scribo ergo sum

Kamis, 21 November 2013

Bodymindspirit

21:38 Posted by wiwien wintarto No comments

Baru aja aku selesai baca sebuah buku spesial tulisan Bre Redana. Judulnya Body, Mind, Spirit: Aku Bersilat, Maka Aku Ada terbitan penerbit Kompas. Buku ini terbit Januari 2013 lalu, tapi aku sudah membacanya sebelum terbit berkat sebuah koneksi khusus!
Pada dasarnya, buku ini berkisah soal pengalaman si penulis menjadi murid perguruan silat Bangau Putih, terutama interaksinya dengan Gunawan Rahardja, Guru Besar generasi kedua Bangau Putih. Di tangan Guru—demikian ia biasa disebut—ilmu silat (ya, yang ada di Api di Bukit Menoreh atau Senopati Pamungkas itu!) direvolusi sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gerakan menghancurkan lawan dan membela diri.

Penekanannya lebih kepada, itu tadi, body, mind, and spirit (disingkat BMS) dan penggunaannya untuk scope kehidupan yang lebih luas, yaitu hidup itu sendiri. Dan bukan semata-mata hanya demi seni bela diri, olah raga, atau apalagi hanya demi bekal kemampuan yang ditunjukkan di acara-acara komunitas di TV untuk meng-impress cewek-cewek!
Tubuh dipahami dan digunakan sesuai dengan hukum dan fungsi alamiahnya. Pikiran dikondisikan untuk melaksanakan inti ajaran pasrah yang lebih menghayati proses ketimbang terobsesi tujuan akhir. Dan spirit diartikan sebagai semangat, dalam bahasa Jawa disebut “niat ingsun” alias kekuatan kehendak yang mendasari seluruh aktivitas (yang dilatih dalam ibadah syariat lewat lafal niat tiap-tiap kali hendak salat lima waktu).
Dalam soal tubuh, kita diajari untuk menggunakan tiap organ dalam badan kita sesuai keperluan saja. Misal pas menyetir, ya yang gerak cukup kedua tangan dan kaki tok. Bagian tubuh lain harus dirilekskan. Saat berjalan, rasakan kedua kaki melangkah, sementara yang bukan kaki boleh istirahat. Istilahnya, biar badan ngaso terbawa maju kaki. Dengan cara begitu, kita bisa berjalan kaki jarak jauh tanpa merasa capek atau pegel-pegel.
Pikiran dikondisikan untuk lebih fokus pada proses, bukan tujuan. Misal pas nyetir menuju ke satu acara penting tiba-tiba terjebak macet parah, ya sudah, lupakan tujuan. Nggak usah panik atau setres. Sudah kadung macet, mau bagaimana lagi? Rileks aja. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi saat-saat macet sampai selesai.
Soal gimana ntar kalau ada apa-apa karena nggak bisa hadir di acara, pasrahkan saja pada Yang Kuasa. Kan memang di luar kekuasaan kita. Mau kekejer pun percuma. Kadang kepasrahan total saat pikiran absen seperti itu justru menghadirkan outcome alias hasil yang tak terduga-duga. Misal pas akhirnya bisa sampai (tapi telat) di lokasi acara, dikasih tahu teman yang sudah lebih dulu datang, “Untung kamu nggak ikut. Makanannya nggak beres. Tuh, semua pada keracunan!”.
Maka saat menjalani laku hidup, jalankan apapun secara alamiah saja. Jangan pikirkan tujuannya kelak akan ngapain, ke mana, sama siapa, di mana, bagaimana, kenapa (5W+1H). Dalam contoh latihan silat, saat menjatuhkan lawan dengan geseran kaki sederhana, geserkan saja kaki dari titik A ke titik B tanpa ternodai tujuan atau ambisi untuk harus bisa menjatuhkan lawan.
Dalam buku itu dikisahkan, saat badan bergerak alamiah tanpa ternoda pemikiran hasil, lawan jatuh tersungkur mengenaskan seperti didorong dengan tenaga dalam mahadahsyat. Tapi ketika diulangi lagi, geseran yang sama nggak membawa hasil. Kegagalan terjadi ketika si pesilat sudah memiliki pikiran atau ambisi untuk harus atau merasa bisa menjatuhkan lawan.
Dan itu semua didahului dengan spirit atau niat yang jelas terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik. Tapi kemudian niat harus dihilangkan agar tidak berubah menjadi pikiran yang mengobsesikan tujuan akhir.
