Umumnya, sebuah cerita pasti
punya tokoh utama yang menjadi tempat pembaca atau penonton mengidentifikasikan
diri. Lebih efektif bila sang tokoh utama sangat bertipe hero: cantik/ganteng,
alim, penuh kata-kata inspiratif, dan apa pun yang dilakukannya berbuah emas.
Maka akan jadi aneh ketika muncul satu cerita yang tak punya tokoh utama.
Itu kulihat saat nonton serial Game of Thrones (GoT), yang diangkat dari seri buku fantasi karangan George RR
Martin (para penulis genre fantasi pasti pakai nama yang ada singkatannya: JK
Rowling, JRR Tolkien, CS Lewis, Wiwien WC Wintarto!). Awalnya kupikir tokoh sentral
serial ini adalah Lord Eddard “Ned” Stark (Sean Bean), tapi ternyata bukan.
Ned Stark yang merupakan Adipati
Winterfell, salah satu dari tujuh kerajaan di Westeros di bawah pimpinan Raja
Robert Baratheon (Mark Addy) di King’s Landing, memang mendominasi cerita musim
pertama. Masuk musim kedua, pusat cerita bukan hanya pindah ke karakter lain, melainkan
bahkan sama sekali tak ada.
Tiap tokoh punya kepentingan
masing-masing yang sama kuat di cerita. Sejak Tyrion Lannister (Peter Dinklage),
Raja Robb Stark (Richard Madden), Theon Greyjoy (Alfie Allen), hingga Cersei
Lannister (Lena Headey), Raja Stannis Baratheon (Stephen Dillane), dan juga Daenerys
Targaryen (Emilia Clarke). Bahkan Jamie Lannister (Nikolaj Coster-Waldau) yang awalnya
nyengit pun punya urgensi juga mengapa ia ada.
Ini membuat kelakuan tiap tokoh,
bahkan yang paling jahat dan keji sekalipun (seperti saat Theon menduduki Winterfell
dengan kekerasan), menjadi bisa dipahami jika menilik latar belakang dan
motivasinya. GoT pun jadi tak punya
protagonis dan antagonis. Semua setara, seperti kita semua yang tak ada lakon
tak ada bandit dalam kehidupan nyata—hanya sekadar menjalani berdasar aneka
macam kepentingan.
GoT
berkisah mengenai pertentangan politik antarpenguasa di benua Westeros yang
dihuni tujuh kerajaan besar. Pada awal cerita, tujuh kerajaan dipimpin oleh
Maharaja Robert Baratheon dengan sahabatnya, Ned Stark, diangkat sebagai Tangan
Kanan Raja alias pembantu dan penasihat raja.
Setelah Robert meninggal dan
Tahta Besi jatuh ke tangan Putra Mahkota, Raja Joffrey Baratheon (Jack Gleeson)
yang kejam, para penguasa negara-negara bawahan memerdekakan diri dan sama-sama
memproklamirkan diri masing-masing sebagai raja. Di antaranya adalah Robb Stark
(anak Ned yang mewarisi kedudukan sebagai Adipati Winterfell), Stannis, dan
juga Renly Baratheon (adik Robert dan Stannis).
Semua beramai-ramai mengangkat senjata
untuk merebut Tahta Besi di King’s Landing dari kekuasaan Trah Lannister yang
korup dan haus darah. Bahkan termasuk juga Daenerys, pewaris tahta dari raja sebelumnya
di King’s Landing, Aerys dari Trah Targaryen yang dijuluki Raja Gila.
Serial GoT mulai tayang di HBO
tanggal 17 April 2011 dengan tiap musim cukup berjumlah 10 episode. Musim terbaru,
yaitu yang keempat, tayang periode 6 April hingga 6 Juni 2014 lalu. Saat ini,
syuting musim kelima sedang berjalan, yang akan premiere bulan April tahun depan. Total sudah ada enam musim yang
siap tayang. Dan melihat antusiasme pemirsa, sinetron satu ini masih akan terus
berlanjut sepanjang cerita aslinya masih terus ditulis.
