Baru aja aku selesai baca sebuah
buku spesial tulisan Bre Redana. Judulnya Body, Mind, Spirit: Aku Bersilat,
Maka Aku Ada terbitan penerbit Kompas. Buku ini terbit Januari 2013 lalu, tapi
aku sudah membacanya sebelum terbit berkat sebuah koneksi khusus!
Pada dasarnya, buku ini berkisah
soal pengalaman si penulis menjadi murid perguruan silat Bangau Putih, terutama
interaksinya dengan Gunawan Rahardja, Guru Besar generasi kedua Bangau Putih.
Di tangan Guru—demikian ia biasa disebut—ilmu silat (ya, yang ada di Api di
Bukit Menoreh atau Senopati Pamungkas itu!) direvolusi sedemikian rupa sehingga
menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gerakan menghancurkan lawan dan membela diri.
Penekanannya lebih kepada, itu
tadi, body, mind, and spirit (disingkat BMS) dan penggunaannya untuk scope
kehidupan yang lebih luas, yaitu hidup
itu sendiri. Dan bukan semata-mata hanya demi seni bela diri, olah raga, atau
apalagi hanya demi bekal kemampuan yang ditunjukkan di acara-acara komunitas di
TV untuk meng-impress cewek-cewek!
Tubuh dipahami dan digunakan
sesuai dengan hukum dan fungsi alamiahnya. Pikiran dikondisikan untuk
melaksanakan inti ajaran pasrah yang lebih menghayati proses ketimbang
terobsesi tujuan akhir. Dan spirit diartikan sebagai semangat, dalam bahasa
Jawa disebut “niat ingsun” alias kekuatan kehendak yang mendasari seluruh
aktivitas (yang dilatih dalam ibadah syariat lewat lafal niat tiap-tiap kali
hendak salat lima waktu).
Dalam soal tubuh, kita diajari
untuk menggunakan tiap organ dalam badan kita sesuai keperluan saja. Misal pas
menyetir, ya yang gerak cukup kedua tangan dan kaki tok. Bagian tubuh lain
harus dirilekskan. Saat berjalan, rasakan kedua kaki melangkah, sementara yang
bukan kaki boleh istirahat. Istilahnya, biar badan ngaso terbawa maju kaki.
Dengan cara begitu, kita bisa berjalan kaki jarak jauh tanpa merasa capek atau
pegel-pegel.
Pikiran dikondisikan untuk lebih
fokus pada proses, bukan tujuan. Misal pas nyetir menuju ke satu acara penting
tiba-tiba terjebak macet parah, ya sudah, lupakan tujuan. Nggak usah panik atau
setres. Sudah kadung macet, mau bagaimana lagi? Rileks aja. Lakukan apa yang
bisa dilakukan untuk mengatasi saat-saat macet sampai selesai.
Soal gimana ntar kalau ada
apa-apa karena nggak bisa hadir di acara, pasrahkan saja pada Yang Kuasa. Kan
memang di luar kekuasaan kita. Mau kekejer pun percuma. Kadang kepasrahan total
saat pikiran absen seperti itu justru menghadirkan outcome alias hasil yang tak
terduga-duga. Misal pas akhirnya bisa sampai (tapi telat) di lokasi acara,
dikasih tahu teman yang sudah lebih dulu datang, “Untung kamu nggak ikut.
Makanannya nggak beres. Tuh, semua pada keracunan!”.
Maka saat menjalani laku hidup,
jalankan apapun secara alamiah saja. Jangan pikirkan tujuannya kelak akan
ngapain, ke mana, sama siapa, di mana, bagaimana, kenapa (5W+1H). Dalam contoh
latihan silat, saat menjatuhkan lawan dengan geseran kaki sederhana, geserkan
saja kaki dari titik A ke titik B tanpa ternodai tujuan atau ambisi untuk harus
bisa menjatuhkan lawan.
Dalam buku itu dikisahkan, saat
badan bergerak alamiah tanpa ternoda pemikiran hasil, lawan jatuh tersungkur
mengenaskan seperti didorong dengan tenaga dalam mahadahsyat. Tapi ketika
diulangi lagi, geseran yang sama nggak membawa hasil. Kegagalan terjadi ketika
si pesilat sudah memiliki pikiran atau ambisi untuk harus atau merasa bisa
menjatuhkan lawan.
Dan itu semua didahului dengan
spirit atau niat yang jelas terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang
baik. Tapi kemudian niat harus dihilangkan agar tidak berubah menjadi pikiran
yang mengobsesikan tujuan akhir.
