Di dunia persilatan tanah Jawa
terdapat sebuah ilmu atau jurus pamungkas yang bernama Jalan Sunyi. Ini ilmu
tertinggi dari Panembahan Singgih, tokoh ketiga dari lima pemuka agama
Pancatunggal di cerita Menuju Matahari (tapi jurus ini baru akan muncul di
sekuelnya, MM 2).
Inti ajaran Jalan Sunyi adalah
mengalahkan atau menaklukkan musuh tanpa yang bersangkutan menyadari bahwa
dirinya akan, sedang, dan telah tertaklukkan. Maka upaya mengalahkan lawan
tidak harus dilakukan tiba-tiba dengan seketika di gelanggang pertarungan
menggunakan jurus-jurus pemunah paling mematikan, tapi bisa jauh sebelum itu,
dan menggunakan aneka macam siasat tersembunyi sehingga lawan tak menyadari
sedang diincar.
Banyak cara bisa ditempuh,
tergantung kreativitas dan imajinasi sang penakluk. Bisa dengan dipengaruhi
pelan-pelan secara persuasif lewat perbincangan-perbincangan biasa, bisa juga
dengan diajak debat. Ketika target menyadari bahwa pikiran dan pemikiran lawan
jauh lebih kuat, ia akan mudeng bahwa pertarungan dengan jurus silat adalah
percuma. Maka ia akan menyerah secara sukarela, dan tanpa perasaan bahwa ia
telah bertekuk lutut sebagai pihak yang kalah.
Dalam falsafah Jawa yang lebih
luas diketahui orang-orang, ini dikenal dengan istilah “menang tanpa
ngasorake”, yaitu menang tanpa mengalahkan dan merendahkan pihak lain. Mirip
pemain-pemain bola yang tetap menyalami dengan hormat pemain klub lawan yang
telah berhasil dikalahkan.
Pada masa sekarang pun ngelmu
yang kesaktiannya setara dengan ajian Serat Jiwa dan Lampah Lumpuh ini masih
tetap relevan dipergunakan, terutama dalam hubungan antara guru dan
murid—antara ortu dengan anak, senior dengan junior, atasan dengan bawahan,
etc. Guru diibaratkan sebagai pihak yang ingin menaklukkan, dan murid adalah
target operasi.
Yang lazim terjadi adalah, ajaran
dan arahan untuk murid (dan juga anak) masih dilakukan dengan kaidah “whether
you like it or not”. Sesimpel itu. Tanpa alasan lain. Anak harus mau. Nggak
boleh nolak atau mendebat.
Baik di sekolah maupun rumah,
anak wajib untuk duduk manis dan mendengarkan serentetan ceramah petuah pihak
berwenang. Mereka juga harus mengikuti sederetan aturan baku yang sakral mirip
konstitusi. Bahkan ada yang bilang, anak harus dikerasi dan dipendeliki. Kalau
tidak, mereka juga tidak akan mau mendengar. Busset! Ini ortu apa Benito
Mussolini!?
Resistensi pasti akan muncul
dalam atmosfer pendidikan yang seperti ini. Bukan karena si anak dhedhel, bego,
hatinya mati/beku, sesat, atau kadung memutuskan untuk keblinger permanen,
melainkan lebih karena ketika aturan (terutama yang rigid) diterapkan pihak
berwenang, benih pemberontakan pasti akan muncul. Ini natural. Hukum alam.
Berdasar teori Jalan Sunyi,
penaklukan akan sukses bila target tak menyadari sedang akan ditaklukkan, yang
pada akhirnya, ketika berhasil juga ditundukkan, ia tak merasa telah
dikalahkan. Maka dalam interaksi antara guru dan murid, keberhasilan transfer
ilmu plus pembangunan karakter bergantung pada seberapa jauh guru bisa
“menghipnosis” murid sehingga yang bersangkutan nggak sadar sedang akan dididik
dan diatur.
Dulu aku pernah punya teman cewek
yang galau karena diatur secara ketat dan keras oleh pacarnya. Salah satu
aturan yang dirasanya paling ridiculous adalah bahwa ia nggak boleh dandan,
nggak boleh bersolek, nggak boleh pakai lipstik. Ini jelas pengekangan hak
asasi. Sebagaimana cowok yang butuh main game, cewek juga secara naluriah pasti
butuh untuk mempercantik diri.
Maka alangkah kagetnya ketika
suatu hari aku melihatnya memakai lipstik yang sangat hot menyolok mata. Ternyata
dia baru saja putus. Karena sudah tak ada pengawas lagi, ia bisa bebas
mengekspresikan hasrat dandannya semau dan seinovatif yang dia mau. Aku tertawa
dan bilang bahwa andai aku jadi sesosok cowok yang tak mau pacarnya dandan,
caraku menyampaikan aspirasi bukanlah dengan serendeng aturan yang mengekang.
