Aku saat memberi tausiyah. (Foto: Semarang International School) |
Hari Jumat (8/11) lalu, aku
memenuhi undangan Semarang International School (SIS) di Jl. Jangli untuk
mengadakan author visit ke sana. Mereka sedang bikin Book Week Event, di mana
selama seminggu, guru dan murid mengadakan serangkaian acara yang berkaitan
dengan buku, dan salah satu mata acaranya adalah mengundang pengarang untuk
berkunjung dan ketemu dengan anak-anak.
Aku disambut Pak Jordan dan Bu
Elisha, guru-guru bule yang mengkoordinir acara, juga para staf lokal, salah
satunya Ajeng, yang ngasih undangan. Saat dikirimi rundown acara, aku heran
karena acara author visit dimulai pukul 10.10 WIB. Nanggung amat waktunya,
kayak acara TV! Ternyata acaranya tepat dimulai pada jam itu.
Waktu bel dibunyikan, jam di
layar HP-ku menunjukkan pukul 10.09. Dan nggak sampai semenit kemudian, Pak
Jordan sudah bisa memulai acara. Anak-anak dari kelas preschool sampai grade 7
sudah rapi ngumpul di aula. Kalau di tempat kita, rapat bapak-bapak RT di
undangan tertera pukul 19.00, warga baru berdatangan pukul 20.30, dan acara
baru dimulai pukul 21.00!
Selain ketepatan waktu, hal lain
yang bikin aku heran adalah antusiasme para murid dalam bertanya. Sebelum acara
dimulai, Bu Elisha sudah menyodoriku daftar pertanyaan secara tertulis. Ntar
aku tinggal jawab satu-satu pas sesi tanya-jawab dibuka. Jebul nggak pake sesi
itu. Baru aja aku mulai perkenalan, semua udah pada ngacung—dan berebutan.
Akhirnya acara sejam pun cuman terpakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
doang. Jadi mirip konferensi pers!
Mereka nanya macam-macam, sejak
dari urusan kepenulisan dan perbukuan (buku & pengarang favoritku, awalnya
bisa jadi author, apa kendala dan keasyikan menjadi author, etc.), sampai soal
hantu-hantu. Dan kalau nggak distop Pak Jordan menjelang pukul 11, acara tanya-jawab
bisa mulur sampai sore.
Ini pengalaman baru. Sekian lama
menghadiri atau menjadi narsum acara-acara kepenulisan, kesulitan pasti melanda
jika sesi tanya-jawab sudah tiba. Paling susah kalau aku pas giliran jadi MC,
host, atau moderator diskusi. Ruangan seketika sunyi senyap. Sudah dipancing
dengan gift pun tetep nggak ada yang tanya. Kalaupun ada satu-dua yang nanya,
lebih kayak keterpaksaan untuk “menggugurkan kewajiban” harus nanya (daripada
ntar terus disindir-sindir narsum galak!).
Di SIS, para murid berebutan
nanya. Dari ekspresi muka, terlihat jelas mereka nanya sungguhan untuk tahu
buat diri masing-masing, bukan untuk, itu tadi, menggugurkan kewajiban. Banyak
yang nanya sampai dua-tiga kali. Dan jangan salah. Bukan karena faktor luar
negerinya. SIS punya banyak murid lokal juga, yang pada rebutan tunjuk jari.
So, pembedanya pasti ada pada faktor didikan—yang mereka dapat di sekolah dan
kultur keseharian di rumah.
Aku pun mengalami itu. Pas zaman
jadi murid, aku nggak pernah tanya-tanya meski sudah dipersilakan guru.
Penyebabnya ada dua. Satu, takut kalau aku menanyakan hal bodoh dan lantas
ditertawakan. Dan kedua, gara-gara itu, selanjutnya aku jadi “terdidik” untuk
nggak tahu harus menanyakan apa. Bener-bener blank. Harus nanya apa ya? Kayaknya
nggak ada yang harus kutanyakan.
Dan ketakutan semacam itu
bukanlah mitos. Aku pernah mendengar, di satu sekolah, seorang guru
menyindir-nyindir murid-muridnya yang dia cap penakut karena nggak berani
bertanya. Dia pun memaksa murid-murid untuk bertanya untuk menambah
pengetahuan. Eh, giliran ada yang beneran nanya, si guru menukas sinis, “Lha
wong cuman gitu kok ditanyakan!?”
