scribo ergo sum

Kamis, 04 September 2014

Tanpa Tokoh Sentral

12:29 Posted by wiwien wintarto No comments

Umumnya, sebuah cerita pasti punya tokoh utama yang menjadi tempat pembaca atau penonton mengidentifikasikan diri. Lebih efektif bila sang tokoh utama sangat bertipe hero: cantik/ganteng, alim, penuh kata-kata inspiratif, dan apa pun yang dilakukannya berbuah emas. Maka akan jadi aneh ketika muncul satu cerita yang tak punya tokoh utama.
Itu kulihat saat nonton serial Game of Thrones (GoT), yang diangkat dari seri buku fantasi karangan George RR Martin (para penulis genre fantasi pasti pakai nama yang ada singkatannya: JK Rowling, JRR Tolkien, CS Lewis, Wiwien WC Wintarto!). Awalnya kupikir tokoh sentral serial ini adalah Lord Eddard “Ned” Stark (Sean Bean), tapi ternyata bukan.

Ned Stark yang merupakan Adipati Winterfell, salah satu dari tujuh kerajaan di Westeros di bawah pimpinan Raja Robert Baratheon (Mark Addy) di King’s Landing, memang mendominasi cerita musim pertama. Masuk musim kedua, pusat cerita bukan hanya pindah ke karakter lain, melainkan bahkan sama sekali tak ada.
Tiap tokoh punya kepentingan masing-masing yang sama kuat di cerita. Sejak Tyrion Lannister (Peter Dinklage), Raja Robb Stark (Richard Madden), Theon Greyjoy (Alfie Allen), hingga Cersei Lannister (Lena Headey), Raja Stannis Baratheon (Stephen Dillane), dan juga Daenerys Targaryen (Emilia Clarke). Bahkan Jamie Lannister (Nikolaj Coster-Waldau) yang awalnya nyengit pun punya urgensi juga mengapa ia ada.
Ini membuat kelakuan tiap tokoh, bahkan yang paling jahat dan keji sekalipun (seperti saat Theon menduduki Winterfell dengan kekerasan), menjadi bisa dipahami jika menilik latar belakang dan motivasinya. GoT pun jadi tak punya protagonis dan antagonis. Semua setara, seperti kita semua yang tak ada lakon tak ada bandit dalam kehidupan nyata—hanya sekadar menjalani berdasar aneka macam kepentingan.
GoT berkisah mengenai pertentangan politik antarpenguasa di benua Westeros yang dihuni tujuh kerajaan besar. Pada awal cerita, tujuh kerajaan dipimpin oleh Maharaja Robert Baratheon dengan sahabatnya, Ned Stark, diangkat sebagai Tangan Kanan Raja alias pembantu dan penasihat raja.
Setelah Robert meninggal dan Tahta Besi jatuh ke tangan Putra Mahkota, Raja Joffrey Baratheon (Jack Gleeson) yang kejam, para penguasa negara-negara bawahan memerdekakan diri dan sama-sama memproklamirkan diri masing-masing sebagai raja. Di antaranya adalah Robb Stark (anak Ned yang mewarisi kedudukan sebagai Adipati Winterfell), Stannis, dan juga Renly Baratheon (adik Robert dan Stannis).
Semua beramai-ramai mengangkat senjata untuk merebut Tahta Besi di King’s Landing dari kekuasaan Trah Lannister yang korup dan haus darah. Bahkan termasuk juga Daenerys, pewaris tahta dari raja sebelumnya di King’s Landing, Aerys dari Trah Targaryen yang dijuluki Raja Gila.
Serial GoT mulai tayang di HBO tanggal 17 April 2011 dengan tiap musim cukup berjumlah 10 episode. Musim terbaru, yaitu yang keempat, tayang periode 6 April hingga 6 Juni 2014 lalu. Saat ini, syuting musim kelima sedang berjalan, yang akan premiere bulan April tahun depan. Total sudah ada enam musim yang siap tayang. Dan melihat antusiasme pemirsa, sinetron satu ini masih akan terus berlanjut sepanjang cerita aslinya masih terus ditulis.