“Lantas caranya gimana?” tanya
temenku itu, Elizabeth McGillis (bukan nama sebenarnya).
“Awalnya aku akan diam saja pas
dia dandan. Tapi satu kali pas dia nggak dandan, aku akan bilang ‘Kamu tu anomali
terindahku—justru ayu banget kalo pas natural kayak begini!’. Berani taruhan
dua ribu perak, habis itu dia pasti akan lebih suka tampil biasa aja ketimbang
bedakan dan pake lipstik!”
Temanku itu tertawa dan seketika
tersepona pada kata-kataku hingga pipinya bersemu hijau dadu.
Itulah Jalan Sunyi, menerapkan
aturan secara sunyi. Yang diatur pun mau dengan senang hati nurut, karena tak
merasa sedang diatur-atur. Kuncinya memang berada pada kreativitas untuk
menemukan berbagai cara alternatif. Dan pintu pemahamannya berada pada teorema
Kak Seto yang mengatakan bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam versi mini.
Anak punya dunia sendiri, logika
sendiri, semesta sendiri. Kita nggak bisa ujug-ujug datang dan memerintah
“nggak boleh ngerokok!”, “dilarang datang telat!”, “rambut cowok nggak boleh
gondrong!”, etc hanya karena kita mau mereka menjadi anak yang disiplin, tahu
aturan, tahu sopan santun.
Kita juga nggak bisa tiba-tiba
nyuruh mereka duduk lalu kita nasihati panjang lebar ini-itu pake sedertan
dalil dan pasal-pasal. Masih untung jika mereka nggak ongap-angop dan malah
membayangkan Jane March di film L’Amant!
Daya tolak pasti ada. Dan kalau
mereka melakukan, pasti lebih dikarenakan takut kena hukuman daripada pemahaman
penuh bahwa hal-hal itu memang perlu dilakukan (demi kebaikan diri sendiri).
Agar mereka tiba pada pemahaman
penuh, guru (dan ortu) mau tak mau harus mengikuti cara berpikir mereka.
Nge-blend ke dalam dunia mereka. Sesudah masuk terlibat dan bisa menggaet
simpati anak, hal-hal penting bisa diinjeksikan ke benak mereka tanpa mereka
menyadari sedang dipermak.
Karenanya, instead of
tereak-tereak “BELAJAR! Main Pe-Es mulu!!”, akan lebih jos jika kita ikut masuk
ke dalam Pe-Es itu. Ikut tanding PES dan libatkan anak dalam kompetisi yang
sudah pasti mereka akan kalah. Misal, ajak dia main tiga match. Kalau dia
kalah, dia baru boleh main PS lagi 24 jam dari sekarang dan harus masuk kamar
untuk belajar. Kalah si bocah menang, dia dapet bonus main 1 jam lagi sebelum
masuk kamar dan belajar.
Whatever the outcome, tetap saja
keinginan ortu untuk memaksa anak meninggalkan game terlaksana. Dan dalam
proses yang singkat ini, anak telah belajar (secara nggak disadari) banyak
komponen penting, sejak dari menaati aturan (yang telah disepakati bersama),
bertanggung jawab (atas apa yang dilakukan), menyadari konsekuensi (kalo kalah
ya layak jika begini, kalau menang ya wajar jika begitu), dan yang terpenting:
hasrat berkompetisi secara sehat (either menang atau kalah, si anak akan
bersemangat untuk ngajak tanding lagi besok-besoknya).
Maka inti dari Jalan Sunyi adalah
keterlibatan, bukan hanya berdiri di luar dan sekadar teriak-teriak ngasih
komando seperti instruktur Akmil membentak-bentak para kadet. Dalam
keterlibatan, semua pihak saling belajar satu sama lain. Murid jelas belajar,
sedang guru juga ikut mempelajari “sisi lain mata uang”. Saling belajar akan
menciptakan kesepahaman. Dan kesepahaman berarti ikatan emosional yang
mendalam.
Di cersil Senopati Pamungkas
karya Arswendo Atmowiloto terdapat sebuah perguruan silat bernama Nirada
Manggala alias Perguruan Awan. Perguruan itu unik karena tidak punya padepokan.
Seluruh kolong langit adalah tempat belajar. Dan tak ada guru atau murid. Semua
sama-sama belajar.
Semacam itulah cara hidup dengan
Jalan Sunyi, yang menisbikan batasan-batasan, label-label, dan aneka macam
pembeda. Di kolong langit semua sama—hanya ada para pembelajar.
Sekarang kamu tahu soal ajaran
Jalan Sunyi, tapi pada saat yang bersamaan kamu nggak akan pernah bisa tahu
hal-hal busuk macam apa saja yang selama ini sudah kusuntikkan ke benakmu,
MWUAHAHAHA...!!!
0 komentar:
Posting Komentar