Kover GTA V. |
Salah satu hal
terpenting yang dibahas Aulia dalam diskusi Rumah Media hari Minggu
(13/4) lalu adalah mengenai game berjudul GTA alias Grand
Theft Auto. Game ini termasuk di antara judul-judul
game yang membuat otak menyuruh dopamin membanjir keluar dan
memengaruhi prefrontal cortex (PFC), bagian otak yang merupakan
“cetak biru ketuhanan” dalam diri Homo sapiens.
GTA adalah
game komputer (bukan game PlayStation, meski ada versi PS-nya) yang
dibuat oleh developer Rockstar Games dan diedarkan studio
Take-Two Interactive. Edar pertama kali tahun 1997, hingga kini seri
game ini sudah terdiri atas tujuh judul (yang terbaru GTA V
tahun 2013 lalu). Sebagai pengamat game kelas nuswantoro, aku sudah
sejak bertahun-tahun yang lalu khatam memainkan salah satu serinya,
yaitu GTA: Vice City—dan sangat menikmatinya!
Sebagaimana
judulnya, GTA berkaitan dengan pencurian mobil. Tokoh yang
kita mainkan (dalam Vice City namanya Tommy Vercetti,
seorang anggota mafia) berkeliaran bebas di belantara sebuah kota
(Vice City, atau San Andreas dan Liberty City di seri
lainnya—semuanya kota fiktif) dan bisa mencuri mobil apa pun yang
kita mau, baik yang sedang diparkir maupun yang lagi lewat (dicegat
trus sopirnya kita lempar keluar!).
Dengan menuju ke
lokasi-lokasi tertentu di dalam kota itu (biasanya berupa rumah,
kantor, atau hotel), kita bisa bertemu dengan tokoh-tokoh NPC
(non-playable character) yang akan memberi tugas-tugas
tertentu, bervariasi sejak dari nyolong sesuatu, menyelamatkan
seseorang, hingga menculik dan membunuh.
Jika satu misi
berhasil dituntaskan, kita akan mendapatkan hadiah berupa uang. Itu
bisa kita pakai untuk beli senjata dan amunisi, belanja pakaian dan
aksesori, membeli mobil, serta membeli rumah. Makin jauh semakin
dalam ke storyline-nya, kita akan semakin kaya dan semakin
ahli. Pada akhirnya, jika berhasil menaklukkan keseluruhan misinya,
kita akan menjelma menjadi pucuk pimpinan organisasi mafia yang
disegani para culik, begundhal, begal, rampok, pandung, dan
sebangsanya.
Tanpa mengikuti
alur ceritanya, kita bisa dengan bebas menjelajahi kota dan melakukan
apa pun yang kita mau. Latar tempat GTA adalah sebuah kota
virtual yang amat kompleks dan mengasyikkan untuk dijelajahi, mirip
berada di kota sungguhan. Terdapat zona elit, areal perumahan,
kawasan pabrik, wilayah kumuh, daerah perkantoran, dan juga sungai,
danau, serta lautan luas.
Suasana kota di GTA V. Amazing detail-nya! |
Kita bisa
menjelajah kota dengan kendaraan apa pun yang kita punya (atau kita
temukan di jalan!). Bisa dengan sedan, van, tank, helikopter, sepeda
motor, truk tronton, skuter pengantar pizza, dan favoritku: membajak
bus kota! Desain kota dilengkapi juga dengan jalur jalan dan
persimpangan-persimpangan berlampu bangjo, trotoar, jalur pedestrian,
jalan tol, serta peta ala GPS.
Cara main yang
serba bebas roaming keluyuran semaumu ini membuat GTA
dimasukkan ke dalam genre sandbox. Dalam kotak terdapat pasir,
yang bisa kita bentuk menjadi apa saja (istana pasir, patung putri
duyung, ditulisi “AZZAM LOVES ANNA”, dll.). Begitu pula “kotak
pasir” dalam GTA bisa kita bentuk dan jelajahi dengan cara
apa saja.