Niatkan saja untuk, misalnya, menjadi penulis guna menyebarkan hal-hal baik buat orang (dan bukannya untuk kaya raya lewat buku best-seller). Lalu sudah, mulai menulis biasa saja secara alamiah tanpa perlu mikir ini akan ke penerbit mana, gimana kalau ditolak, gimana kalau jelek, etc.
Saat pikiran absen dari memikirkan tujuan dan hasil, maka hasil akan mengikuti secara alami, mirip lawan tanding yang jatuh tersungkur tadi. Tapi jika terlalu berharap dan terlalu terbebani hasil, umumnya malah nggak akan ketemu. Gagal, lalu stres, lalu nyari-nyari obat nyamuk, tali gantungan, guillotine, peniti, de-el-el.
Dan ini membawa kita menuju banyak pemikiran baru.
Mengapa terobsesi untuk harus bisa jadian sama si doi? Lakukan saja kebaikan terhadapnya secara alamiah, nanti dia pasti “tersungkur” secara alamiah juga. Kalaupun gagal, pasti karena Tuhan tahu dia bukan yang terbaik buat kita, sehingga nanti akan diganti dengan yang, belum tentu paling cantik/ganteng, tapi jelas lebih baik.
Mengapa takut menyuarakan pendapat yang berlawanan dengan opini umum atau bahkan pemikiran atasan di kantor? Pasti karena khawatir memunculkan konflik, lalu ujung-ujungnya dipecat. Kalau dipecat dan jadi pengangguran mendadak, mau makan pake apa? Sekrup? Terlebih karena pada zaman ini sungguh sangat sulit nyari kerjaan.
Jika semua dilakukan secara alamiah dengan niat baik untuk memberi kebaikan (dan bukan, misalnya, biar dikira pinter), pasti orang-orang akan bisa menerima. Seandainyapun enggak, dan kita terpaksa pergi, percayalah, dunia nggak akan lantas kiamat. Nggak ada orang yang kehilangan pekerjaan tetap lantas dua minggu kemudian dilarikan ke UGD karena kelaparan gara-gara nggak ada duit buat beli bensin untuk ke mini market beli tusuk gigi!
Keadaan nggak akan pernah jadi seburuk yang kita bayangkan. Tuhan punya semiliar lebih cara untuk menolong. Tapi dalam banyak kasus, kita bahkan tak perlu ditolong sama sekali, karena pasti akan ada keajaiban-keajaiban kecil yang membuat keadaan membaik, atau malah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Dan sampai kita punya keberanian untuk meninggalkan comfort zone menuju “terra incognita” dalam hidup, kita juga nggak akan pernah bertemu muka dengan keajaiban-keajaiban itu. Most people nggak berani. Takut sengsara. Makanya benar ungkapan “extraordinary things happen to extraordinary people”. Dan banyak yang menolak untuk jadi extraordinary. “Ya wis ngene iki wae wis apik lah...!”, lalu mandi.
Setelah baca buku BMS, kita akan tahu bahwa proses adalah malaikat dan hasil adalah iblis. Mau lebih dekat ke sisi mana, pilihannya ada pada diri kita masing-masing. Normalnya, memang lebih gampang dekat ke sisi iblis. Belum mulai kerja, sudah terbayang-bayang keindahan hasil atau dihantui ketakutan akan kegagalan. Malah ada yang hidup semata-mata demi hasil tertentu—harus jadi kaya (setelah baca buku motivasi!)—lalu melangkah juga semata-mata demi mewujudkan itu.
Hidup pun jauh dari bahagia karena ada terlalu banyak hal yang dikhawatirkan dan ditakutkan. Padahal sebagaimana yang diungkap dalam Ruang Cinta, bahagia bukan berasal dari faktor-faktor eksternal, apalagi cuman yang seremeh temeh “terwujudnya hasil sesuai impian”, melainkan dari diri sendiri. Harus kita tabung sendiri sejak awal, yaitu sekarang—saat ini juga!
Caranya gimana?
Simpel aja, mirip slogan iklan sepatu Nike, “just do it!”, dan lakukan apapun secara alamiah dengan niat baik. Apa yang akan muncul kemudian nggak usah dipikir karena toh kita juga tidak tahu. Tapi biasanya, yang kita nggak tahu itu akan muncul dalam bentuk keajaiban.

Try this, and you’ll be amazed...!

0 komentar:

Posting Komentar