Ada artikel menarik yang barusan
kubaca di Cracked tentang 10 pelajaran yang harusnya diajarkan di
sekolah. Pelajaran-pelajaran ini sangat penting dalam hidup, tapi entah kenapa
malah justru tersisih oleh acara hapalan-hapalan aneh yang tidak berkontribusi
apapun dalam kehidupan seseorang selewat umur 25 dalam melewati kejamnya dunia.
Yang nulis orang Amerika, tapi
yang ditulisnya berlaku universal, termasuk kita di sini. Beberapa di antaranya
sangat menggugah. Silakan dibaca sendiri. Aku lebih tertarik untuk menekankan
satu saja, yaitu bahwa salah satu rahasia sukses adalah kebetulan dan
keberuntungan.
Banyak orang sukses berkeliaran
di sekitar kita. Mulai tokoh politik, tokoh masyarakat, motivator kekayaan,
hingga kerabat kaya raya (jika definisi kita akan kata “sukses” cukup dihitung
dengan mobil dan rumah!). Orang-orang sukses ini selalu memiliki tiga hal yang
jadi kunci rahasia keberhasilan, tapi salah satunya pasti nggak pernah disebut
oleh mereka, yaitu:
- Talenta.
- Kerja keras.
- Ketemu secara acak dengan
orang penting (dalam bidangnya, bukan yang harus berbentuk pejabat, ulama,
etc.) dan berhasil memunculkan kesan baik.
Dalam berbagai buku biografi,
otobiografi, atau buku-buku motivasi dan self-improvement (terutama yang
menyuruh orang untuk jadi kaya raya!), para tokoh selalu hanya mengungkap dua
hal pertama. Menonjolkan tekad, unsur hebat, dan perjuangan keras agar bisa
menginspirasi para pembaca “untuk meraih hal serupa”.
Namun hampir tak ada yang
menjelaskan bahwa titik tolak paling krusial kesuksesan mereka hanyalah berupa
hal yang absurd dan sesimpel “pas jadi buruh tukang kayu dan kebetulan nggarap
kerjaan di rumah seorang sutradara kenamaan lalu jadi teman baik” dan
seterusnya. Tentu yang semacam ini akan mementahkan daya penting sang tokoh
dalam menjelaskan secara logis latar belakang kesuksesannya.
Padahal justru itu yang
terpenting. (Secara kebetulan, tentu) bertemu dengan orang penting dan berhasil
memberikan kesan baik untuknya adalah pintu masuk menuju bidang yang akan membesarkan
nama kita. Skill individu (talenta) dan kerja keras hanyalah babak lanjutan
dari pertemuan acak itu.
Mengapa acak dan kebetulan?
Karena hal ini tidak bisa direncanakan secara linear dan lalu berjalan mulus
seperti direncanakan. Kalau Anda warga desa terpencil yang ingin jadi penyanyi,
inginnya pasti berangkat merantau ke Jakarta untuk bertamu ke rumah Ahmad Dhani
atau Anang lalu minta diaudisi menjadi penyanyi. Mereka terkesan mendengar
suara Anda lalu langsung menawarkan kontrak rekaman. Asik kan?
Ya. Untuk mereka-mereka yang
berpandangan utopis dan mengharap hidup akan lempeng-lempeng saja. Selalu
indah, bersih, putih suci, nyaman, sempurna, dll.
Tapi dunia nyata nggak berjalan
semulus dan selempeng itu. Coba aja sendiri sana bertamu ke rumah Ahmad Dhani,
Mario Teguh, atau Karni Ilyas untuk “ngangsu kawruh supados saget kados
panjenenganipun” (menimba ilmu agar dapat sepertimu). Masih untung jika ndak
disangka sales ginko biloba lalu disuruh nyari rumah lain!
