Saat menikmati
karya fiksi, baik berupa cerpen, novel, maupun sinetron dan film, hal
yang paling awal kuributkan adalah soal logika. Segala sesuatu harus
mengikuti aturan hukum alam yang berlaku di dunia nyata. Ketika itu
dilanggar, kenyamanan baca dan nonton jadi hilang sama sekali. Nilai
positif apa pun yang diusungnya jadi tak berarti.
Istilah keren
untuk pelanggaran logika dalam cerita fiksi adalah plot hole.
Jenisnya ada bermacam-macam. Salah satunya yang paling kerap terlihat
adalah inkonsistensi elemen cerita. Dalam film King Kong, si Kong
mampu mendaki hingga puncak Empire State Building, yang mana membuat
dia harusnya bisa juga menek hingga puncak dinding kurungan yang
dibuat warga pribumi di pulau tempatnya tinggal (dan cerita sesudah
itu jadi nggak akan pernah ada).
Plot hole jenis
lain adalah yang berhubungan dengan realitas hidup keseharian. Ini
kerap sekali dilanggar cerita-cerita melodrama demi alasan
dramatisasi. Dalam salah satu sinetron, pengantin wanita kolaps saat
ijab kabul. Ia dilarikan ke rumah sakit dan meninggal. Saat pengantin
pria kembali ke tempat ijab kabul, para hadirin ijab masih duduk rapi
di tempat masing-masing sebagaimana saat ijab berlangsung.
Sementara itu,
sebuah novel menghadirkan cerita tentang sepasang bocah cewek-cocok
bertetangga yang bersahabat baik. Suatu saat, si cowok dan
keluarganya pindah rumah ke tempat lain namun masih di area DKI
Jakarta. Karena pindah rumah, ia dan sahabatnya kehilangan kontak
total selama 10 tahun, dan baru ketemu lagi saat si cewek masuk SMA
yang sama dengan si cowok.
Plot hole biasanya
muncul karena ketidaktahuan penulis. Aku sendiri pernah mengalaminya.
Di novel Say No to Love (2007), Dewi diceritakan langsung diajak
Wisnu dinas luar negeri ke Hong Kong, Belgia, dan AS meski belum ada
dua minggu jadi sekretaris. Sepertinya nggak ada yang salah, tapi
ternyata tidak termungkinkan terjadi.
Mbak Editor ngasih
tahu, ketika itu orang Indonesia sedang diawasi ketat oleh Amerika
gara-gara berbagai insiden pemboman. Mengajukan visa kunjungan ke AS
seperti ikut audisi Idol, belum tentu lolos. Udah gitu, proses
nunggunya lama. Bisa sampai satu bulan. Hal yang sama berlaku untuk
permohonan visa ke negara-negara Eropa. Jadi adalah mustahil Dewi
yang kerja belum ada setengah bulan udah langsung bisa melancong ke
Brussels dan New York.
Ceritanya lalu
direvisi. Bukan ke Hong Kong, Belgia, dan AS, melainkan jadi
Malaysia, Singapura, dan Hong Kong (toh pindah lokasi nggak mengubah
alur). Pertimbangan logisnya, visa kunjungan ke negara-negara Asia
bisa keluar dengan cepat. Sesama negara ASEAN bahkan bebas visa.
Cuman perlu paspor doang. Versi revisi inilah yang akhirnya jadi
final version di buku.
Tapi bahwa cerita
harus logis sesuai realitas kehidupan sehari-hari nggak lantas
membuat Star Trek atau The Hobbit jadi haram. Untuk inilah kita
mengenal apa yang dinamakan semesta logika, yaitu alam logic yang
disesuaikan dengan genre. Semesta logika cerita drama akan berbeda
dari semesta logika cerita science-fiction atau fantasi.
Sebagai contoh,
kalau ada alien tahu-tahu nongol di cerita melodrama tentang suami
yang selingkuh, ceritanya pasti langsung rusak (either yang ngarang
kenthir atau ceritanya memang komedi slapstick kayak Dude, Where's MyCar?). Namun kehadiran alien di cerita-cerita sebangsa Star Wars atau
Babylon 5 akan diterima sebagai kewajaran.
Yang terpenting
dalam situasi-situasi ketika elemen cerita nggak sesuai dengan
keabnormalam hidup adalah memberinya konstruksi logika yang utuh
untuk membuatnya masuk akal. Dan upaya pengkonstruksian itu juga
nggak harus selalu memakai apa yang benar-benar ada secara faktual di
dunia nyata.
Salah satu contoh
adalah kondisi amnesia aneh yang dialami Lucy Whitmore (Drew
Barrymore) di film 50 First Dates arahan Peter Segal. Kondisi
anterograde amnesia yang dialaminya, yaitu ingatan terputus dalam
satu hari tertentu yang terus berulang sesudah tidur, ternyata nggak
ada dalam dunia medik.
