Pertanyaan: apakah hanya atlet profesional yang harus (dan berhak) menekuni cabang-cabang olah raga? Jawabannya pasti kita semua sudah tahu. Olah raga profesional baru lahir belakangan sebagai konsekuensi dari industrialisasi dan kapitalisme. Olah raganya sendiri tidak pernah dimaksudkan hanya untuk itu, melainkan di sisi kesehatan dan kebugaran fisik.
Baik untuk tujuan profesionalisme
(kerjaan; nyari penghasilan) maupun tidak, kita dianjurkan untuk berolah raga.
Dunia medis selalu mengingatkan kita tentang itu. Bahwa kemudian ketahuan bahwa
kita ternyata skillfull banget di sepakbola, badminton, ping pong, atau basket
dan lantas menjelma jadi atlet (atau pelatih) pro, itu soal lain. Tujuan dasar
kita berolah raga bukan untuk itu.
Hal yang sama berlaku untuk
kegiatan menulis. Mayoritas mutlak masyarakat berpikir bahwa menulis “is just another thing”—dikhususkan hanya
bagi para kutu buku yang ingin berkarier sebagai sastrawan. Bukan domain
publik. Yang tak berminat jadi seniman dan ingin kerja sebagai dokter,
insinyur, guru, dosen, pegawai kantoran, atau tentara dan polisi tak merasa
perlu bersentuhan dan mendalami aktivitas tulis-menulis karena memang tak ada
urgensinya.
Namun kemudian muncul banyak
penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa aktivitas menulis lebih daripada
sekadar prasyarat untuk sebuah profesi. Begitu banyak yang tercakup di situ
sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa yang bisa dilakukan menulis untuk
mental adalah identik dengan apa yang bisa dilakukan olah raga untuk fisik: kebugaran.
How come? Kita akan selidiki satu-satu...
Terapi Jiwa
Writing therapy sudah banyak dilakukan oleh para praktisi terapi
kejiwaan saat menangani pasien. Selain dengan bercerita (sambil tiduran di
sofa), pasien juga diminta untuk menuturkan curhatan mereka lewat tulisan.
Tokoh Nick Carraway (Tobey Maguire) di film The
Great Gatsby, yang diangkat dari novel F. Scott Fitzgerald, adalah
contohnya. Semua kisah soal Jay Gatsby (Leonardo Di Caprio) yang misterius tapi
mengagumkan berasal dari tulisan sesi terapinya.
Mengeluarkan unek-unek batin
lewat menulis bisa jadi jauh lebih efektif dari curhat verbal karena otak
dipaksa untuk berpikir jauh lebih runtut. Sadar atau tidak, mudeng teknik nulis
atau tidak, kita akan terkondisi untuk selalu “mencari kata-kata yang tepat”
saat menulis.
Kalau dirasa tidak pas, kita
lantas orek-orek itu tulisan lalu menggantinya dengan kalimat dan kata-kata
lain. Hal yang sama tak bisa kita lakukan lewat cara-cara verbal. Kan nggak
mungkin kata-kata yang sudah terucap ditarik balik dan dianggap nggak pernah
ada, lalu diganti omongan lain yang kita rasa jauh lebih baik.
Proses seleksi, koreksi, dan retry ini mengolahragakan otak
sebagaimana aktivitas sport mengkondisikan jantung dan pembuluh darah agar
berfungsi lebih baik. Perasaan jadi plong setelah mengungkapkan isi hati, dan
otak dilatih untuk selalu berpikir runtut dan logis.
No Rest!
Penelitian lain mengungkap,
gejala dementia (kepikunan) pada lansia terjadi karena tanpa disadari, otak
kerap mengalami proses istirahat masif dalam kehidupan sehari-hari. Begitu
pulang kerja, mandi, duduk leyeh-leyeh, nonton sinetron, ngrasani
tetangga/sodara/mantan, lalu tidur. Ditambah hari-hari libur, akumulasi jumlah
jam saat otak dan pikiran diistirahatkan bakal sangat besar.
