Foto: Wikipedia |
Dulu sekali pernah ada artikel
ilmiah di majalah tentang mencegah kepikunan. Salah satunya adalah dengan tidak
pernah mengistirahatkan otak, sehingga sel-sel kelabunya akan terus bekerja dan
berkembang. Memang biasanya kita kan mengaso dari kesibukan dengan sekaligus
membiarkan otak nganggur: nonton TV acara nggak mutu, ngobrol dengan tetangga
ngrasani tetangga yang lain, atau makan lalu tidur. Pas hari libur bisa lebih
parah lagi—seharian nggak ngapa-apain, cuman nunggu Senin.
Salah satu trik termudah untuk
mencegah idle brain adalah dengan mengisi TTS pas lagi tak ada kerjaan. Kalau
mau yang lebih megah dan menghasilkan, menulislah. Entah nulis fiksi atau
nonfiksi, aktivitas menulis yang diseriusi beneran bakal membuat otak kita
terus bergulir sehingga terhindarkan dari kepikunan.
Berpikir Runtut
Dalam level lanjutan setelah
tahap “dear diary” yang sekadar mencurahkan keruwetan pikir, menulis akan
membiasakan otak kita untuk berpikir runtut dan sistematis. Kita nggak bisa
asal nulis to the point, karena yang kita tulis akan dibaca banyak orang
sehingga harus menarik.
Saat nulis tentang jeruk, kita
nggak bisa langsung nulis “Jeruk enak lho. Murah harganya dan bervitamin. Ayo
makan jeruk!”. Penulis ilmiah nonfiksi pasti memulai dari latar belakang,
taksonomi dan asal-usul jeruk, fluktuasi pasar jeruk, kandungan vitaminnya
dilengkapi data ilmiah, dan kesimpulan untuk mengajak orang makan jeruk.
Para jurnalis akan menggunakan
teknik 5W1H dilengkapi dengan lead yang menarik dan berita berstruktur piramida
terbalik. Sedang para cerpenis atau novelis akan menuturkannya lewat pembukaan,
pengenalan tokoh, eskalasi permasalahan, konflik, dan akhirnya selesaian.
Mengolah pikiran untuk selalu
melakukan segala hal secara runtut tak saja memaksa otak untuk bekerja keras secara
baik dan benar, namun juga melatih reasoning kita untuk menghadapi tiap apapun
yang ada dalam hidup secara logis—nggak setiap kali ada sesuatu yang dirasa
kurang benar, satu-satunya respon hanyalah marah dan menganggap sesat.
Peduli Detail
Gara-gara menulis sesuatu, kita
akan dipaksa untuk harus selalu peduli pada detail. Saat nulis ilmiah atau
jurnalistik, segala hal yang kita ungkap harus dapat dipertanggungjawabkan
keabsahannya. Maka kita berusaha mencari data referensi dan mengkoroborasikan
apapun kian-kemari: studi pustaka atau internet, nanya orang-orang berkompeten,
dan selalu check and recheck.
Sedang saat nulis fiksi, kita
akan mengurusi hal-hal sepele yang oleh warga umum dianggap konyol. Misal
menambahkan data komplet tokoh-tokoh cerita hingga ke golongan darah, kata
kenangan, atau makanan favorit. Kita bisa mikir keras berhari-hari hanya untuk
nyari nama yang pas untuk mal fiktif atau kota fiktif. Dan mirip penulis
ilmiah, kita juga akan mencari sederet data-fakta untuk memperkuat detail tema
cerita.
Otak yang dikondisikan untuk
selalu memerhatikan detail akan juga dengan mudah menemukan keajaiban-keajaiban
dan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang sering terlewatkan oleh “muggles”,
misal menyingkirkan paku dari jalan raya agar nggak ada kendaraan yang kebanan,
melihat secara khusyuk matahari terbenam, atau menikmati betul penerbangan yang
tidak delay (kan biasanya cuek aja kalau tepat waktu—baru “peduli” kalau pas
ada delay!).
No Rest
Menulis yang dijadikan aktivitas
dan pekerjaan serius tak akan pernah mengizinkan otak untuk istirahat. Bahkan
saat lagi doing nothing karena terpaksa (misal pas naik kendaraan umum yang
cuman duduk doang selama sekian menit atau jam), otak akan tetap memikirkan
bahan tulisan—aspek-aspek yang harus dipaparkan atau mereka-reka alur cerita
yang pas dan menarik.
Para penulis juga terhindar dari
menjadi makhluk tukang bengong dalam dua hal yang nggak begitu bermutu, yaitu e’ek
dan melamun. Bahkan sudah jadi pemeo di kalangan pengarang, saat ndhodhok di
kakus biasanya justru potensial dengan ide-ide fresh. Para pengarang juga nggak
pernah melamun dalam kondisi mikir kahanan urip, melainkan pasti karena
memikirkan jalan cerita dan tokoh-tokoh.
No Rest Part 2
Menulis adalah satu jenis
pekerjaan di mana barangnya baru jadi dan menghasilkan keuntungan jauh setelah
sang penulis selesai menggarapnya. Ini terutama bagi para penulis buku. Kecuali
buku-buku pesanan yang memanfaatkan tren, sebuah buku baru terbit dan ada di
toko buku berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah naskah aslinya
tamat.
Karena itu, nggak akan ada
periode istirahat bagi penulis (“Selesai sudah satu tugas, saatnya mengaso dulu”).
Menyelesaikan satu naskah adalah awal bagi pembuatan naskah berikut, agar
tulisan-tulisan dan buku-bukunya terus mengalir. Penulis yang lagi kena writer’s
block pun paling hanya akan absen nulis beberapa hari, lalu sibuk lagi.
Tak pernah mengaso adalah bagus
bagi seorang penulis. Satu, aktivitas nulis nggak akan bikin capek atau
menguras kondisi fisik-mental. Dua, keahlian akan makin terasah diselingi
dengan acara wajib baca-baca. Dan tiga, menulis bukan beban, melainkan pasti
diawali dengan hobi atau kondisi terinspirasi. Nggak pernah istirahat dari
kondisi gembira dan bahagia adalah hal yang didambakan semua orang.
Dengan kesibukan otak yang begitu
padat dan nggak pernah mengenal jam istirahat sedemikian itu, menulis akan
betul-betul mencegah penuaan dini yang bukan berada di sel kulit mati, komedo,
kerutan, atau kantung mata.
0 komentar:
Posting Komentar