scribo ergo sum

Senin, 17 Maret 2014

Plot Hole

09:19 Posted by wiwien wintarto 1 comment

Saat menikmati karya fiksi, baik berupa cerpen, novel, maupun sinetron dan film, hal yang paling awal kuributkan adalah soal logika. Segala sesuatu harus mengikuti aturan hukum alam yang berlaku di dunia nyata. Ketika itu dilanggar, kenyamanan baca dan nonton jadi hilang sama sekali. Nilai positif apa pun yang diusungnya jadi tak berarti.
Istilah keren untuk pelanggaran logika dalam cerita fiksi adalah plot hole. Jenisnya ada bermacam-macam. Salah satunya yang paling kerap terlihat adalah inkonsistensi elemen cerita. Dalam film King Kong, si Kong mampu mendaki hingga puncak Empire State Building, yang mana membuat dia harusnya bisa juga menek hingga puncak dinding kurungan yang dibuat warga pribumi di pulau tempatnya tinggal (dan cerita sesudah itu jadi nggak akan pernah ada).
Plot hole jenis lain adalah yang berhubungan dengan realitas hidup keseharian. Ini kerap sekali dilanggar cerita-cerita melodrama demi alasan dramatisasi. Dalam salah satu sinetron, pengantin wanita kolaps saat ijab kabul. Ia dilarikan ke rumah sakit dan meninggal. Saat pengantin pria kembali ke tempat ijab kabul, para hadirin ijab masih duduk rapi di tempat masing-masing sebagaimana saat ijab berlangsung.
Sementara itu, sebuah novel menghadirkan cerita tentang sepasang bocah cewek-cocok bertetangga yang bersahabat baik. Suatu saat, si cowok dan keluarganya pindah rumah ke tempat lain namun masih di area DKI Jakarta. Karena pindah rumah, ia dan sahabatnya kehilangan kontak total selama 10 tahun, dan baru ketemu lagi saat si cewek masuk SMA yang sama dengan si cowok.
Plot hole biasanya muncul karena ketidaktahuan penulis. Aku sendiri pernah mengalaminya. Di novel Say No to Love (2007), Dewi diceritakan langsung diajak Wisnu dinas luar negeri ke Hong Kong, Belgia, dan AS meski belum ada dua minggu jadi sekretaris. Sepertinya nggak ada yang salah, tapi ternyata tidak termungkinkan terjadi.
Mbak Editor ngasih tahu, ketika itu orang Indonesia sedang diawasi ketat oleh Amerika gara-gara berbagai insiden pemboman. Mengajukan visa kunjungan ke AS seperti ikut audisi Idol, belum tentu lolos. Udah gitu, proses nunggunya lama. Bisa sampai satu bulan. Hal yang sama berlaku untuk permohonan visa ke negara-negara Eropa. Jadi adalah mustahil Dewi yang kerja belum ada setengah bulan udah langsung bisa melancong ke Brussels dan New York.
Ceritanya lalu direvisi. Bukan ke Hong Kong, Belgia, dan AS, melainkan jadi Malaysia, Singapura, dan Hong Kong (toh pindah lokasi nggak mengubah alur). Pertimbangan logisnya, visa kunjungan ke negara-negara Asia bisa keluar dengan cepat. Sesama negara ASEAN bahkan bebas visa. Cuman perlu paspor doang. Versi revisi inilah yang akhirnya jadi final version di buku.
Tapi bahwa cerita harus logis sesuai realitas kehidupan sehari-hari nggak lantas membuat Star Trek atau The Hobbit jadi haram. Untuk inilah kita mengenal apa yang dinamakan semesta logika, yaitu alam logic yang disesuaikan dengan genre. Semesta logika cerita drama akan berbeda dari semesta logika cerita science-fiction atau fantasi.
Sebagai contoh, kalau ada alien tahu-tahu nongol di cerita melodrama tentang suami yang selingkuh, ceritanya pasti langsung rusak (either yang ngarang kenthir atau ceritanya memang komedi slapstick kayak Dude, Where's MyCar?). Namun kehadiran alien di cerita-cerita sebangsa Star Wars atau Babylon 5 akan diterima sebagai kewajaran.
Yang terpenting dalam situasi-situasi ketika elemen cerita nggak sesuai dengan keabnormalam hidup adalah memberinya konstruksi logika yang utuh untuk membuatnya masuk akal. Dan upaya pengkonstruksian itu juga nggak harus selalu memakai apa yang benar-benar ada secara faktual di dunia nyata.
Salah satu contoh adalah kondisi amnesia aneh yang dialami Lucy Whitmore (Drew Barrymore) di film 50 First Dates arahan Peter Segal. Kondisi anterograde amnesia yang dialaminya, yaitu ingatan terputus dalam satu hari tertentu yang terus berulang sesudah tidur, ternyata nggak ada dalam dunia medik.
