scribo ergo sum

Minggu, 24 November 2013

Jalan Sunyi

22:24 Posted by wiwien wintarto No comments

Di dunia persilatan tanah Jawa terdapat sebuah ilmu atau jurus pamungkas yang bernama Jalan Sunyi. Ini ilmu tertinggi dari Panembahan Singgih, tokoh ketiga dari lima pemuka agama Pancatunggal di cerita Menuju Matahari (tapi jurus ini baru akan muncul di sekuelnya, MM 2).
Inti ajaran Jalan Sunyi adalah mengalahkan atau menaklukkan musuh tanpa yang bersangkutan menyadari bahwa dirinya akan, sedang, dan telah tertaklukkan. Maka upaya mengalahkan lawan tidak harus dilakukan tiba-tiba dengan seketika di gelanggang pertarungan menggunakan jurus-jurus pemunah paling mematikan, tapi bisa jauh sebelum itu, dan menggunakan aneka macam siasat tersembunyi sehingga lawan tak menyadari sedang diincar.

Banyak cara bisa ditempuh, tergantung kreativitas dan imajinasi sang penakluk. Bisa dengan dipengaruhi pelan-pelan secara persuasif lewat perbincangan-perbincangan biasa, bisa juga dengan diajak debat. Ketika target menyadari bahwa pikiran dan pemikiran lawan jauh lebih kuat, ia akan mudeng bahwa pertarungan dengan jurus silat adalah percuma. Maka ia akan menyerah secara sukarela, dan tanpa perasaan bahwa ia telah bertekuk lutut sebagai pihak yang kalah.
Dalam falsafah Jawa yang lebih luas diketahui orang-orang, ini dikenal dengan istilah “menang tanpa ngasorake”, yaitu menang tanpa mengalahkan dan merendahkan pihak lain. Mirip pemain-pemain bola yang tetap menyalami dengan hormat pemain klub lawan yang telah berhasil dikalahkan.
Pada masa sekarang pun ngelmu yang kesaktiannya setara dengan ajian Serat Jiwa dan Lampah Lumpuh ini masih tetap relevan dipergunakan, terutama dalam hubungan antara guru dan murid—antara ortu dengan anak, senior dengan junior, atasan dengan bawahan, etc. Guru diibaratkan sebagai pihak yang ingin menaklukkan, dan murid adalah target operasi.
Yang lazim terjadi adalah, ajaran dan arahan untuk murid (dan juga anak) masih dilakukan dengan kaidah “whether you like it or not”. Sesimpel itu. Tanpa alasan lain. Anak harus mau. Nggak boleh nolak atau mendebat.
Baik di sekolah maupun rumah, anak wajib untuk duduk manis dan mendengarkan serentetan ceramah petuah pihak berwenang. Mereka juga harus mengikuti sederetan aturan baku yang sakral mirip konstitusi. Bahkan ada yang bilang, anak harus dikerasi dan dipendeliki. Kalau tidak, mereka juga tidak akan mau mendengar. Busset! Ini ortu apa Benito Mussolini!?
Resistensi pasti akan muncul dalam atmosfer pendidikan yang seperti ini. Bukan karena si anak dhedhel, bego, hatinya mati/beku, sesat, atau kadung memutuskan untuk keblinger permanen, melainkan lebih karena ketika aturan (terutama yang rigid) diterapkan pihak berwenang, benih pemberontakan pasti akan muncul. Ini natural. Hukum alam.
Berdasar teori Jalan Sunyi, penaklukan akan sukses bila target tak menyadari sedang akan ditaklukkan, yang pada akhirnya, ketika berhasil juga ditundukkan, ia tak merasa telah dikalahkan. Maka dalam interaksi antara guru dan murid, keberhasilan transfer ilmu plus pembangunan karakter bergantung pada seberapa jauh guru bisa “menghipnosis” murid sehingga yang bersangkutan nggak sadar sedang akan dididik dan diatur.
Dulu aku pernah punya teman cewek yang galau karena diatur secara ketat dan keras oleh pacarnya. Salah satu aturan yang dirasanya paling ridiculous adalah bahwa ia nggak boleh dandan, nggak boleh bersolek, nggak boleh pakai lipstik. Ini jelas pengekangan hak asasi. Sebagaimana cowok yang butuh main game, cewek juga secara naluriah pasti butuh untuk mempercantik diri.
Maka alangkah kagetnya ketika suatu hari aku melihatnya memakai lipstik yang sangat hot menyolok mata. Ternyata dia baru saja putus. Karena sudah tak ada pengawas lagi, ia bisa bebas mengekspresikan hasrat dandannya semau dan seinovatif yang dia mau. Aku tertawa dan bilang bahwa andai aku jadi sesosok cowok yang tak mau pacarnya dandan, caraku menyampaikan aspirasi bukanlah dengan serendeng aturan yang mengekang.
