Apakah MOS (dan Ospek) perlu dilaksanakan? Jawabnya semudah menjawab pertanyaan “mengapa kita jatuh ke bawah?”. Tak ada sesuatupun yang sebegitu ekstrem dan mengubah hidup dalam hal naik level sekolah dari SD ke SMP, SMP ke SMA, dan lantas SMA ke perguruan tinggi. Dalih normatif “pengenalan lingkungan sekolah/kampus”, “pengenalan cara belajar-mengajar”, dan “mengubah mentalitas X ke Y” yang digunakan dalam setiap event semacam itu hanyalah sekadar dalih.
Faktanya, sebeda apa pun model
sekolahan SD dengan perguruan tinggi, banyak hal masih tetap sama meskipun
sudah di-MOS: suka bolos, girang kalau pulang gasik atau jam kosong, fotokopi
PR, nyontek saat ujian, dan mutung kalau penembakan ditolak.
Orientasi-orientasi yang berlabel “mengubah mentalitas” hanya diperlukan jika
yang akan dimasuki benar-benar mengubah hidup dan mutlak dibutuhkan standar
kondisi-kondisi mental tertentu sebagai syarat, seperti mau masuk sekolah
pilot, Akmil, Akpol, atau ikut seleksi rekrutmen agen rahasia.
Namun seandainya MOS dan Ospek
memang harus digelar, kita harus pastikan content-nya tidak berkaitan dengan
bullying (“akting” membentak-bentak junior dan menyuruh mereka kalungan bawang
lalu mengarak mereka keliling kampung!), tapi kegiatan untuk membentuk kebersamaan
di antara para junior.
Misal seperti ini contohnya...
Kompetisi Liga
Apa yang lebih baik dari
kompetisi? Tidak ada. Di dalamnya diajarkan begitu banyak hal positif. Semangat
juang, sportivitas, kebersamaan, teamwork. Daripada urat leher senior menegang
dipakai bentak-bentak anak baru (sekaligus ngincer yang ayu-ayu!), mending
energinya dipakai untuk mengamuk di kompetisi antara tim senior versus tim anak
baru.
Kompetisi apa? Apa saja. Basket,
futsal, sepakbola, voli, ping pong, kontes nyanyi, kontes baca puisi, lomba
menulis esai, lomba nulis cerpen, kontes stand up comedy, anything! Basically,
tiga hari atau seminggu masa MOS adalah ajang adu skill lewat acara semacam
porseni. Menghadapi kompetisi ketat untuk mengalahkan tim kakak kelas, para
junior akan dipaksa bersatu dan menumbuhkan rasa kebersamaan secara cepat
(daripada dengan membuat mereka merasa senasib karena dibentak-bentak dan
disuruh mBrangkang nyebrang kali tengah malam!).
Poin kemenangan dihitung (seperti
di Formula 1 atau MotoGP). Pemenang adalah tim dengan perolehan poin terbanyak.
Tim yang kalah harus jadi panitia malam inaugurasi dan penutupan MOS pada Sabtu
malam. Fun, exciting, yet effective.
Bikin Proyek
Anak baru dibagi dalam tim-tim
kecil. Misal beranggotakan 10 orang. Bila satu kelas tersusun atas 30-an murid,
maka akan ada 3 tim di kelas bersangkutan. Mereka lalu mengambil amplop
tertutup untuk mengetahui mereka harus bikin proyek apa selama masa MOS/Ospek
berlangsung.
Proyek yang dibebankan bisa
bervariasi, sejak film pendek, album musik indie, portfolio foto-foto,
film/video company profile, film/video iklan viral, menerbitkan buku minimal
berketebalan 200 halaman, atau videoklip musik. Semua harus diserahkan dalam
bentuk jadi (misal kalau CD album musik ya lengkap dengan cover album dan video
trailer promo; otomatis mereka harus mempelajari juga teknik fotografi, desain
grafis, dan pembuatan video) pada hari terakhir MOS/Ospek.
