Apa yang Anda
lakukan jika menyimpan sebuah rahasia yang luar biasa besar? Apa yang akan Anda
lakukan jika orang yang Anda sayangi menyimpan rahasia yang bisa mengubah
segalanya?
Rahasia. Itulah
kata kunci dalam novel kesatulusinku ini. Tiap orang punya sisi gelap, sebaik
apa pun dia di mata masyarakat. Pepatah yang mengatakan bahwa “tak ada gading
yang tak retak” bukanlah isapan jempol. Ini dunia nyata.
Manusia hero sempurna
hanya ada dalm novel-novel inspiratif. Kita—di dunia nyata—harus selalu siap
untuk berhadapan dengan sisi-sisi gelap yang meresahkan dan tak terduga.
The Supper
Club berkisah tentang Ciara Rahmamurti, gadis desa
dari Klaten yang bekerja di metropolitan Semarang sebagai sekretaris manajer
HRD di perusahaan jaringan telekomunikasi Helman Communications (anak buahnya
Wisnu Megantoro!). Ia cantik, supel, ramah, tak membedakan kawan, sehingga
disukai banyak orang (baca: cowok) dan punya lingkup pergaaulan yang sangat
luas.
Ciara ditaksir
Fendy yang ketemu kebetulan di mal, Sena yang managing director perusahaan
periklanan besar, dan Ganjar yang datang dari Jepara untuk melamar kerja
sebagai satpam di Helman Comms. Belakangan ketahuan bahwa Pak Nuri, sopir taksi
langganan Ciara yang tak lain adalah paman Ganjar, juga jatuh cinta padanya.
Pilihan akhirnya
jatuh pada Sena yang ganteng dan macho—plus kaya raya. Saat ia sibuk meyakinkan
diri sendiri bahwa ia suka Sena betul-betul karena kepribadian dan bukan
“kepribadian” (rumah pribadi, mobil pribadi, sopir pribadi, etc.), masalah lain
muncul. Ia punya feeling yang sangat kuat bahwa ia tak begitu disukai Bu
Alamsyah, sang camer.
Pada saat yang
sama, rahasia besar yang ia simpan bersama chef Danny soal klub kuliner mereka,
The Supper Club, mulai memakan korban. Itu diawali dengan “kecelakaan tak
perlu” saat Danny berkenalan dengan Erfi, teman kos Ciara, dan saling jatuh
cinta. Akankah Sena ikut jadi korban? Bagaimana pula peran Toga, kawan sekantor
Ciara, dalam persoalan ini?
Hal penting dari
TSC adalah bahwa selain naskah diedit oleh Didiet Prihastuti dari GPU, ada
editor tamu dalam bentuk Yuliyono alias Ijul, boss akun @fiksimetropop di Twitter yang fenomenal itu. Selama ini Ijul
selalu kuminta untuk mengkritisi novel-novelku di blognya. Kali ini ia terlibat
langsung, yang mana merupakan suatu keistimewaan tersendiri.
TSC kutulis dengan eksperimen soal “genre yang berubah” dalam cerita
yang sama. Awalnya seperti cerita roman, tapi belakangan bakal jadi bukan roman
sama sekali. Inspirasinya muncul saat tujuh tahun lalu aku diminta cerpenis
Budi Maryono AKA Nora Umres untuk menulis resensi film di Edisi Minggu Suara
Merdeka, salah satunya adalah film Pesan dari Surga.
Film itu
bergenre roman remaja biasa, tapi di penghujung cerita, genre-nya ujug-ujug
berubah jadi horor, misteri, dan fantasi. Pada bagian belakang, tahu-tahu para
tokoh (yang meninggal) menjelma jadi arwah dan muncul kembali dari alam
kelanggengan untuk memberi pesan pada yang masih hidup.
Belokan itu
mengagetkan karena tak sejak awal penonton dikasih clue atau tanda-tanda
bahwa itu merupakan sebuah cerita misteri-fantasi (sepertinya itu karena
ketidaktahuan, bukan karena didesain seperti tipuan maut di novel Pembunuhan
atas Roger Ackroyd-nya Agatha Christie!).
Ilham lain
datang dari Roger Ackroyd itu—plus pada zaman sekarang tahu-tahu ada serial The
Blacklist dan Hannibal yang spirit ceritanya sama persis—yaitu tentang
tokoh utama yang tidak seperti pada umumnya tokoh utama yang serba sempurna,
heroik, cemerlang, dan memenangi apa yang diimpikan.
