 68, Surabaya, hari Sabtu (27/9) mulai pukul 15.00 WIB. Setelah Nisa selesai cerita-cerita soal proses kreatif penggarapan novelnya, aku ngasih workshop singkat tentang proses pengajuan naskah buku ke penerbit.

Yang menarik, nyaris semua yang hadir adalah aktivis dunia kuliner. Nisa masih kuliah di Akademi Pariwisata Majapahit Surabaya alias Majapahit Tourism Academy (Matoa). Cowoknya, Esach, tak lain adalah kontestan MasterChef musim kedua yang tayang di RCTI tahun 2012 lalu. MC acara, Willy, juga seorang chef. Dan launching dibuka oleh Chef Bagus, dosen Nisa yang mengetes salah seorang audiens mengenai unsur apa saja yang terdapat dalam mayonais!
Kumpul dengan para chef menghadirkan banyak pengalaman menarik buatku. Salah satunya adalah malam sehabis acara, waktu Nisa dan Esach mengantarku menuju tempatku menginap di penginapan Metro House di kawasan Dukuh Kupang. Pas melewati deretan lapak kuliner kaki lima di dekat penginapan, tahu-tahu Esach putar balik mobil untuk menyambangi lapak penjual martabak Hollend.
Dia dan Nisa lantas membeli martabak telur di sana. Aku juga dibelikan satu kerdus penuh. Katanya, martabak di Hollend enak. Dan dia tahu itu cukup dengan melihat cara para koki mengangkat martabak saat habis digoreng, waktu lewat sesaat sebelumnya. Ketika kemudian martabaknya kujajal di hotel, penilaian Esach tepat. Selain krispi dan empuk, si martabak nggak lantas jadi alot sesudah mendingin.
Keesokan siangnya, sebelum mengantar aku ke Stasiun Pasar Turi, mereka dan Willy mengantar aku jalan-jalan ke mal Ciputra World. Tujuan kami langsung ke food court, karena memang sudah siang dan aku sudah ngintir-intir (opo jal ngintir-intir?). Pas hidangan-hidangan sudah tersaji, aku jadi teringat sendiri pada dagelanku untuk memparodikan Pak Bondan dengan menganalisis makanan secara sentrifugal dan konkuren.
Aku jadi tertarik mengetahui apakah para chef juga akan memberi komentar serupa—yang sungguhan tentu saja. Dan ternyata benar. Begitu menyantap nasi cap cay pesanannya, Esach mengatakan bahwa aroma oriental nasi cap cay itu terasa kuat, tapi cita rasanya kurang berani. Habis itu ia menyodorkan seutas (seutas??) bagian dari cap cay pada Willy dan bertanya kira-kira bagian itu direbus berapa lama.
“Ini overcooked,” kata Willy setelah mencicipinya.
Aku tertawa melihat cara mereka menganalisis makanan. Terutama karena teringat analisisku sendiri, yang pasti hanya sekitar “aroma bawangnya terasa”, apa pun jenis masakannya (termasuk wafer dan es krim!). Buatku, yang skill memasakku hanya sebatas memasukkan apa pun yang kutemukan dan lantas membubuhkan garam di atasnya, analisis mereka jelas sama ilmiah dengan resensi makanan ala Pak Bondan di Wisata Kuliner.
Yang jelas, novel The Supper Club cukup spesial. Untuk kali pertama, aku kumpul-kumpul beneran dengan para praktisi bidang kerja yang kutaruh di novel. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pas bikin The Rain Within (2005) dan The Sweetest Kickoff (2009), aku nggak kumpul dengan para pemain bola. Waktu merilis Grasshopper (2010), cita-citaku untuk hang out dengan para pebulutangkis juga tak tercapai.
Dan ketemu para chef jelas akan logis jika oleh-olehnya berupa good food. Selain kue lapis yang sepertinya sangat mak nyuss (ntar aja dicicipi di rumah), ada juga dua botol sambal yang hand made buatan Esach. Jadi nggak sabar untuk segera melakukan pertandingan persahabatan dengan para sambal. Kalau sambalnya super sekali, mungkin aku nggak makan nasi dengan sambal, melainkan makan sambal dengan tambahan nasi.
Novel Jenny’s War sendiri diterbitkan Nisa lewat jalur indie di penerbit Dapur Buku. Dulu ia pernah meminta naskah itu untuk kuedit dan kurevisi. Aku sudah memberikan poin-poin revisi seperlunya, namun karena untuk merevisi perlu waktu, yang dicetak adalah versi aslinya.
Jenny’s War berkisah soal Jenny yang jadi galau sesudah ortunya bercerai. Ia lantas pindah dari Surabaya ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga tantenya yang ceria dan harmonis. Resah karena tak memiliki apa yang mereka punyai, Jenny lantas bikin ulah untuk menghancurkan keharmonisan mereka. Dan cerita makin seru ketika para pihak yang pernah dijahili Jenny lantas membalas dendam.
Cerita ini mengingatkanku pada drama-drama buatan Hong Kong tahun 1990-an. Beberapa di antaranya diadaptasi (secara sah, dan bukan secara liar dijiplak seperti kasus GGS tempo hari!) oleh Indosiar menjadi sinetron Tahta serta Cinta Selembut Sutra (dibintangi Mathias Muchus dan Inez Tagor, respectively) yang sangat bagus.
Seperti di serial-serial itu, Jenny sebagai tokoh utama mengalami pasang surut yang sangat kaya warna. Dari tokoh protagonis yang bernasib buruk ke tokoh antagonis yang penuh ide kejam dan balik lagi jadi tokoh protagonis yang nelangsa terpuruk. Ini sangat jarang dipakai oleh para pengarang kita, terutama di novel-novel inspiratif yang tokoh utamanya sangat hero sempurna dan sama bijaknya dengan para motivator.
Nisa mengerjakan naskah ini dalam tempo yang sama sekali tak bisa dibilang singkat: dua tahun. Dan itu harus dengan melewati aneka macam tantangan, salah satunya ditentang keluarganya sendiri. Dia mengisahkannya dengan mellow sampai hampir nangis. Mirip kayak Wiwik Wae pas dulu mewek waktu cerita tentang susu di acara Roti Fresh di Hotel Santika Premiere!

Di acara launching, aku bisa ketemu Benny dan Riza, yang selama ini cuman bisa hang out lewat Facebook. Janjian ketemu Firda dan Firza (nama kok hampir sama) juga kubikin sekalian di Naomi. Mereka membawakanku kue yang sangat menggoda mata batin. Acara jalan-jalan kali ini benar-benar bertemakan panganan.

0 komentar:

Posting Komentar