scribo ergo sum

Sabtu, 17 Mei 2014

MOS yang Indah Versi WW

08:28 Posted by wiwien wintarto No comments

Apakah MOS (dan Ospek) perlu dilaksanakan? Jawabnya semudah menjawab pertanyaan “mengapa kita jatuh ke bawah?”. Tak ada sesuatupun yang sebegitu ekstrem dan mengubah hidup dalam hal naik level sekolah dari SD ke SMP, SMP ke SMA, dan lantas SMA ke perguruan tinggi. Dalih normatif “pengenalan lingkungan sekolah/kampus”, “pengenalan cara belajar-mengajar”, dan “mengubah mentalitas X ke Y” yang digunakan dalam setiap event semacam itu hanyalah sekadar dalih.
Faktanya, sebeda apa pun model sekolahan SD dengan perguruan tinggi, banyak hal masih tetap sama meskipun sudah di-MOS: suka bolos, girang kalau pulang gasik atau jam kosong, fotokopi PR, nyontek saat ujian, dan mutung kalau penembakan ditolak.
Orientasi-orientasi yang berlabel “mengubah mentalitas” hanya diperlukan jika yang akan dimasuki benar-benar mengubah hidup dan mutlak dibutuhkan standar kondisi-kondisi mental tertentu sebagai syarat, seperti mau masuk sekolah pilot, Akmil, Akpol, atau ikut seleksi rekrutmen agen rahasia.
Namun seandainya MOS dan Ospek memang harus digelar, kita harus pastikan content-nya tidak berkaitan dengan bullying (“akting” membentak-bentak junior dan menyuruh mereka kalungan bawang lalu mengarak mereka keliling kampung!), tapi kegiatan untuk membentuk kebersamaan di antara para junior.
Misal seperti ini contohnya...

Kompetisi Liga
Apa yang lebih baik dari kompetisi? Tidak ada. Di dalamnya diajarkan begitu banyak hal positif. Semangat juang, sportivitas, kebersamaan, teamwork. Daripada urat leher senior menegang dipakai bentak-bentak anak baru (sekaligus ngincer yang ayu-ayu!), mending energinya dipakai untuk mengamuk di kompetisi antara tim senior versus tim anak baru.
Kompetisi apa? Apa saja. Basket, futsal, sepakbola, voli, ping pong, kontes nyanyi, kontes baca puisi, lomba menulis esai, lomba nulis cerpen, kontes stand up comedy, anything! Basically, tiga hari atau seminggu masa MOS adalah ajang adu skill lewat acara semacam porseni. Menghadapi kompetisi ketat untuk mengalahkan tim kakak kelas, para junior akan dipaksa bersatu dan menumbuhkan rasa kebersamaan secara cepat (daripada dengan membuat mereka merasa senasib karena dibentak-bentak dan disuruh mBrangkang nyebrang kali tengah malam!).
Poin kemenangan dihitung (seperti di Formula 1 atau MotoGP). Pemenang adalah tim dengan perolehan poin terbanyak. Tim yang kalah harus jadi panitia malam inaugurasi dan penutupan MOS pada Sabtu malam. Fun, exciting, yet effective.