Yang lebih sering terjadi adalah,
ujug-ujug, out of nowhere, pada saat kita unprepared dan unaware, kita
dipertemukan dengan seseorang yang memegang kunci menuju pintu sukses kita. Dan
kunci berikutnya yang terpenting adalah, kita berhasil memberi kesan baik
sehingga dia masih mau bertemu dengan kita lagi (sehingga memungkinkan bagi
kita untuk menunjukkan kapasitas kita padanya, lalu kita “diajak menuju sesuatu
yang penting”).
Dan hampir mustahil yang kita
temui adalah sejenis orang terpandang luas seperti Ayah Edy, Ade Rai, atau
Rahmad Darmawan, yang bikin kita bisa langsung siap dan menyiapkan diri. Yang
lebih sering terjadi, kita ketemu yang orangnya terlihat biasa-biasa saja,
nggak penting, bahkan nggak sepiroo, sehingga sikap yang keluar dari kita
adalah kewajaran natural kita.
Mungkin nggak menganggap penting
atau bisa saja menyepelekan. Attitude negatif kita itu pun membuatnya nggak
terkesan dan nggak mau berurusan lagi ama kita. Pintu menuju kesukesan telah
dengan sukses kita gembok sendiri!
Maka daripada mengambil risiko
melewatkan orang-orang ini, adalah penting untuk kembali ke ajaran dasar:
hormati semua orang, tanpa kecuali. Jangan cuman hormat pada atasan, nasabah
yang bawa dana besar, atau orang bermobil mewah, tapi juga ABG dan anak-anak
kecil. Pukul rata, salah satu di antaranya pasti adalah Key Person ini,
siapapun dia.
Dongeng tukang kayu di atas
bukanlah cerita khayalan, tapi true story dari salah seorang bintang besar
Hollywood. Bertahun-tahun berakting tanpa hasil, ia frustrasi dan pensiun dini
untuk menjadi tukang kayu. Satu saat, ia dapet order kerjaan di rumah seorang
sutradara besar.
Sikapnya yang baik membuat sang
sutradara terkesan dan berteman dengannya, lalu ia mendapat tawaran peran di
salah satu film besar sutradara itu. Ia bernama Harrison Ford. Sutradara itu
adalah George Lucas. Dan peran yang merupakan hasil dari pertemanan itu adalah
Han Solo, di film Star Wars. Nggak akan ada Harisson Ford tanpa Han Solo. Dan
nggak akan ada Han Solo jika nggak ada… itu tadi.
Tentu nggak ada resep jitu
bagaimana agar dipertemukan dengan sang Key Person. Itu sepenuhnya hak
prerogratif Tuhan. Tapi jalan awal paling gampang adalah dengan berkumpul
dengan orang-orang yang satu minat. Pas masih on air di IBC dulu tiap Senin
pukul 9 malem, aku mengungkap trik jitu agar buku bisa terbit adalah dengan
gabung di komunitas-komunitas menulis.
Di komunitas kita bisa sharing
ilmu dan semangat. Lalu, cepat atau lambat, kita akan bertemu orang-orang yang
memegang posisi kunci dalam suatu hal. Bisa di penerbitan, panitia lomba nulis,
atau pimpro event-event sastra semacam bikin kumpulan cerpen atau puisi yang
memulai kalimatnya dengan pertanyaan semacam “Eh, mau nggak…?”.
Aku sendiri, jika dalam berbagai
event kepenulisan ditanya bagaimana akhirnya bisa menerbitkan buku, jawabanku
pasti nggak jauh-jauh dari unsur “eh mau nggak” itu. Memang begitu sejarahnya.
Bukan yang editor penerbit membaca naskahku lalu bercucuran air mata saking
begitu dahsyatnya novelku lalu diterbitkan lalu best-seller internasional lalu
aku ikut main di film yang didasarkan atas novelku! (ngimpi)
Dan itu balik lagi ke pelajaran
yang kelupaan diajarkan di sekolah tadi: secara acak bertemu orang penting dan
kita berhasil menumbuhkan kesan baik. Otherwise, it’ll be a dead end for
ourselves…
0 komentar:
Posting Komentar