scribo ergo sum

Minggu, 10 November 2013

Mirip Konferensi Pers

23:10 Posted by wiwien wintarto No comments
Aku saat memberi tausiyah. (Foto: Semarang International School)
Hari Jumat (8/11) lalu, aku memenuhi undangan Semarang International School (SIS) di Jl. Jangli untuk mengadakan author visit ke sana. Mereka sedang bikin Book Week Event, di mana selama seminggu, guru dan murid mengadakan serangkaian acara yang berkaitan dengan buku, dan salah satu mata acaranya adalah mengundang pengarang untuk berkunjung dan ketemu dengan anak-anak.
Aku disambut Pak Jordan dan Bu Elisha, guru-guru bule yang mengkoordinir acara, juga para staf lokal, salah satunya Ajeng, yang ngasih undangan. Saat dikirimi rundown acara, aku heran karena acara author visit dimulai pukul 10.10 WIB. Nanggung amat waktunya, kayak acara TV! Ternyata acaranya tepat dimulai pada jam itu.

Waktu bel dibunyikan, jam di layar HP-ku menunjukkan pukul 10.09. Dan nggak sampai semenit kemudian, Pak Jordan sudah bisa memulai acara. Anak-anak dari kelas preschool sampai grade 7 sudah rapi ngumpul di aula. Kalau di tempat kita, rapat bapak-bapak RT di undangan tertera pukul 19.00, warga baru berdatangan pukul 20.30, dan acara baru dimulai pukul 21.00!
Selain ketepatan waktu, hal lain yang bikin aku heran adalah antusiasme para murid dalam bertanya. Sebelum acara dimulai, Bu Elisha sudah menyodoriku daftar pertanyaan secara tertulis. Ntar aku tinggal jawab satu-satu pas sesi tanya-jawab dibuka. Jebul nggak pake sesi itu. Baru aja aku mulai perkenalan, semua udah pada ngacung—dan berebutan. Akhirnya acara sejam pun cuman terpakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan doang. Jadi mirip konferensi pers!
Mereka nanya macam-macam, sejak dari urusan kepenulisan dan perbukuan (buku & pengarang favoritku, awalnya bisa jadi author, apa kendala dan keasyikan menjadi author, etc.), sampai soal hantu-hantu. Dan kalau nggak distop Pak Jordan menjelang pukul 11, acara tanya-jawab bisa mulur sampai sore.
Ini pengalaman baru. Sekian lama menghadiri atau menjadi narsum acara-acara kepenulisan, kesulitan pasti melanda jika sesi tanya-jawab sudah tiba. Paling susah kalau aku pas giliran jadi MC, host, atau moderator diskusi. Ruangan seketika sunyi senyap. Sudah dipancing dengan gift pun tetep nggak ada yang tanya. Kalaupun ada satu-dua yang nanya, lebih kayak keterpaksaan untuk “menggugurkan kewajiban” harus nanya (daripada ntar terus disindir-sindir narsum galak!).
Di SIS, para murid berebutan nanya. Dari ekspresi muka, terlihat jelas mereka nanya sungguhan untuk tahu buat diri masing-masing, bukan untuk, itu tadi, menggugurkan kewajiban. Banyak yang nanya sampai dua-tiga kali. Dan jangan salah. Bukan karena faktor luar negerinya. SIS punya banyak murid lokal juga, yang pada rebutan tunjuk jari. So, pembedanya pasti ada pada faktor didikan—yang mereka dapat di sekolah dan kultur keseharian di rumah.
Aku pun mengalami itu. Pas zaman jadi murid, aku nggak pernah tanya-tanya meski sudah dipersilakan guru. Penyebabnya ada dua. Satu, takut kalau aku menanyakan hal bodoh dan lantas ditertawakan. Dan kedua, gara-gara itu, selanjutnya aku jadi “terdidik” untuk nggak tahu harus menanyakan apa. Bener-bener blank. Harus nanya apa ya? Kayaknya nggak ada yang harus kutanyakan.
Dan ketakutan semacam itu bukanlah mitos. Aku pernah mendengar, di satu sekolah, seorang guru menyindir-nyindir murid-muridnya yang dia cap penakut karena nggak berani bertanya. Dia pun memaksa murid-murid untuk bertanya untuk menambah pengetahuan. Eh, giliran ada yang beneran nanya, si guru menukas sinis, “Lha wong cuman gitu kok ditanyakan!?”
