Jarang terjadi sebuah serial TV berganti
pemeran utama. Biasanya ini hanya dilakukan oleh melodrama opera sabun (sejenis
dengan sinetron prime time kita) yang tayang siang hari, dengan sebab yang
absurd. Misal sang pemeran bertingkah karena merasa top sehingga diganti aktor
lain. Dan di alur cerita, sang tokoh utama dinyatakan kecelakaan lalu operasi
plastik!
Karena sebab yang sangat force majeur, hal yang sama terjadi pada serial TV sukses Spartacus. Sang aktor utama bukannya minta
kenaikan honor atau minta fasilitas superbintang, melainkan dipanggil sang
Khalik setelah terkena kanker non-Hodkins lymphoma. Andy Whitfield, pemeran
awal tokoh Spartacus, hanya bertahan
satu musim. Dua musim berikutnya sampai tamat, ia digantikan oleh Iain McIntyre.
Sebagaimana judulnya, serial yang
total tersusun atas 45 episode dalam tiga musim dan satu miniseri ini berkisah
tentang sepak terjang gladiator kenamaan zaman Romawi Kuno, Spartacus (109-71
SM). Dia menjadi legenda karena memimpin para gladiator memberontak terhadap Republik
Romawi dan mengobarkan perang saudara sampai dua tahun, antara tahun 73 hingga
71 sebelum Masehi.
Spartacus (Whitfield) aslinya
adalah salah seorang kepala suku bangsa Thracia (sekarang Bulgaria). Nama
aslinya tak pernah diketahui, dan di serial ini juga tak pernah disebut.
Spartacus sendiri adalah nama Romawi-nya, yang diberikan saat ia sudah menjadi
gladiator di kota Capua pada tahun 73 SM.
Nasib Spartacus berbalik drastis
dari kepala suku yang dihormati menjadi budak yang hina setelah melakukan desersi
dari tentara sekutu Romawi-Thracia yang dipimpin oleh Legatus (pangkat jenderal
zaman Romawi) Gaius Claudius Glaber (Craig Parker). Istrinya, Sura (diperankan
oleh the awesome Erin Cummings!),
dijual sebagai budak ke Suriah. Ia sendiri lantas digelandang ke Capua, sebagai
budak juga.
Di sana, ia kemudian masuk ke
Rumah Batiatus, sebuah ludus (rumah pelatihan
gladiator) milik seorang lanista
(majikan dan manajer para gladiator) ambisius bernama Quintus Lentulus Batiatus
(John Hannah). Di situlah ia mendapatkan nama Spartacus dan meniti karier dari
gladiator kelas kambing hingga menjadi gladiator tanpa tanding yang menjadi
andalan Batiatus meraup kekayaan dan juga ketenaran.
Spartacus
tayang perdana di jaringan TV kabel Starz
pada tanggal 22 Januari 2010, dan berakhir tanggal 12 April 2013. Beda dari
umumnya sinetron Amerika yang hanya bernomor season alias musim, Spartacus punya subjudul beda-beda di tiap
musim. Yang pertama adalah Spartacus:
Blood and Sands. Kemudian disusul Spartacus:
Vengeance pada musim kedua. Dan yang terakhir adalah Spartacus: War of the Damned.
Tiap musim tersusun atas 13 episode,
sama kayak serial Hannibal. Di antara
musim pertama dan kedua ada miniseri enam episode berjudul Spartacus: Gods of the Arena. Miniseri ini berkisah mengenai kiprah
Batiatus muda mengurus ludus-nya sebelum
era kemunculan Spartacus, sekaligus dipakai sebagai jeda untuk mencari pengganti
Andy Whitfield yang meninggal 11 September 2011.
Senada dengan nuansa ceritanya
yang kejam tanpa ampun, Spartacus
bukanlah jenis sinetron drama yang layak ditonton semua orang, bahkan termasuk
orang dewasa sekalipun. Pasalnya gaya visualnya sangat “over the top” (ora karuwan) meniru teknik
serupa di film 300-nya Zack Snyder,
namun dalam kadar yang jauh lebih ora umum lagi.
Darah selalu jadi suguhan rutin
tiap episode. Tak hanya itu, adegan sebrutal apa pun ditampakkan “apa adanya”
tanpa tedeng aling-aling. Maka kita akan melihat kaki dan tangan putus, kepala
terpenggal menggelinding, leher digorok (secara extreme close up), dan bahkan ada juga tubuh yang dibelah
vertikal dari kepala sampai perut.