Untuk membuatnya
“logis”, penulis skenarionya (George Wing) lantas membuat sindrom
baru dalam jenis anterograde amnesia. Namanya Goldfield Syndrome. Ia
memakai barang fiktif untuk melogisasi hal yang nggak logis, tapi
upaya tersebut sudah cukup untuk membuat kondisi amnesia yang
diderita Lucy menjadi logis dalam semestanya sendiri.
Ini memberi kita
pemahaman bahwa hanya karena fiksi yang baik adalah yang mampu
menjadi dan kita jadikan refleksi kehidupan, tidak lantas berarti
logika dalam fiksi adalah benda mati yang sekadar hanya meniru logika
kehidupan nyata. Logika dalam fiksi adalah benda hidup yang mempunyai
dunianya sendiri, dan pembaca serta penonton pun sebenarnya memahami
logika dalam bacaan dan tontonan cukup hanya sebagai logika dalam
bacaan dan tontonan, bukan logika hidup yang di-copy-paste ke dalam
cerita.
Kita kenal adanya
suatu asas dalam fiksi yang disebut suspension of disbelief. Asas ini
berarti bahwa andai penulis bisa menanamkan nilai-nilai kemanusiaan
(human interest) dan hakikat dunia nyata ke dalam cerita, maka
pembaca akan menunda penilaian objektifnya mengenai kesahihan logis
cerita bersangkutan.
Dalam bahasa yang
lebih mudah, saat baca buku atau nonton film, alam bawah sadar kita
sudah duluan ngasih tahu bahwa itu hanyalah cerita fiksi. Jadi kalau
ada elemen-elemen tertentu yang nggak cocok dengan kelaziman dunia
nyata, kita pun sebenarnya nggak terlalu mempersoalkannya.
Sebagai contoh,
kita nggak pernah protes kenapa Rambo nggak pernah kehabisan peluru
dan selalu luput dari bidikan senapan mesin semua musuhnya. Dan nggak
terasa janggal saat dua tentara Belanda ngomong antarsesama mereka
sendiri pakai Bahasa Indonesia (meski dengan logat dilondo-londokan)
dalam film atau sinetron bertema perang kemerdekaan tahun 1947-1949.
Namun ini nggak
lantas berarti bahwa kita bisa semau-maunya mengolah logika dalam
cerita sekehendak kita sendiri. Meski bergantung kecerdasan dan
kekritisan tiap pembaca/penonton, suspension of disbelief berlaku
dalam teritori-teritori logika yang sudah tak mungkin lagi dimainkan
dalam ranah fiksi.
Serial CSI: Crime Scene Investigation, misalnya, nggak akan terwujud normal andai tiap
unsurnya dipaksakan sama persis dengan apa yang ada di alam fana.
Sebab analisa forensik banyak item petunjuk kejahatan bisa makan
waktu panjang. Nggak hanya jam dan hari namun juga pekan dan bulan.
Kalau realitas diikuti, satu episode CSI bisa berlangsung dalam
durasi setting waktu yang sangat lama, sedang laju cerita diharuskan
selalu dalam tempo cepat jam demi jam.
Maka semua analisa
berlangsung kilat. Entah itu tes darah, tes DNA, pencarian sidik
jari, ataupun pelacakan jejak kandungan elemen-elemen kimia dalam
semua petunjuk yang ditemukan di TKP. Dan dimunculkan juga banyak
peranti teknologi canggih (yang, who knows, bisa aja sebagian besar
fiktif, mirip Goldfield Syndrome itu tadi) untuk mempermudah analisis
sehingga upaya face recognition lewat rekaman kamera CCTV dari
database berjumlah jutaan item bisa rampung tak sampai 30 detik!
Samuel Taylor Coleridge |
Sebagai
konsekuensinya, suspension of disbelief dalam serial ini diimbangi
dengan detail data dan fakta yang luar biasa. Semua hal yang masih
bisa dimainkan secara logis diberikan kedalaman detail yang
mengagumkan, sejak dari anatomi tubuh yang tertembus peluru,
kandungan zat kimia dan penggunaannya, hingga istilah-istilah teknis
kepolisian dan aksi-reaksi tiap tokohnya secara psikologis. Ini tentu
tak mungkin terwujud tanpa riset yang mendalam.
Sebagai pengarang,
sebenarnya sangat mengasyikkan selalu ribut soal logika cerita. Itu
bikin kita terus mengejar kedangkalan pengetahuan, lalu memainkannya
sesuai asas suspension of disbelief, yang kali pertama dicetuskan
oleh penyair Inggris, Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) pada tahun
1817.
Dan dampak
akhirnya, kita juga terdorong untuk selalu menyikapi riak kehidupan
secara runtut dan logis. Kalau ada masalah ya dipikirkan jalan
keluarnya, bukan malah mengangkat fentung...
nice!!!
BalasHapus