Novelnya sendiri memang memuat luar biasa banyak tokoh dan tak ada satu pun yang dijadikan pusat cerita. Tak seperti Harry Potter di serialnya JK Rowling, Frodo Baggins di The Lord of the Ring, atau duet Bella dan Edward di serial Twilight, tiap tokoh GoT adalah lakon dalam alur cerita masing-masing. Dan terserah pemirsa akan memilih yang mana sebagai lakon pilihan pribadi.
Sebagaimana pilihan banyak fans GoT lain di seluruh dunia, karakter favoritku adalah si cebol Tyrion. Dia ini anak bungsu Adipati Casterly Rock, Tywin Lannister (Charles Dance). Tyrion tersisih dan dianaktirikan karena postur tubuhnya, yang bikin dia nggak bisa latihan bela diri. Selain itu, ibunya meninggal saat melahirkannya. Itu menjadikannya sangat dibenci ayah dan kakak-kakaknya, yang menganggapnya sebagai aib keluarga sekaligus pembawa bencana.
Karena tak terdidik, Tyrion gentayangan menghabiskan uang keluarganya hinggap dari satu pelacur ke pelacur yang lain. Ia tak menguasai skill apa pun, terutama bela diri. Sebagai gantinya, agar bisa survive di dunia yang sangat telengas, ia mengembangkan kecerdasan otaknya untuk bicara, menghasut, mengancam, dan mengadu domba.
Tyrion memang bukan tipikal ala tokoh-tokoh drama Indonesia yang bersih, suci, heroik, “membela kebenaran dan keadilan”, serta penuh petatah-petitih. Ia melakukan segalanya hanya berdasar insting untuk survive. Namun berkat kecerdasannya, ia bisa mengerjakan apa pun secara efektif.
Dan pada saat-saat tertentu, keahliannya itu bisa menjadi perbuatan baik, seperti saat ia menjabat Tangan Kanan Raja dan berhasil mengerem aneka macam kelakuan minus Raja Joffrey dan ibunya. Pada saat yang lain, well, he’s a total a**hole!
Nonton GoT adalah sebuah pengalaman emosional yang sangat berbeda. Biasanya, perasaan kita akan sama terus terhadap para tokoh—selalu mensupport tokoh utama dan membenci siapapun yang melawannya. Di sini, emosi kita dibikin kayak naik roller coaster. Pada satu karakter yang sama, kita bisa dibikin bersimpati, ikut sedih, bertanya-tanya, berbalik jadi benci, lalu kasihan dan mendukung perjuangannya.
Semua tak terlepas dari keampuhan George RR Martin dalam mendongeng. Sebagai sebuah cerita fantasi, GoT tak terlalu bertumpu pada kemunculan makhluk-makhluk mitologi dan khayalan. Tak ada elf, tak ada orc, tak ada centaur, tak ada dewa-dewa. Mostly just human, yang terkotak-kotak dalam banyak trah dan faksi dan untuk itu saling bunuh plus saling mengkhianati.
Makhluk nonmanusia hanya muncul sesekali hingga musim kedua, yaitu naga piaraan Daenerys, iblis anak Melisandre yang membunuh Renly, dan makhluk raksasa pemalu di klan Wildings. Hampir keseluruhan konflik pun terjadi antarmanusia, yang sama saja dengan konflik politik-kekuasaan di dunia nyata.
Khusus untuk versi sinetronnya, daya tarik yang lain tentu berada pada sisi nude scene-nya yang berlimpah. Hampir setiap episode pasti ada—nggak cowok nggak cewek. Ini nggak aneh, karena GoT tayang di TV kabel (HBO; di Indonesia di HBO Signature), dan bukan di TV terrestrial kayak NBC, ABC, atau Fox. Meski begitu, kadar ke-nude-annya masih kalah dari Spartacus dan Da Vinci’s Demons yang mengumbar alat-alat genitalia secara bebas.
Secara umum, GoT ciamik dalam segala segi sebagai sebuah tontonan. Rating-nya oke. Para kritikus pun penuh apresiasi. Menyaksikannya, aku jadi ingat lagi kalimat petuah Profesor JE Sahetapy di ILC, “Politic is not just about power & domination, but also about truth & justice”.

Seharusnya begitu, tapi orang kadang tidak ambil pusing soal truth & justice itu.

0 komentar:

Posting Komentar