Lalu kondisi default otak adalah idle-standby
mirip pesawat TV, yang hanya dinyalakan bila mau ditonton. Otak juga selalu
mengaso, dan baru “dinyalakan” bila sudah berangkat kerja. Itu pun kadang juga
masih belum. Nyampai kantor malah ngegosip. Dan bisa berlangsung seharian andai
hari itu bos nggak masuk atau lagi dinas luar!
Proses kepikunan bisa dicegah
sejak awal banget, misal dari umur 20-an, dengan membuat otak nggak pernah
istirahat. Yang paling simpel bisa dengan membaca (buku, bukan koran atau
majalah), mengisi TTS, atau main catur. Menulis adalah salah satu aktivitas
ringan yang efektif untuk menyibukkan otak, karena melatihnya untuk selalu
melakukan seleksi-koreksi-retry
sebagaimana yang dipakai dalam terapi kejiwaan di atas.
Antinganggur
Hal paling berat yang harus
dihadapi para pengangguran (terutama pengangguran intelektual) bukan soal
penghasilan berupa uang yang nggak eksis, melainkan ketiadaan hal untuk
dipikirkan dan dikerjakan. This could be
so depressing. Hampa. Merasa diri tanpa arti.
Menulis bisa jadi coverup
(samaran) yang bagus untuk mengatasi kondisi ini. “Siapa bilang aku
pengangguran? Aku penulis. Aku menulis, for
God's sake! Kan bukan sepenuhnya masalahku kalau tulisan-tulisanku belum
terpublikasi! Mungkin memang belum jamannya aja! Siapa tahu kalau ntar aku
meninggal, baru orang menganggap penting tulisan-tulisanku dan namaku jadi
besar mendunia! Van Gogh juga baru ngetop setelah dia nggak ada!” (mengenang
zaman susah!).
Menulis meminimalisir dan bahkan
mengeliminasi total keberadaan waktu luang yang membuat kita absolutely doing nothing except ngalamun
tentang “andai saja...”. Pepatah mengatakan, “Idle brain is Demon's lair” atau otak yang diam akan jadi tempat
syaiton bersarang. Daripada nggak ada kerjaan lalu mulai mikir soal nonton
video porno atau melempar pisang ke arah Dani Alves, mending menulis.
Dengan sebegitu krusialnya
hal-hal yang tersangkut olehnya, menulis harus kita perlakukan sama seperti
olah raga. Bukan hak eksklusif segelintir orang (kelompok penulis pro pasti tak
sampai 1% dari keseluruhan populasi negara ini), melainkan untuk semua tanpa
kecuali.
Ungkapan “mens sana in corpore sano” sudah ketinggalan zaman. Kesehatan fisik
tidak dengan serta merta berbanding lurus dengan kesehatan mental, karena
mereka adalah dua hal yang sama sekali beda. Atlet pro saja masih mungkin
berbuat curang make doping atau terlibat match-fixing,
apalagi yang berolah raga hanya untuk rekreasi.
Karena sudah beda urusan, maka
metoda untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan mental juga berbeda. Menulis
adalah salah satunya yang paling efektif dan langsung bisa dikerjakan. Just a diary away. Recreational writing, sebagaimana recreational sports, sudah cukup untuk memberi efek positif.
Apalagi kalau bisa terpeleset, atau mau memelesetkan diri, menuju professional writing.
Ranah sastra bisa membawa
kemasyhuran. Lalu masih ada dunia kerja media massa dan internet, yang bisa
memberikan stabilitas aktivitas pekerjaan dan pemasukan finansial. Dan menulis
termasuk segelintir profesi di mana “suara” benar-benar dinilai dari karya,
bukan berdasar titel, sertifikat, dan ijazah. Orang mengirim novel ke penerbit,
cerpen ke koran, liputan tempat makan ke tabloid, atau review produk di
internet tak harus melampirinya dengan ijazah dan “pengalaman minimal...” atau
“IP minimal...”, etc. Tulisannya itulah yang langsung dilihat.
Then let's write! Lalu kita akan lebih cerdas mengungkapkan isi
hati daripada sekadar puisi “aku raisopopo”. Wis wagu, kleru sisan...
The Great Gatsby is a movie? aku pikir itu nama sebuah minyak rambut lho :p
BalasHapus