Atmosfer di sini memang membuat
siapapun takut untuk menjadi berbeda. Semua harus seragam, dan penuh dengan
hukuman dan sanksi-sanksi. Ada yang berbeda gesper sabuknya tok pun sudah cukup
untuk mengundang olok-olok, apalagi yang bercita-cita aneh nan menyimpang dari
kelaziman. Pasti dianggap aneh, ganjil, sesat.
Maka kita terdidik untuk nggak
tahu harus nanya apa. Takut menanyakan hal bodoh dan ditertawakan. Dan kalau
untuk bertanya pun bingung, kita lebih ngeri lagi untuk melangkah ke tahap yang
lebih sulit, yaitu memiliki pendapat berbeda dan mengemukakannya secara luas
lalu mempertahankannya.
Memang sudah saatnya kita stop
pola didikan yang serba penuh ancaman hukuman. Jangan gitu, nanti diginiin!
Jangan gini, nanti digituin! Manut teori Law of Attraction, kenapa enggak fokus
pada hal yang positif sehingga semesta ngasih feedback hal-hal positif pula?
Atau, kenapa tidak meniru pola didikan olahraga untuk nggak semata mikirin
pahala dan dosa?
Pahala di olahraga berbentuk
piala, trofi, atau medali untuk para pemenang. Dosanya bisa berbentuk kartu
merah, denda uang, atau larangan bermain buat mereka yang melanggar aturan.
Tapi apakah kehidupan keolahragaan semata dipusatkan pada urusan pahala dan
dosa? Apakah Bale atau Neymar main bola semata untuk meraih piala sebanyak
mungkin dan menghindari kartu-kartu merah sebisanya?
Tidak. Olahraga terpusat pada
keindahan permainannya itu sendiri. Tendangan jarak jauhnya, top spin-nya,
jumping smash-nya, sportivitasnya, persahabatannya, kebersamaannya. Ada hadiah
dan sanksi hanyalah efek samping. Ada Pele bisa melegenda kan bukan karena
ambisi meraih Jules Rimet Cup, namun memperindah dirinya sendiri (sehingga
akhirnya bisa memperindah sepakbola secara umum).
Aku kira, faktor inilah yang
membuat murid-murid SIS itu beda. Pendidikan dipusatkan pada kehidupan mereka
masing-masing, dan bagaimana bisa ditingkatkan—bukan pada kewajiban meraih
nilai dan rengking sekian serta aneka macam ketuntasan-ketuntasan, lalu
ancaman-ancaman mengerikan jika bolos sekian hari, telat sekian menit, etc.
Sekolahan kan bukan semacam kamp Auschwitz!
Dan yang patut ditiru
sekolah-sekolah adalah event author visit itu. Tidak cuman author tentu. Bisa
arsitek, dokter, artis, seniman, tentara, polisi, tokoh politik, dan apapun
jenis expert. Bukan untuk mengisi kuliah umum, seminar, lokakarya, atau
workshop yang serba formal (dan ngecharge peserta sekian ratus rebu!), namun
semata datang berkunjung untuk cerita-cerita dan menginspirasi.
Dulu, sekian puluh tahun aku jadi
murid dan mahasiswa, nggak pernah satu kalipun diketemukan di sekolah dan
kampus dengan tokoh yang berbagi ilmu dan menginspirasi. Ada satu kali dengan
Pak Eduard Depari (waktu itu PR RCTI). Itupun cuman pas ada malam inagurasi dan
Pak Eduard datang lalu ngasih sambutan “Kalo RCTI oke, STIK juga oke!”, yang
disambut gemuruh tepuk tangan warga satu stadion!
Harusnya, dalam satu tahun
ajaran, sekolah mengagendakan dua-tiga kali expert visit. Satu, selingan
menyegarkan dari rutinitas. Dua, murid bisa mendapat akses langsung dengan sang
expert dan mulai merintis karier dengan bimbingannya. Dan ketiga, inspirasi dan
imajinasi yang dibawa sang expert jauh lebih bernilai dari ijazah secumlaude
apapun.
Dan untuk itu, Rumah Media LeSPI
siap memfasilitasi (promo).
0 komentar:
Posting Komentar