scribo ergo sum

Sabtu, 04 Januari 2014

Nulis Mencegah Kepikunan

15:14 Posted by wiwien wintarto No comments
Foto: Wikipedia

Dulu sekali pernah ada artikel ilmiah di majalah tentang mencegah kepikunan. Salah satunya adalah dengan tidak pernah mengistirahatkan otak, sehingga sel-sel kelabunya akan terus bekerja dan berkembang. Memang biasanya kita kan mengaso dari kesibukan dengan sekaligus membiarkan otak nganggur: nonton TV acara nggak mutu, ngobrol dengan tetangga ngrasani tetangga yang lain, atau makan lalu tidur. Pas hari libur bisa lebih parah lagi—seharian nggak ngapa-apain, cuman nunggu Senin.
Salah satu trik termudah untuk mencegah idle brain adalah dengan mengisi TTS pas lagi tak ada kerjaan. Kalau mau yang lebih megah dan menghasilkan, menulislah. Entah nulis fiksi atau nonfiksi, aktivitas menulis yang diseriusi beneran bakal membuat otak kita terus bergulir sehingga terhindarkan dari kepikunan.

Berpikir Runtut
Dalam level lanjutan setelah tahap “dear diary” yang sekadar mencurahkan keruwetan pikir, menulis akan membiasakan otak kita untuk berpikir runtut dan sistematis. Kita nggak bisa asal nulis to the point, karena yang kita tulis akan dibaca banyak orang sehingga harus menarik.
Saat nulis tentang jeruk, kita nggak bisa langsung nulis “Jeruk enak lho. Murah harganya dan bervitamin. Ayo makan jeruk!”. Penulis ilmiah nonfiksi pasti memulai dari latar belakang, taksonomi dan asal-usul jeruk, fluktuasi pasar jeruk, kandungan vitaminnya dilengkapi data ilmiah, dan kesimpulan untuk mengajak orang makan jeruk.
Para jurnalis akan menggunakan teknik 5W1H dilengkapi dengan lead yang menarik dan berita berstruktur piramida terbalik. Sedang para cerpenis atau novelis akan menuturkannya lewat pembukaan, pengenalan tokoh, eskalasi permasalahan, konflik, dan akhirnya selesaian.
Mengolah pikiran untuk selalu melakukan segala hal secara runtut tak saja memaksa otak untuk bekerja keras secara baik dan benar, namun juga melatih reasoning kita untuk menghadapi tiap apapun yang ada dalam hidup secara logis—nggak setiap kali ada sesuatu yang dirasa kurang benar, satu-satunya respon hanyalah marah dan menganggap sesat.

Peduli Detail
Gara-gara menulis sesuatu, kita akan dipaksa untuk harus selalu peduli pada detail. Saat nulis ilmiah atau jurnalistik, segala hal yang kita ungkap harus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Maka kita berusaha mencari data referensi dan mengkoroborasikan apapun kian-kemari: studi pustaka atau internet, nanya orang-orang berkompeten, dan selalu check and recheck.
Sedang saat nulis fiksi, kita akan mengurusi hal-hal sepele yang oleh warga umum dianggap konyol. Misal menambahkan data komplet tokoh-tokoh cerita hingga ke golongan darah, kata kenangan, atau makanan favorit. Kita bisa mikir keras berhari-hari hanya untuk nyari nama yang pas untuk mal fiktif atau kota fiktif. Dan mirip penulis ilmiah, kita juga akan mencari sederet data-fakta untuk memperkuat detail tema cerita.
Otak yang dikondisikan untuk selalu memerhatikan detail akan juga dengan mudah menemukan keajaiban-keajaiban dan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang sering terlewatkan oleh “muggles”, misal menyingkirkan paku dari jalan raya agar nggak ada kendaraan yang kebanan, melihat secara khusyuk matahari terbenam, atau menikmati betul penerbangan yang tidak delay (kan biasanya cuek aja kalau tepat waktu—baru “peduli” kalau pas ada delay!).

No Rest
Menulis yang dijadikan aktivitas dan pekerjaan serius tak akan pernah mengizinkan otak untuk istirahat. Bahkan saat lagi doing nothing karena terpaksa (misal pas naik kendaraan umum yang cuman duduk doang selama sekian menit atau jam), otak akan tetap memikirkan bahan tulisan—aspek-aspek yang harus dipaparkan atau mereka-reka alur cerita yang pas dan menarik.
Para penulis juga terhindar dari menjadi makhluk tukang bengong dalam dua hal yang nggak begitu bermutu, yaitu e’ek dan melamun. Bahkan sudah jadi pemeo di kalangan pengarang, saat ndhodhok di kakus biasanya justru potensial dengan ide-ide fresh. Para pengarang juga nggak pernah melamun dalam kondisi mikir kahanan urip, melainkan pasti karena memikirkan jalan cerita dan tokoh-tokoh.

No Rest Part 2
Menulis adalah satu jenis pekerjaan di mana barangnya baru jadi dan menghasilkan keuntungan jauh setelah sang penulis selesai menggarapnya. Ini terutama bagi para penulis buku. Kecuali buku-buku pesanan yang memanfaatkan tren, sebuah buku baru terbit dan ada di toko buku berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah naskah aslinya tamat.
Karena itu, nggak akan ada periode istirahat bagi penulis (“Selesai sudah satu tugas, saatnya mengaso dulu”). Menyelesaikan satu naskah adalah awal bagi pembuatan naskah berikut, agar tulisan-tulisan dan buku-bukunya terus mengalir. Penulis yang lagi kena writer’s block pun paling hanya akan absen nulis beberapa hari, lalu sibuk lagi.
Tak pernah mengaso adalah bagus bagi seorang penulis. Satu, aktivitas nulis nggak akan bikin capek atau menguras kondisi fisik-mental. Dua, keahlian akan makin terasah diselingi dengan acara wajib baca-baca. Dan tiga, menulis bukan beban, melainkan pasti diawali dengan hobi atau kondisi terinspirasi. Nggak pernah istirahat dari kondisi gembira dan bahagia adalah hal yang didambakan semua orang.


Dengan kesibukan otak yang begitu padat dan nggak pernah mengenal jam istirahat sedemikian itu, menulis akan betul-betul mencegah penuaan dini yang bukan berada di sel kulit mati, komedo, kerutan, atau kantung mata.

0 komentar:

Posting Komentar