Niatkan saja untuk, misalnya,
menjadi penulis guna menyebarkan hal-hal baik buat orang (dan bukannya untuk
kaya raya lewat buku best-seller). Lalu sudah, mulai menulis biasa saja secara
alamiah tanpa perlu mikir ini akan ke penerbit mana, gimana kalau ditolak,
gimana kalau jelek, etc.
Saat pikiran absen dari
memikirkan tujuan dan hasil, maka hasil akan mengikuti secara alami, mirip
lawan tanding yang jatuh tersungkur tadi. Tapi jika terlalu berharap dan terlalu
terbebani hasil, umumnya malah nggak akan ketemu. Gagal, lalu stres, lalu
nyari-nyari obat nyamuk, tali gantungan, guillotine, peniti, de-el-el.
Dan ini membawa kita menuju
banyak pemikiran baru.
Mengapa terobsesi untuk harus
bisa jadian sama si doi? Lakukan saja kebaikan terhadapnya secara alamiah,
nanti dia pasti “tersungkur” secara alamiah juga. Kalaupun gagal, pasti karena
Tuhan tahu dia bukan yang terbaik buat kita, sehingga nanti akan diganti dengan
yang, belum tentu paling cantik/ganteng, tapi jelas lebih baik.
Mengapa takut menyuarakan
pendapat yang berlawanan dengan opini umum atau bahkan pemikiran atasan di
kantor? Pasti karena khawatir memunculkan konflik, lalu ujung-ujungnya dipecat.
Kalau dipecat dan jadi pengangguran mendadak, mau makan pake apa? Sekrup?
Terlebih karena pada zaman ini sungguh sangat sulit nyari kerjaan.
Jika semua dilakukan secara
alamiah dengan niat baik untuk memberi kebaikan (dan bukan, misalnya, biar
dikira pinter), pasti orang-orang akan bisa menerima. Seandainyapun enggak, dan
kita terpaksa pergi, percayalah, dunia nggak akan lantas kiamat. Nggak ada
orang yang kehilangan pekerjaan tetap lantas dua minggu kemudian dilarikan ke
UGD karena kelaparan gara-gara nggak ada duit buat beli bensin untuk ke mini
market beli tusuk gigi!
Keadaan nggak akan pernah jadi
seburuk yang kita bayangkan. Tuhan punya semiliar lebih cara untuk menolong.
Tapi dalam banyak kasus, kita bahkan tak perlu ditolong sama sekali, karena
pasti akan ada keajaiban-keajaiban kecil yang membuat keadaan membaik, atau
malah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Dan sampai kita punya keberanian
untuk meninggalkan comfort zone menuju “terra incognita” dalam hidup, kita juga
nggak akan pernah bertemu muka dengan keajaiban-keajaiban itu. Most people
nggak berani. Takut sengsara. Makanya benar ungkapan “extraordinary things
happen to extraordinary people”. Dan banyak yang menolak untuk jadi
extraordinary. “Ya wis ngene iki wae wis apik lah...!”, lalu mandi.
Setelah baca buku BMS, kita akan
tahu bahwa proses adalah malaikat dan hasil adalah iblis. Mau lebih dekat ke
sisi mana, pilihannya ada pada diri kita masing-masing. Normalnya, memang lebih
gampang dekat ke sisi iblis. Belum mulai kerja, sudah terbayang-bayang
keindahan hasil atau dihantui ketakutan akan kegagalan. Malah ada yang hidup
semata-mata demi hasil tertentu—harus jadi kaya (setelah baca buku
motivasi!)—lalu melangkah juga semata-mata demi mewujudkan itu.
Hidup pun jauh dari bahagia
karena ada terlalu banyak hal yang dikhawatirkan dan ditakutkan. Padahal sebagaimana
yang diungkap dalam Ruang Cinta, bahagia bukan berasal dari faktor-faktor
eksternal, apalagi cuman yang seremeh temeh “terwujudnya hasil sesuai impian”,
melainkan dari diri sendiri. Harus kita tabung sendiri sejak awal, yaitu
sekarang—saat ini juga!
Caranya gimana?
Simpel aja, mirip slogan iklan
sepatu Nike, “just do it!”, dan lakukan apapun secara alamiah dengan niat baik.
Apa yang akan muncul kemudian nggak usah dipikir karena toh kita juga tidak
tahu. Tapi biasanya, yang kita nggak tahu itu akan muncul dalam bentuk
keajaiban.
Try this, and you’ll be
amazed...!
0 komentar:
Posting Komentar