Bikin Proyek
Anak baru dibagi dalam tim-tim kecil. Misal beranggotakan 10 orang. Bila satu kelas tersusun atas 30-an murid, maka akan ada 3 tim di kelas bersangkutan. Mereka lalu mengambil amplop tertutup untuk mengetahui mereka harus bikin proyek apa selama masa MOS/Ospek berlangsung.
Proyek yang dibebankan bisa bervariasi, sejak film pendek, album musik indie, portfolio foto-foto, film/video company profile, film/video iklan viral, menerbitkan buku minimal berketebalan 200 halaman, atau videoklip musik. Semua harus diserahkan dalam bentuk jadi (misal kalau CD album musik ya lengkap dengan cover album dan video trailer promo; otomatis mereka harus mempelajari juga teknik fotografi, desain grafis, dan pembuatan video) pada hari terakhir MOS/Ospek.
Pemilihan kelompok dilakukan secara acak. Pilihan jenis proyeknya juga. Tapi 1-2 anak dalam kelompok pasti akan ada yang paling kompeten dengan bidang proyek yang harus dikerjakan. Tugas mereka membimbing anggota lain yang belum bisa. Sedang anggota yang nggak mudeng (misal nggak bisa nyanyi atau main musik tapi kena proyek bikin album musik) bisa pelan-pelan belajar dari yang bisa, atau mengerjakan bidang lain sebisanya (motret, mendesain kover).
Kebersamaan akan tumbuh dari proses ini. Ada semangat berbagi pengetahuan, semangat membuka diri terhadap jenis skill baru. Sedang senior bertugas jadi pembimbing dan mentor di lapangan sambil memperkenalkan lingkungan dan fasilitas sekolah/kampus (menunjukkan cara menggunakan lab audio visual bagi yang mengerjakan proyek berkaitan dengan video dan film; menunjukkan perpus dan katalog buku bagi yang bikin proyek nerbitin buku, etc.).

Fund Raising
 Anak-anak baru dibagi dalam kelompok-kelompok kecil (5-10 orang) untuk mengerjakan proyek fund raising alias pencarian dana. Bidang fund raising bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori, misal kewirausahaan (jual roti, jual baju secara online), seni budaya (bikin pentas seni dengan penonton bayar Rp 5.000-10.000), atau olah raga (menggelar pertandingan amal sepakbola, futsal, basket, badminton, dll., dengan penonton juga harus bayar).
Untuk tiap bidang, sekolah menggelar workshop singkat mengenai cara permodalan, proses produksi yang efisien, cara mengelar event-event, serta cara promo dan berjualan. Narasumber bisa guru, kakak senior yang ahli di bidang itu, atau mengambil narasumber praktisi dari luar.
Keseluruhan dana yang terkumpul pada akhir masa MOS/Ospek bisa dipakai sekolah untuk berbagai keperluan. Misal untuk mendanai malam inaugurasi, untuk piknik pada akhir tahun ajaran, atau buat baksos ke panti asuhan.

Semangat MOS/Ospek seharusnya berada pada paradigma berpikir untuk menumbuhkan kebersamaan dan semangat persatuan di antara junior, bukan soal menempa atau membentuk mental. Mental apaan yang mau dibentuk? Mereka kan ABG biasa, bukannya kadet calon anggota Kopassus yang akan bertemu musuh sungguhan di medan perang.
Dan semangat kebersamaan bisa dibentuk lewat proses-proses panjang yang berkaitan dengan dunia kerja seperti di atas, bukannya dengan disuruh pakai tas dari karung goni, pakai kacamata Batman, membawa pisang dempet, atau membawa “sayap ayam enam biji kanan semua, yang cewek kiri semua!”. Sayap ayam sekian ratus mau dipakai buat apa? Chicken Wing Rave Party?
Menempa kebersamaan berarti juga sekaligus dengan kakak senior, bukan malah memperruncing polarisasi senior-junior. Itu mendidik orang untuk mendapatkan penghormatan bukan karena hasil karya yang berguna bagi masyarakat banyak, melainkan cuman dari status.
Hormat sama senior cuman karena dia senior adalah kultur peninggalan zaman manusia Neanderthal. Manusia modern hormat pada orang karena dia punya rumah baca, punya 100 anak asuh, umur 16 tapi punya online shop jualan buku, atau anggota timnas sepakbola U-19.
Dan yang terpenting dalam urusan MOS atau Ospek adalah memutus siklus dendam. Dendam kesumat zaman di-MOS dilampiaskan pada junior angkatan-angkatan berikutnya. Satu, ini nggak profesional. Kalau mau balas dendam, harusnya langsung pada si senior, bukan orang lain yang nggak salah apa-apa.

Dan yang kedua, Gandhi pernah bilang, “An eye for an eye only makes the world go blind”.

0 komentar:

Posting Komentar