![]() |
| Nisa Quin bareng Jenny's War dan The Supper Club |
Sejak sering nonton acara Wisata Kuliner di Trans TV, aku jadi
hobi menganalisis makanan ala Bondan Winarno. Kalau pas jajan bareng teman-teman,
aku akan pura-pura mengerutkan kening, lalu berkomentar, “Mmm… aroma bawangnya
terasa, dan lumer di mulut”, dan yang lainnya akan tertawa. “Analisis”-ku itu tentu
hanya parodi, karena aku bukan chef. Nah, pas di Surabaya kemarin, aku nemu versi
originalnya.
Tugas utamaku sendiri di Kota
Pahlawan adalah menemani Nisa Quin meluncurkan novel perdananya, Jenny’s War. Acara digelar di Naomi CafĂ©
& Resto, Jl. Raya Tenggilis 68, Surabaya, hari Sabtu (27/9) mulai pukul
15.00 WIB. Setelah Nisa selesai cerita-cerita soal proses kreatif penggarapan
novelnya, aku ngasih workshop singkat tentang proses pengajuan naskah buku ke penerbit.
Yang menarik, nyaris semua yang
hadir adalah aktivis dunia kuliner. Nisa masih kuliah di Akademi Pariwisata
Majapahit Surabaya alias Majapahit Tourism Academy (Matoa). Cowoknya, Esach,
tak lain adalah kontestan MasterChef
musim kedua yang tayang di RCTI tahun 2012 lalu. MC acara, Willy, juga seorang
chef. Dan launching dibuka oleh Chef
Bagus, dosen Nisa yang mengetes salah seorang audiens mengenai unsur apa saja
yang terdapat dalam mayonais!
Kumpul dengan para chef menghadirkan
banyak pengalaman menarik buatku. Salah satunya adalah malam sehabis acara,
waktu Nisa dan Esach mengantarku menuju tempatku menginap di penginapan Metro
House di kawasan Dukuh Kupang. Pas melewati deretan lapak kuliner kaki lima di
dekat penginapan, tahu-tahu Esach putar balik mobil untuk menyambangi lapak penjual
martabak Hollend.
Dia dan Nisa lantas membeli
martabak telur di sana. Aku juga dibelikan satu kerdus penuh. Katanya, martabak
di Hollend enak. Dan dia tahu itu cukup dengan melihat cara para koki mengangkat
martabak saat habis digoreng, waktu lewat sesaat sebelumnya. Ketika kemudian
martabaknya kujajal di hotel, penilaian Esach tepat. Selain krispi dan empuk,
si martabak nggak lantas jadi alot sesudah mendingin.
Keesokan siangnya, sebelum mengantar
aku ke Stasiun Pasar Turi, mereka dan Willy mengantar aku jalan-jalan ke mal
Ciputra World. Tujuan kami langsung ke food court, karena memang sudah siang
dan aku sudah ngintir-intir (opo jal ngintir-intir?). Pas hidangan-hidangan
sudah tersaji, aku jadi teringat sendiri pada dagelanku untuk memparodikan Pak
Bondan dengan menganalisis makanan secara sentrifugal dan konkuren.
Aku jadi tertarik mengetahui
apakah para chef juga akan memberi komentar serupa—yang sungguhan tentu saja.
Dan ternyata benar. Begitu menyantap nasi cap cay pesanannya, Esach mengatakan
bahwa aroma oriental nasi cap cay itu terasa kuat, tapi cita rasanya kurang berani.
Habis itu ia menyodorkan seutas (seutas??) bagian dari cap cay pada Willy dan bertanya
kira-kira bagian itu direbus berapa lama.
“Ini overcooked,” kata Willy setelah mencicipinya.