Yang lemah jantung dan ciut nyali
amat disarankan untuk menjauhi Spartacus.
Lebih baik nonton drama Korea tempat kumpulnya anak-anak kiyut saling patah hati.
Vulgarisme juga ada di sisi adegan-adegan nudity,
yang juga dipaparkan apa adanya (mumpung tayangnya di TV kabel). Alat genitalia,
terutama milik cowok, bertebaran tiada henti. Untung pengadeganannya tetap
artistik dan tak terjebak jadi ala film bokep.
Keseluruhan syuting Spartacus dikerjakan di Selandia Baru.
Oleh karenanya sebagian besar para pemeran berasal dari Selandia Baru dan
Australia. Salah satunya adalah Lucy Lawless, pemeran Xena di serial Xena: The Warrior Princess yang main di SCTV tahun 1990-an lalu (saat
stasiun-stasiun TV kita masih cerdas dan belum terjebak sinetron & FTV).
Di Spartacus, ia berperan sebagai Lucretia, istri Batiatus. Yang bikin
aku heran, setelah lewat hampir dua dekade dari era Xena, Lucy masih tetap oke
dan kinclong. Sementara Elizabeth Shue yang manis di film The Saint bareng Val Kilmer
sudah kelihatan amat sepuh di serial CSI:
Crime Scene Investigation.
Sebagaimana lazimnya serial-serial
buatan Hollywood, Spartacus juga kuat
di penulisan. Konfliknya njelimet dan sangat berliku. Dan tiap tokoh muncul dengan
latar belakang dan motivasi yang kuat, sehingga apa pun tindakan yang
dilakukan, penonton mau tak mau akan memahami alasan-alasannya. Kita tahu mengapa
Batiatus sangat ambisius dan haus darah, karena ia diremehkan para politikus sebagai
tak layak meniti karier sebagai negarawan dan disarankan lebih baik balik ke
takdirnya sebagai tukang urus gladiator.
Selain itu, penggambaran yang teliti
dan lengkap membuat kita sedikit banyak mendapatkan gambaran jelas mengenai perikehidupan
orang Romawi pada masanya. Lalu kita akan bersyukur bahwa kita sudah tak lagi
hidup di zaman itu, kala perbudakan masih ada dan nyawa bisa melayang kapan
saja. Saat dunia entertainment dan sport belum ada, warga mencari hiburan dengan
nonton orang-orang saling bunuh di arena.
Andai yang semacam itu masih ada
zaman sekarang ini, seksi sosial di RT/RW pasti akan sibuk terus karena tiap
hari ada saja acara sripah di semua kampung. Mungkin bahkan di RT yang sama
bisa ada dua hingga tiga berita lelayu sekaligus pada hari yang sama.
Satu hal yang nampaknya belum pas
adalah kemunculan para wanita di arena untuk nonton pertarungan gladiator. Di seksi
Goofs (kesalahan) film Gladiator (2000) yang menang Oscar tahun
itu disebut, kaum Hawa dilarang ikutan nonton gladiator karena dikhawatirkan
bisa mengganggu konsentrasi para petarung. Itu berdasar riset sejarah.
Hal yang sama juga diulang di Spartacus. Para cewek ikut nonton, baik
di tribun VVIP maupun di tribun bagi warga biasa. Para penonton umum bahkan selalu
lupa menutup dada masing-masing saat bersorak-sorak mensuport (kegiatan
sampingan yang menyenangkan pas adegan-adegan pertarungan, kalau jenuh lihat
darah muncrat dan organ tubuh mencelat putus!).
Mana yang benar, kita serahkan
saja pada para pakar sejarah Romawi Kuno untuk memberi pencerahan. Yang jelas Spartacus membuka mata kita bahwa, sejelek-jeleknya
peradaban kapitalistik manusia Bumi saat ini, ada perkembangan dan perbedaan
yang signifikan dan substantif dalam hal-hal nilai-nilai humanisme universal.
Make
love, not war.
Memukau👏👏
BalasHapusReview yang bagus dan mampu mengangkat nilai nilai sosial dari sebuah film bagi kehidupan zaman ini