Atmosfer di sini memang membuat siapapun takut untuk menjadi berbeda. Semua harus seragam, dan penuh dengan hukuman dan sanksi-sanksi. Ada yang berbeda gesper sabuknya tok pun sudah cukup untuk mengundang olok-olok, apalagi yang bercita-cita aneh nan menyimpang dari kelaziman. Pasti dianggap aneh, ganjil, sesat.
Maka kita terdidik untuk nggak tahu harus nanya apa. Takut menanyakan hal bodoh dan ditertawakan. Dan kalau untuk bertanya pun bingung, kita lebih ngeri lagi untuk melangkah ke tahap yang lebih sulit, yaitu memiliki pendapat berbeda dan mengemukakannya secara luas lalu mempertahankannya.
Memang sudah saatnya kita stop pola didikan yang serba penuh ancaman hukuman. Jangan gitu, nanti diginiin! Jangan gini, nanti digituin! Manut teori Law of Attraction, kenapa enggak fokus pada hal yang positif sehingga semesta ngasih feedback hal-hal positif pula? Atau, kenapa tidak meniru pola didikan olahraga untuk nggak semata mikirin pahala dan dosa?
Pahala di olahraga berbentuk piala, trofi, atau medali untuk para pemenang. Dosanya bisa berbentuk kartu merah, denda uang, atau larangan bermain buat mereka yang melanggar aturan. Tapi apakah kehidupan keolahragaan semata dipusatkan pada urusan pahala dan dosa? Apakah Bale atau Neymar main bola semata untuk meraih piala sebanyak mungkin dan menghindari kartu-kartu merah sebisanya?
Tidak. Olahraga terpusat pada keindahan permainannya itu sendiri. Tendangan jarak jauhnya, top spin-nya, jumping smash-nya, sportivitasnya, persahabatannya, kebersamaannya. Ada hadiah dan sanksi hanyalah efek samping. Ada Pele bisa melegenda kan bukan karena ambisi meraih Jules Rimet Cup, namun memperindah dirinya sendiri (sehingga akhirnya bisa memperindah sepakbola secara umum).
Aku kira, faktor inilah yang membuat murid-murid SIS itu beda. Pendidikan dipusatkan pada kehidupan mereka masing-masing, dan bagaimana bisa ditingkatkan—bukan pada kewajiban meraih nilai dan rengking sekian serta aneka macam ketuntasan-ketuntasan, lalu ancaman-ancaman mengerikan jika bolos sekian hari, telat sekian menit, etc. Sekolahan kan bukan semacam kamp Auschwitz!
Dan yang patut ditiru sekolah-sekolah adalah event author visit itu. Tidak cuman author tentu. Bisa arsitek, dokter, artis, seniman, tentara, polisi, tokoh politik, dan apapun jenis expert. Bukan untuk mengisi kuliah umum, seminar, lokakarya, atau workshop yang serba formal (dan ngecharge peserta sekian ratus rebu!), namun semata datang berkunjung untuk cerita-cerita dan menginspirasi.
Dulu, sekian puluh tahun aku jadi murid dan mahasiswa, nggak pernah satu kalipun diketemukan di sekolah dan kampus dengan tokoh yang berbagi ilmu dan menginspirasi. Ada satu kali dengan Pak Eduard Depari (waktu itu PR RCTI). Itupun cuman pas ada malam inagurasi dan Pak Eduard datang lalu ngasih sambutan “Kalo RCTI oke, STIK juga oke!”, yang disambut gemuruh tepuk tangan warga satu stadion!
Harusnya, dalam satu tahun ajaran, sekolah mengagendakan dua-tiga kali expert visit. Satu, selingan menyegarkan dari rutinitas. Dua, murid bisa mendapat akses langsung dengan sang expert dan mulai merintis karier dengan bimbingannya. Dan ketiga, inspirasi dan imajinasi yang dibawa sang expert jauh lebih bernilai dari ijazah secumlaude apapun.

Dan untuk itu, Rumah Media LeSPI siap memfasilitasi (promo).

0 komentar:

Posting Komentar