Pemilihan kelompok dilakukan
secara acak. Pilihan jenis proyeknya juga. Tapi 1-2 anak dalam kelompok pasti
akan ada yang paling kompeten dengan bidang proyek yang harus dikerjakan. Tugas
mereka membimbing anggota lain yang belum bisa. Sedang anggota yang nggak
mudeng (misal nggak bisa nyanyi atau main musik tapi kena proyek bikin album
musik) bisa pelan-pelan belajar dari yang bisa, atau mengerjakan bidang lain
sebisanya (motret, mendesain kover).
Kebersamaan akan tumbuh dari
proses ini. Ada semangat berbagi pengetahuan, semangat membuka diri terhadap
jenis skill baru. Sedang senior bertugas jadi pembimbing dan mentor di lapangan
sambil memperkenalkan lingkungan dan fasilitas sekolah/kampus (menunjukkan cara
menggunakan lab audio visual bagi yang mengerjakan proyek berkaitan dengan
video dan film; menunjukkan perpus dan katalog buku bagi yang bikin proyek
nerbitin buku, etc.).
Fund Raising
Anak-anak baru dibagi dalam kelompok-kelompok
kecil (5-10 orang) untuk mengerjakan proyek fund raising alias pencarian dana.
Bidang fund raising bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori, misal
kewirausahaan (jual roti, jual baju secara online), seni budaya (bikin pentas
seni dengan penonton bayar Rp 5.000-10.000), atau olah raga (menggelar
pertandingan amal sepakbola, futsal, basket, badminton, dll., dengan penonton
juga harus bayar).
Untuk tiap bidang, sekolah
menggelar workshop singkat mengenai cara permodalan, proses produksi yang
efisien, cara mengelar event-event, serta cara promo dan berjualan. Narasumber
bisa guru, kakak senior yang ahli di bidang itu, atau mengambil narasumber
praktisi dari luar.
Keseluruhan dana yang terkumpul
pada akhir masa MOS/Ospek bisa dipakai sekolah untuk berbagai keperluan. Misal
untuk mendanai malam inaugurasi, untuk piknik pada akhir tahun ajaran, atau
buat baksos ke panti asuhan.
Semangat MOS/Ospek seharusnya
berada pada paradigma berpikir untuk menumbuhkan kebersamaan dan semangat
persatuan di antara junior, bukan soal menempa atau membentuk mental. Mental
apaan yang mau dibentuk? Mereka kan ABG biasa, bukannya kadet calon anggota
Kopassus yang akan bertemu musuh sungguhan di medan perang.
Dan semangat kebersamaan bisa
dibentuk lewat proses-proses panjang yang berkaitan dengan dunia kerja seperti
di atas, bukannya dengan disuruh pakai tas dari karung goni, pakai kacamata
Batman, membawa pisang dempet, atau membawa “sayap ayam enam biji kanan semua,
yang cewek kiri semua!”. Sayap ayam sekian ratus mau dipakai buat apa? Chicken
Wing Rave Party?
Menempa kebersamaan berarti juga
sekaligus dengan kakak senior, bukan malah memperruncing polarisasi
senior-junior. Itu mendidik orang untuk mendapatkan penghormatan bukan karena
hasil karya yang berguna bagi masyarakat banyak, melainkan cuman dari status.
Hormat sama senior cuman karena
dia senior adalah kultur peninggalan zaman manusia Neanderthal. Manusia modern
hormat pada orang karena dia punya rumah baca, punya 100 anak asuh, umur 16
tapi punya online shop jualan buku, atau anggota timnas sepakbola U-19.
Dan yang terpenting dalam urusan
MOS atau Ospek adalah memutus siklus dendam. Dendam kesumat zaman di-MOS
dilampiaskan pada junior angkatan-angkatan berikutnya. Satu, ini nggak
profesional. Kalau mau balas dendam, harusnya langsung pada si senior, bukan
orang lain yang nggak salah apa-apa.
Dan yang kedua, Gandhi pernah
bilang, “An eye for an eye only makes the world go blind”.
0 komentar:
Posting Komentar