Untuk membuatnya “logis”, penulis skenarionya (George Wing) lantas membuat sindrom baru dalam jenis anterograde amnesia. Namanya Goldfield Syndrome. Ia memakai barang fiktif untuk melogisasi hal yang nggak logis, tapi upaya tersebut sudah cukup untuk membuat kondisi amnesia yang diderita Lucy menjadi logis dalam semestanya sendiri.
Ini memberi kita pemahaman bahwa hanya karena fiksi yang baik adalah yang mampu menjadi dan kita jadikan refleksi kehidupan, tidak lantas berarti logika dalam fiksi adalah benda mati yang sekadar hanya meniru logika kehidupan nyata. Logika dalam fiksi adalah benda hidup yang mempunyai dunianya sendiri, dan pembaca serta penonton pun sebenarnya memahami logika dalam bacaan dan tontonan cukup hanya sebagai logika dalam bacaan dan tontonan, bukan logika hidup yang di-copy-paste ke dalam cerita.
Kita kenal adanya suatu asas dalam fiksi yang disebut suspension of disbelief. Asas ini berarti bahwa andai penulis bisa menanamkan nilai-nilai kemanusiaan (human interest) dan hakikat dunia nyata ke dalam cerita, maka pembaca akan menunda penilaian objektifnya mengenai kesahihan logis cerita bersangkutan.
Dalam bahasa yang lebih mudah, saat baca buku atau nonton film, alam bawah sadar kita sudah duluan ngasih tahu bahwa itu hanyalah cerita fiksi. Jadi kalau ada elemen-elemen tertentu yang nggak cocok dengan kelaziman dunia nyata, kita pun sebenarnya nggak terlalu mempersoalkannya.
Sebagai contoh, kita nggak pernah protes kenapa Rambo nggak pernah kehabisan peluru dan selalu luput dari bidikan senapan mesin semua musuhnya. Dan nggak terasa janggal saat dua tentara Belanda ngomong antarsesama mereka sendiri pakai Bahasa Indonesia (meski dengan logat dilondo-londokan) dalam film atau sinetron bertema perang kemerdekaan tahun 1947-1949.
Namun ini nggak lantas berarti bahwa kita bisa semau-maunya mengolah logika dalam cerita sekehendak kita sendiri. Meski bergantung kecerdasan dan kekritisan tiap pembaca/penonton, suspension of disbelief berlaku dalam teritori-teritori logika yang sudah tak mungkin lagi dimainkan dalam ranah fiksi.
Serial CSI: Crime Scene Investigation, misalnya, nggak akan terwujud normal andai tiap unsurnya dipaksakan sama persis dengan apa yang ada di alam fana. Sebab analisa forensik banyak item petunjuk kejahatan bisa makan waktu panjang. Nggak hanya jam dan hari namun juga pekan dan bulan. Kalau realitas diikuti, satu episode CSI bisa berlangsung dalam durasi setting waktu yang sangat lama, sedang laju cerita diharuskan selalu dalam tempo cepat jam demi jam.
Maka semua analisa berlangsung kilat. Entah itu tes darah, tes DNA, pencarian sidik jari, ataupun pelacakan jejak kandungan elemen-elemen kimia dalam semua petunjuk yang ditemukan di TKP. Dan dimunculkan juga banyak peranti teknologi canggih (yang, who knows, bisa aja sebagian besar fiktif, mirip Goldfield Syndrome itu tadi) untuk mempermudah analisis sehingga upaya face recognition lewat rekaman kamera CCTV dari database berjumlah jutaan item bisa rampung tak sampai 30 detik!

Samuel Taylor Coleridge

Sebagai konsekuensinya, suspension of disbelief dalam serial ini diimbangi dengan detail data dan fakta yang luar biasa. Semua hal yang masih bisa dimainkan secara logis diberikan kedalaman detail yang mengagumkan, sejak dari anatomi tubuh yang tertembus peluru, kandungan zat kimia dan penggunaannya, hingga istilah-istilah teknis kepolisian dan aksi-reaksi tiap tokohnya secara psikologis. Ini tentu tak mungkin terwujud tanpa riset yang mendalam.
Sebagai pengarang, sebenarnya sangat mengasyikkan selalu ribut soal logika cerita. Itu bikin kita terus mengejar kedangkalan pengetahuan, lalu memainkannya sesuai asas suspension of disbelief, yang kali pertama dicetuskan oleh penyair Inggris, Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) pada tahun 1817.
Dan dampak akhirnya, kita juga terdorong untuk selalu menyikapi riak kehidupan secara runtut dan logis. Kalau ada masalah ya dipikirkan jalan keluarnya, bukan malah mengangkat fentung...

1 komentar: