Masih melanjutkan analisis
tentang sinetron alias serial TV, kali ini kita akan melihat secara lebih
detail hasil pengamatanku terhadap sinetron Hollywood—kalau di sana nyebutnya
TV series, bukan eleccin atau electronic cinema. Serial TV Amerika mendunia
bukan tanpa alasan. Bukan kebetulan dapat “hidayah” atau semata “konspirasi
Wahyudi”!
Yang paling awal saja, mereka
menjadi subjek bagi rating Nielsen, bukan sebaliknya. Di sini, para sineas
sinetron semata “manut rating” sehingga betul-betul patuh buta secara dogmatis.
Jika kebetulan dilempar tempe bengek dan banyak yang beli, sontak muncul fatwa
“buatlah HANYA tempe bengek karena lagi disuka!”, tanpa membuka keran wacana
bahwa bisa saja orang rame-rame beli tempe bengek karena memang cuman ada itu
di pasar.
Kita akan lihat bagaimana para
sineas TV Amerika menyempurnakan konsep sejak dari visi di kepala mereka
sehingga apapun yang mereka jual 75% berkemungkinan menghasilkan angka rating
bagus. Ngelmu Hermawan Kartajaya-nya adalah, mau jualan wedhus dipupuri
(kambing dibedaki) sekalipun kalau strategi marketingnya jempolan, pasti akan
laku.
Konsep terpenting dari produksi
sinetron Hollywood adalah kerapian. Seluruh aspek digarap secara rapi, sejak
dari periode tayang, sistem produksi, dan unsur-unsur kreatifnya. Ketika
segalanya rapi, apapun bisa dilakukan dengan lebih runtut dan konstruktif. Dan
ini kesepakatan di antara jaringan-jaringan TV nasional sana (di sana nyebutnya
“network”, dan bukan “stasiun TV”). Mirip 18 klub peserta ISL yang menyepakati
satu set aturan bersama dalam format kompetisi mereka agar kompetisinya lancar
dan lebih mudah digelar.
Tiga network TV terrestrial
sana—ABC, NBC, dan CBS (lalu ditambahi Fox)—menayangkan sinetron dalam
periodisasi yang sama. Dalam penayangan model seasonal (musiman), satu judul
serial umumnya tayang permusim sejak September (atau Oktober) hingga Mei tahun
berikutnya.
Dari Mei hingga September
(seperti sekarang ini), serial-serial itu hiatus (libur sementara). Serial
dengan rating nomor 1 musim 2012-13 ini, NCIS, menutup musim kesepuluhnya 28
Mei 2013 lalu dan akan melakukan premiere musim kesebelas tanggal 4 September
lalu. Warga menunggu berdebar-debar menunggu season premiere ini karena
biasanya episode terakhir tiap musim ditutup dengan cliffhanger.
Dengan periodisasi yang sama,
maka segala hal pun bisa dilakukan dengan runtut dan rapi, termasuk renegosiasi
kontrak (pemain dan kru), planning konsep produksi untuk musim selanjutnya,
tahap-tahap produksi di tingkat lapangan, dan strategi marketing network dalam
memainkan banyak hal di tingkat media massa untuk promo dan publikasi.
Dalam hal produksi, kerapian
nampak sejak dari jumlah episode. Karena tayang dalam rentang waktu yang sudah
ditentukan, jumlah episode pun relatif bermiripan, antara 22 hingga 24
(perkecualian adalah serial baru Hannibal yang disepakati tiap musim hanya
berjumlah 13 episode). Dengan jumlah episode yang sudah direncanakan sejak
awal, pembagian tugas kru pun bisa ditentukan dengan mudah.
Seorang sutradara (dan penulis
naskah) tidak memegang semua episode. Dalam semusim, seorang sutradara berbagi
jadwal directing dengan 3-4 sutradara lainnya, masing-masing diperbolehkan
menghadirkan sentuhan khas sendiri-sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk
penulis skenario. Agar sentuhan khas itu nggak jadi liar dan semau gue,
produser bertugas untuk menghaluskannya, baik lewat briefing sebelum produksi
atau revisi pascaproduksi.
Di sisi kreatif, kerapian bisa
kita rasakan dari cara penulis naskah menyusun konsep cerita. Satu musim kadang
bahkan membawa satu tema besar tersendiri. Sebagai contoh, musim ke-10 NCIS
bertema “fallen heroes” alias pahlawan yang terbuang. Sebagian besar dari 24
episodenya berkisah tentang sosok-sosok pahlawan (biasanya tentara AL atau
Marinir) yang tak mendapat apa yang layak mereka terima atas pengabdian
patriotik mereka.
Beberapa episode bercerita
tentang para tentara yang jadi ruwet setelah bertugas di Irak atau Afghanistan
dan terkena PTSD (post-traumatic stress disorder). Ada juga kisah Eli David (Michael
Nouri), Direktur Mossad, dan Leon Vance (Rocky Carroll), Direktur NCIS, yang
tertimpa musibah. Eli tewas ditembaki teroris sedang Leon kehilangan Jackie
(Paula Newson), isterinya, yang juga tewas dalam insiden yang sama.
Satu lagi yang disusun dengan
rapi adalah konstruksi ceritanya. Tiap musim tersusun atas dua jenis episode
berbeda, yaitu standalone (satu episode tamat dan ceritanya tak saling
berkaitan) dan yang berbentuk satu story-arc tertentu (satu tema cerita lebih
besar yang dituturkan secara berurutan dalam beberapa episode sekaligus).
Sebagai contoh, musim kesembilan
(musim terakhir) CSI: New York memuat alur cerita besar tentang kondisi Mac
Taylor (Gary Sinise) dan hubungan cintanya dengan Christine Whitney (Megan
Dodds). Cliffhanger musim kedelapan berisi adegan Mac yang berada dalam kondisi
kritis setelah ditembak. Musim kesembilan berkisah tentang Mac yang bangun dari
koma tapi terkena aphasia sehingga kerap melupakan banyak hal sepele seperti
warna merah atau ijo.
Unsur cerita ini menjadi warna
latar belakang di semua episode, diawali dari Jo Danville (Sela Ward) yang
curiga karena Mac sering bengong, Mac yang sewot karena menilai Jo mencampuri
urusan pribadinya, hingga ke pertengkaran Mac dan Christine soal penerimaan dan
saling percaya.
Cerita besar ditutup dengan
lamaran Mac pada Christine di episode ke-17 (season terakhir hanya berisi 17
episode, bukan 24 seperti season-season sebelumnya), lalu CSI: NY tancep kayon
setelah tayang sejak 2004. Sinetron induknya sendiri, CSI: Crime Scene
Investigation, masih terus tayang dan awal September lalu memulai musim ke-14
dengan lanjutan cliffhanger musim ke-13 saat Morgan Brodie (Elizabeth Harnois)
diculik teroris.
Sekali lagi, ketika segala
sesuatu dikerjakan dengan rapi dan runtut sehingga ada time table jadwal yang
jelas (dan nggak dikejar-kejar deadline sabendina), hasilnya pun 80% pasti
berkemungkinan untuk lebih matang secara kualitas. Dan kerapian membuat konsep
demi konsep bisa dimainkan secara maksimal demi penerimaan pemirsa alias rating.
Di sepakbola, hasil akhir
prestasi sebuah tim juga bisa diprediksi melihat dari konsepnya. Dengan
komposisi pemain sekuat MU, metode latihan yang bagus, tempat latihan yang oke,
dan kepemimpinan dari manajer sekelas Moyes, nggak akan mungkin MU pada akhir
musim kelak rak payu dan tedegradasi.
Intinya, result pada saat nanti
sudah bisa diciptakan sejak sekarang. Nggak semata main kaku kayak zombie dan
ketika dengan formasi 4-3-2-1 tim bisa menang, pertandingan selanjutnya cuman
main pakai format ituuuuu terus dengan alasan “lha bisa menang owk!”, lalu
ketika sekalinya kalah, timnya langsung disuruh bubar!
0 komentar:
Posting Komentar