Ciara Rahmamurti
tidak seperti itu. Dia tak seperti Daniarni Kusumaningrum, Dewi Eriandari,
Farah Perdana, serta para tokoh utama lain di novel-novelku sebelumnya. Pembaca
yang terbiasa dengan tokoh protagonis hero plus happy ending dijamin
bakal terkenyut. Happy-nya tetep happy, tapi tidak seperti pada
umumnya happy ending. Buktikan sendiri keampuhannya!
Seperti Say
No to Love (2007), format orisinal TSC kupakai untuk Sayembara
Cerber Femina, sekitar tahun 2008, pas aku masih di Majalah Gradasi bareng
sastrawan Handry TM. Karena gagal menang, cerita asli setebal 40-an halaman
lalu kubikin extended version-nya jadi novel setebal ini.
Dan mirip Grasshopper
(2010), yang ini sebelumnya juga pernah kukirim ke penerbit lain dan ditolak.
Hal itu tidaklah mengagetkanku, sebab TSC memang kumaksudkan sebagai
proyek eksperimental. Ini sama sekali bukan jenis cerita yang masuk dua genre comfort
zone-ku selama ini, yaitu teenlit dan metropop.
Sebagaimana
sudah sering kuungkap, aku tidak termasuk dalam jenis pengarang yang “delapan
buku nulis hal yang sama terus-menerus”. Aku kagum pada dunia sinetron Amerika
yang selalu berani menghadirkan hal-hal baru dan berbeda. Juga pada Arswendo
dan Seno Gumira yang bisa menulis cerita apa saja. Dan itu kuwujudkan dalam
sejarah bookografiku sejauh ini.
Sejak novel
ketiga (The Rain Within; 2005), aku terus gelisah mencoba macam-macam
hal, baik dalam tema cerita, karakter, maupun teknik nulis. Dari sepakbola,
band indie, wartawan majalah sekolah, komedi romantis, thriller-misteri
badminton, hingga full horror, komedi soal grup dagelan, dan kemudian kupasan
sinetron.
TSC adalah bagian penting dari proses evolusi itu, terlebih karena yang
ini sebenarnya sudah jauh berbeda dari kelaziman sebuah metropop. Aku
memprediksi para pencinta metropop bakalan resah membaca buku ini. Pertama,
unsur ke-metropop-annya dalam hal happy-ending-sweet-romance sudah tak
ada lagi. Dan kedua, ini juga sudah keluar dari kebiasaanku untuk menghadirkan
cerita dan tokoh-tokoh yang down-to-Earth serta “nampak nyata” seperti
dalam 11 novel sebelumnya.
Konsekuensinya
jelas. Pembaca berkecenderungan untuk selalu terkejut dan tak merasa familiar
pada setiap novel. Mirip penyanyi yang di album pertama nyanyi swing jazz, lalu
album kedua jazz rock, acid jazz pada album ketiga, dan album keempat malah
jazz campursari bossas boso Jowo. Bagiku, pekerjaan sebagai penulis adalah
proses belajar, bukan semata soal ke-bestseller-an, tumpukan testimoni,
atau urusan mengumpulkan fanbase.
TSC adalah persembahan bagi mereka-mereka yang selalu siap
mengantisipasi dan menerima hal-hal baru dalam hidup, karena aku sendiri juga
tak tahu apa yang akan kutulis dalam buku berikut. Bisa soal polisi, agen intel
yang menyamar jadi cewek ABG penggemar Jong-kook, pocong yang teraniaya, alien
dari Zeta Reticuli yang menyamar jadi pocong, atau pocong yang nggak sengaja
masuk kapal bintang dan terbawa sampai rasi bintang Orion lalu menakuti para
alien di sana...
Belom sempat membeli novel ini, Mas. Heuheuheu.
BalasHapusSalam kenal, Mas. Ouch! Shock di akhir cerita. Hehehehe. Baru kali ini baca novel yg plot-twist nya luar biasa, seperti di beberapa episode Marvel's Agents of SHIELD.
BalasHapusKukira Wiwien Wintarto itu cewek loh, eh ternyata, waktu selesai baca ceritanya dan kaget dengan plot-twist yang lumayan "menikung", baru ngeh kalo penulisnya cowok��, maaf ya mas Wiwien,
BalasHapus