Kebebasan mutlak
inilah menurutku yang membuat otak mengalirkan dopamin dalam jumlah
besar. Pasalnya kita memang bisa bereksperimen seliar mungkin untuk
mewujudkan khayalan terbesar soal kekerasan yang tak mungkin kita
praktikkan di dunia nyata. Mau mencacah-cacah polisi pakai golok?
Atau membeli gergaji mesin dan sibuk menggergaji ibu-ibu yang lewat
di jalan sehabis belanja (lengkap dengan muncratan darah!)? Atau
melindas para pengunjung mal pakai truk tronton?
Mari menggergaji warga! |
Yang lebih parah,
untuk tiap pembunuhan yang kita lakukan, kita dapat duit. Jadi kita
bisa dapat banyak duit cukup dengan, itu tadi, menggergaji ibu-ibu
atau melindas para pengunjung mal. Mau yang lebih seru? Kita bisa
mencuri sebuah mobil sport mewah lalu menghentikannya di areal
pantai. Nggak sampai satu menit, mobil kita akan dikerubuti PSK yang
menawarkan jasa!
Di dunia
internasional, GTA dianggap sebagai game kontroversial yang
mendorong para pemainnya untuk berperilaku buruk. Susahnya,
sebagaimana pornografi, benda satu ini juga laris pol. Lembaga sensor
software Amerika, ESRB (Entertainment Software Rating Board)
memberi label “M” (mature) pada game ini, yang mana hanya
orang dewasa umur 18 tahun ke atas yang boleh memainkannya (setara
dengan film-film Korea 18+!).
Karena itu menjadi
tugas ortu untuk benar-benar mengawasi game-game yang dimainkan
anak-anak. Adalah keliru bila menganggap dunia video game adalah
mutlak dunianya anak-anak sebagaimana boneka Barbie atau action
figure Finn dan Jake dari serial Adventure Time.
Game sama dengan buku, film, dan musik—berlaku untuk seluruh
golongan usia, dan peruntukannya bisa dilihat dari rating yang
diberikan pihak berwenang.
Rating ESRB. |
Di Amerika
Serikat, pihak berwenang itu adalah ESRB. Tiap judul game di-review
berdasarkan content, bahasa, dan gameplay-nya, untuk
menyaring kemunculan segala hal yang berkaitan dengan kekerasan,
seks, profanity (bahasa jorok), dan drugs. Lalu rating
akan ditempelkan di kemasan produknya saat dirilis ke toko, sehingga
pihak toko bisa bekerja sama dengan cara selektif mengaitkan antara
pembeli dengan barang yang dibeli.
Total ada enam
jenis rating game yang ditempelkan ESRB. Rating “EC”
berarti early childhood; dimainkan anak-anak umur 3 tahun ke
atas. Rating “E” berarti everyone; bias dimainkan
siapapun. Rating “E10+” berarti boleh dimainin siapapun asal
sudah berumur di atas 10 tahun. Rating “T” berarti teens;
game khusus untuk ABG yang sudah mengandung muatan romans dan
seksualitas. Rating “M” untuk adult. Dan ada lagi rating
“AO” (adult only); berarti game bersangkutan hanya untuk
usia 21 tahun ke atas karena sangat kemproh.
Ada beberapa hal
praktis yang dapat dilakukan untuk melindungi anak-anak dari bahaya
games (from an accute gamer's perspective!):
Kontrol Ketat
Karena games bukan
sepenuhnya teritori anak-anak, jangan lepas tangan dalam soal satu
ini. Kalau komputer atau laptop kita sering dipakai ngegame
anak-anak, pastikan game-game yang terinstal di situ masuk kategori
aman. Kalau anak-anak sudah disangoni smartphone, geledah HP
dia secara rutin untuk mendaftar game-game apa saja yang ada di
dalamnya, lalu cari info soal rating masing-masing game di
internet dan tinggal uninstall judul-judul game yang tak
sesuai dengan umurnya.
Yang paling aman
buat anak-anak pra-SMP memang cukup dikasih HP jenis feature
phone dulu, yang cuman bisa buat telpon dan SMS.
Game Edukatif
Sebagaimana ada
film dan mainan edukatif, game yang edukatif pun ada. Biasanya dijual
resmi original di toko-toko buku, terutama yang menampilkan
tokoh-tokoh kartun edukatif kayak Diego, Dora, atau dari serial
Sesame Street.