Aku tertawa melihat cara mereka menganalisis
makanan. Terutama karena teringat analisisku sendiri, yang pasti hanya sekitar
“aroma bawangnya terasa”, apa pun jenis masakannya (termasuk wafer dan es
krim!). Buatku, yang skill memasakku hanya sebatas memasukkan apa pun yang kutemukan
dan lantas membubuhkan garam di atasnya, analisis mereka jelas sama ilmiah dengan
resensi makanan ala Pak Bondan di Wisata
Kuliner.
Yang jelas, novel The Supper Club cukup spesial. Untuk
kali pertama, aku kumpul-kumpul beneran dengan para praktisi bidang kerja yang
kutaruh di novel. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pas bikin The Rain Within (2005) dan The Sweetest Kickoff (2009), aku nggak
kumpul dengan para pemain bola. Waktu merilis Grasshopper (2010), cita-citaku untuk hang out dengan para pebulutangkis juga tak tercapai.
Dan ketemu para chef jelas akan
logis jika oleh-olehnya berupa good food.
Selain kue lapis yang sepertinya sangat mak nyuss (ntar aja dicicipi di rumah),
ada juga dua botol sambal yang hand made
buatan Esach. Jadi nggak sabar untuk segera melakukan pertandingan persahabatan
dengan para sambal. Kalau sambalnya super sekali, mungkin aku nggak makan nasi
dengan sambal, melainkan makan sambal dengan tambahan nasi.
Novel Jenny’s War sendiri diterbitkan Nisa lewat jalur indie di penerbit
Dapur Buku. Dulu ia pernah meminta naskah itu untuk kuedit dan kurevisi. Aku
sudah memberikan poin-poin revisi seperlunya, namun karena untuk merevisi perlu
waktu, yang dicetak adalah versi aslinya.
Jenny’s
War berkisah soal Jenny yang jadi galau sesudah
ortunya bercerai. Ia lantas pindah dari Surabaya ke Jakarta dan tinggal bersama
keluarga tantenya yang ceria dan harmonis. Resah karena tak memiliki apa yang mereka
punyai, Jenny lantas bikin ulah untuk menghancurkan keharmonisan mereka. Dan cerita
makin seru ketika para pihak yang pernah dijahili Jenny lantas membalas dendam.
Cerita ini mengingatkanku pada
drama-drama buatan Hong Kong tahun 1990-an. Beberapa di antaranya diadaptasi (secara
sah, dan bukan secara liar dijiplak seperti kasus GGS tempo hari!) oleh
Indosiar menjadi sinetron Tahta serta
Cinta Selembut Sutra (dibintangi
Mathias Muchus dan Inez Tagor, respectively)
yang sangat bagus.
Seperti di serial-serial itu, Jenny
sebagai tokoh utama mengalami pasang surut yang sangat kaya warna. Dari tokoh
protagonis yang bernasib buruk ke tokoh antagonis yang penuh ide kejam dan
balik lagi jadi tokoh protagonis yang nelangsa terpuruk. Ini sangat jarang
dipakai oleh para pengarang kita, terutama di novel-novel inspiratif yang tokoh
utamanya sangat hero sempurna dan sama bijaknya dengan para motivator.
Nisa mengerjakan naskah ini dalam
tempo yang sama sekali tak bisa dibilang singkat: dua tahun. Dan itu harus dengan
melewati aneka macam tantangan, salah satunya ditentang keluarganya sendiri.
Dia mengisahkannya dengan mellow sampai hampir nangis. Mirip kayak Wiwik Wae
pas dulu mewek waktu cerita tentang susu di acara Roti Fresh di Hotel Santika
Premiere!
Di acara launching, aku bisa ketemu Benny dan Riza, yang selama ini cuman
bisa hang out lewat Facebook. Janjian
ketemu Firda dan Firza (nama kok hampir sama) juga kubikin sekalian di Naomi. Mereka
membawakanku kue yang sangat menggoda mata batin. Acara jalan-jalan kali ini benar-benar
bertemakan panganan.

0 komentar:
Posting Komentar