Novelnya sendiri memang memuat
luar biasa banyak tokoh dan tak ada satu pun yang dijadikan pusat cerita. Tak seperti
Harry Potter di serialnya JK Rowling, Frodo Baggins di The Lord of the Ring, atau duet Bella dan Edward di serial Twilight, tiap tokoh GoT adalah lakon dalam alur cerita
masing-masing. Dan terserah pemirsa akan memilih yang mana sebagai lakon pilihan
pribadi.
Sebagaimana pilihan banyak fans GoT lain di seluruh dunia, karakter
favoritku adalah si cebol Tyrion. Dia ini anak bungsu Adipati Casterly Rock,
Tywin Lannister (Charles Dance). Tyrion tersisih dan dianaktirikan karena
postur tubuhnya, yang bikin dia nggak bisa latihan bela diri. Selain itu,
ibunya meninggal saat melahirkannya. Itu menjadikannya sangat dibenci ayah dan
kakak-kakaknya, yang menganggapnya sebagai aib keluarga sekaligus pembawa bencana.
Karena tak terdidik, Tyrion gentayangan
menghabiskan uang keluarganya hinggap dari satu pelacur ke pelacur yang lain.
Ia tak menguasai skill apa pun, terutama bela diri. Sebagai gantinya, agar bisa
survive di dunia yang sangat telengas, ia mengembangkan kecerdasan otaknya
untuk bicara, menghasut, mengancam, dan mengadu domba.
Tyrion memang bukan tipikal ala tokoh-tokoh
drama Indonesia yang bersih, suci, heroik, “membela kebenaran dan keadilan”, serta
penuh petatah-petitih. Ia melakukan segalanya hanya berdasar insting untuk survive. Namun berkat kecerdasannya, ia
bisa mengerjakan apa pun secara efektif.
Dan pada saat-saat tertentu, keahliannya
itu bisa menjadi perbuatan baik, seperti saat ia menjabat Tangan Kanan Raja dan
berhasil mengerem aneka macam kelakuan minus Raja Joffrey dan ibunya. Pada saat
yang lain, well, he’s a total a**hole!
Nonton GoT adalah sebuah pengalaman emosional yang sangat berbeda.
Biasanya, perasaan kita akan sama terus terhadap para tokoh—selalu mensupport
tokoh utama dan membenci siapapun yang melawannya. Di sini, emosi kita dibikin kayak
naik roller coaster. Pada satu karakter yang sama, kita bisa dibikin bersimpati,
ikut sedih, bertanya-tanya, berbalik jadi benci, lalu kasihan dan mendukung perjuangannya.
Semua tak terlepas dari keampuhan
George RR Martin dalam mendongeng. Sebagai sebuah cerita fantasi, GoT tak terlalu bertumpu pada kemunculan
makhluk-makhluk mitologi dan khayalan. Tak ada elf, tak ada orc, tak ada centaur,
tak ada dewa-dewa. Mostly just human, yang terkotak-kotak dalam banyak trah dan
faksi dan untuk itu saling bunuh plus saling mengkhianati.
Makhluk nonmanusia hanya muncul sesekali
hingga musim kedua, yaitu naga piaraan Daenerys, iblis anak Melisandre yang membunuh
Renly, dan makhluk raksasa pemalu di klan Wildings. Hampir keseluruhan konflik
pun terjadi antarmanusia, yang sama saja dengan konflik politik-kekuasaan di
dunia nyata.
Khusus untuk versi sinetronnya,
daya tarik yang lain tentu berada pada sisi nude
scene-nya yang berlimpah. Hampir setiap
episode pasti ada—nggak cowok nggak cewek. Ini nggak aneh, karena GoT tayang di TV kabel (HBO; di Indonesia di HBO Signature),
dan bukan di TV terrestrial kayak NBC, ABC,
atau Fox. Meski begitu, kadar ke-nude-annya masih kalah dari Spartacus dan Da Vinci’s Demons yang mengumbar alat-alat genitalia
secara bebas.
Secara umum, GoT ciamik dalam segala segi sebagai sebuah tontonan. Rating-nya oke.
Para kritikus pun penuh apresiasi. Menyaksikannya, aku jadi ingat lagi kalimat
petuah Profesor JE Sahetapy di ILC, “Politic is not just about power &
domination, but also about truth & justice”.
Seharusnya begitu, tapi orang
kadang tidak ambil pusing soal truth
& justice itu.
0 komentar:
Posting Komentar