Game-game yang
berhubungan dengan film animasi Disney seperti Toy Story,
Finding Nemo, atau Cars juga relatif aman buat
anak-anak.
Game Time
Sediakan game
time secukupnya tempat anak-anak bisa (merasa) bebas main game.
Alokasi waktunya bisa divariasi sesuai kebutuhan. Bisa 60 menit tiap
hari sebelum atau sesudah jam belajar, bisa 2-3 jam cuman pas tanggal
merah tok, atau bisa juga dijadikan bagian dari sistem reward
& punishment (kalau selesai baca buku tertentu, kalau
dapat nilai ulangan bagus, boleh main; kalau bikin kesalahan, game
time disita selama beberapa periode tertentu, etc.).
Ini untuk
membatasi tanpa mereka merasa tengah dibatasi. Makin dewasa,
anak-anak akan bisa mengendalikan diri masing-masing soal game (aku
dulu lulus pas kelas II SMP). Atau mereka lama-lama akan kehilangan
interest sama sekali begitu nemu hal berikutnya yang lebih
bikin sibuk: nyari pacar!
Ikut Main
Luangkan waktu
agar sesekali atau duaduakali bisa ikut anak-anak ngegame. Anak-anak
akan senang kalo ortu bisa terlibat dalam aktivitas main mereka.
Efektivitas hal ini sudah berkali-kali terbukti lewat riset. Tujuan
kedua, bisa melakukan fungsi BO berkaitan dengan content game.
Plus kontrol juga. Kalau jebul yang dimainin anak adalah jenisnya 7
Sins atau Bully, kita harus tega bertindak dengan tangan
besi (lalu kita mainin sendiri!).
Tak ada alasan
bahwa kita sebagai ortu nggak hobi ngegame. Bayar rekening PLN dan
PDAM juga bukan hobi, nyatanya mau, dan selalu bisa.
Safe Games
Selain game-game
edukatif, yang termasuk paling aman buat anak-anak adalah game
olahraga populer, terutama sepakbola (seri FIFA Soccer,
Winning Eleven/Pro Evolution Soccer,
atau game manajer bola). Tak ada bahaya dalam content game-game
sport. Yang berpotensi membahayakan adalah kalau sampai kecanduan
(lalu terseret peer group untuk totohan!).
Dan probabilitas
ayah gila bola adalah sangat tinggi di Indonesia, jadi sekalipun
nggak hobi ngegame, obrolan ortu-anak masih akan ngeklop soal pemain,
klub, liga, kompetisi Eropa, “Moyes out!”, transfer news,
de-el-el. Anak-anak masih bisa diawasi dari angle ini.
No Rental PS or Game Online!
Keberadaan rental
PS dan warnet game online adalah mirip hukum makruh: didatangi
gakpapa, ditinggalkan mendapat pahala. Melepas anak secara bebas ke
rental PS dan warnet game online sama saja dengan membiarkan anak
kebanjiran dopamin. Kemungkinan bakal kecanduan nyaris mencapai 100%
alias pasti!
Kalaupun mereka
boleh ke PS, pastikan ortu atau wali mendampingi (aku sering ngawal
ponakanku ke rental PS—main sendiri-sendiri, tapi at least
dia terawasi penuh) dengan waktu kunjungan yang sangat langka. Yang
lebih aman adalah mencukupi kebutuhan games di rumah secara
proporsional biar mereka nggak mencarinya di luar.
Game Komputer
Sama-sama games,
jenis game komputer jauh lebih aman dikonsumsi daripada game-game
konsol (PS, Wii, Xbox, dll.). Bukan soal content atau
gameplay, melainkan lebih karena fungsi perangkatnya. Karena
komputer bisa multimedia, akan lebih gampang mengalihkan perhatian
anak ke fungsi hiburan lainnya saat dirasa dia sudah cukup ngegame.
Misal disuruh nonton film, internetan ke website NGC, diajari trading
Forex, baca e-book, atau diajari Photoshop dan Ulead.
0 komentar:
Posting Komentar