“Lantas caranya gimana?” tanya temenku itu, Elizabeth McGillis (bukan nama sebenarnya).
“Awalnya aku akan diam saja pas dia dandan. Tapi satu kali pas dia nggak dandan, aku akan bilang ‘Kamu tu anomali terindahku—justru ayu banget kalo pas natural kayak begini!’. Berani taruhan dua ribu perak, habis itu dia pasti akan lebih suka tampil biasa aja ketimbang bedakan dan pake lipstik!”
Temanku itu tertawa dan seketika tersepona pada kata-kataku hingga pipinya bersemu hijau dadu.
Itulah Jalan Sunyi, menerapkan aturan secara sunyi. Yang diatur pun mau dengan senang hati nurut, karena tak merasa sedang diatur-atur. Kuncinya memang berada pada kreativitas untuk menemukan berbagai cara alternatif. Dan pintu pemahamannya berada pada teorema Kak Seto yang mengatakan bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam versi mini.
Anak punya dunia sendiri, logika sendiri, semesta sendiri. Kita nggak bisa ujug-ujug datang dan memerintah “nggak boleh ngerokok!”, “dilarang datang telat!”, “rambut cowok nggak boleh gondrong!”, etc hanya karena kita mau mereka menjadi anak yang disiplin, tahu aturan, tahu sopan santun.
Kita juga nggak bisa tiba-tiba nyuruh mereka duduk lalu kita nasihati panjang lebar ini-itu pake sedertan dalil dan pasal-pasal. Masih untung jika mereka nggak ongap-angop dan malah membayangkan Jane March di film L’Amant!
Daya tolak pasti ada. Dan kalau mereka melakukan, pasti lebih dikarenakan takut kena hukuman daripada pemahaman penuh bahwa hal-hal itu memang perlu dilakukan (demi kebaikan diri sendiri).
Agar mereka tiba pada pemahaman penuh, guru (dan ortu) mau tak mau harus mengikuti cara berpikir mereka. Nge-blend ke dalam dunia mereka. Sesudah masuk terlibat dan bisa menggaet simpati anak, hal-hal penting bisa diinjeksikan ke benak mereka tanpa mereka menyadari sedang dipermak.
Karenanya, instead of tereak-tereak “BELAJAR! Main Pe-Es mulu!!”, akan lebih jos jika kita ikut masuk ke dalam Pe-Es itu. Ikut tanding PES dan libatkan anak dalam kompetisi yang sudah pasti mereka akan kalah. Misal, ajak dia main tiga match. Kalau dia kalah, dia baru boleh main PS lagi 24 jam dari sekarang dan harus masuk kamar untuk belajar. Kalah si bocah menang, dia dapet bonus main 1 jam lagi sebelum masuk kamar dan belajar.
Whatever the outcome, tetap saja keinginan ortu untuk memaksa anak meninggalkan game terlaksana. Dan dalam proses yang singkat ini, anak telah belajar (secara nggak disadari) banyak komponen penting, sejak dari menaati aturan (yang telah disepakati bersama), bertanggung jawab (atas apa yang dilakukan), menyadari konsekuensi (kalo kalah ya layak jika begini, kalau menang ya wajar jika begitu), dan yang terpenting: hasrat berkompetisi secara sehat (either menang atau kalah, si anak akan bersemangat untuk ngajak tanding lagi besok-besoknya).
Maka inti dari Jalan Sunyi adalah keterlibatan, bukan hanya berdiri di luar dan sekadar teriak-teriak ngasih komando seperti instruktur Akmil membentak-bentak para kadet. Dalam keterlibatan, semua pihak saling belajar satu sama lain. Murid jelas belajar, sedang guru juga ikut mempelajari “sisi lain mata uang”. Saling belajar akan menciptakan kesepahaman. Dan kesepahaman berarti ikatan emosional yang mendalam.
Di cersil Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto terdapat sebuah perguruan silat bernama Nirada Manggala alias Perguruan Awan. Perguruan itu unik karena tidak punya padepokan. Seluruh kolong langit adalah tempat belajar. Dan tak ada guru atau murid. Semua sama-sama belajar.
Semacam itulah cara hidup dengan Jalan Sunyi, yang menisbikan batasan-batasan, label-label, dan aneka macam pembeda. Di kolong langit semua sama—hanya ada para pembelajar.

Sekarang kamu tahu soal ajaran Jalan Sunyi, tapi pada saat yang bersamaan kamu nggak akan pernah bisa tahu hal-hal busuk macam apa saja yang selama ini sudah kusuntikkan ke benakmu, MWUAHAHAHA...!!!

0 komentar:

Posting Komentar