scribo ergo sum

Kamis, 19 September 2013

Langsung Disuruh Bubar

22:16 Posted by wiwien wintarto No comments

Masih melanjutkan analisis tentang sinetron alias serial TV, kali ini kita akan melihat secara lebih detail hasil pengamatanku terhadap sinetron Hollywood—kalau di sana nyebutnya TV series, bukan eleccin atau electronic cinema. Serial TV Amerika mendunia bukan tanpa alasan. Bukan kebetulan dapat “hidayah” atau semata “konspirasi Wahyudi”!
Yang paling awal saja, mereka menjadi subjek bagi rating Nielsen, bukan sebaliknya. Di sini, para sineas sinetron semata “manut rating” sehingga betul-betul patuh buta secara dogmatis. Jika kebetulan dilempar tempe bengek dan banyak yang beli, sontak muncul fatwa “buatlah HANYA tempe bengek karena lagi disuka!”, tanpa membuka keran wacana bahwa bisa saja orang rame-rame beli tempe bengek karena memang cuman ada itu di pasar.
Kita akan lihat bagaimana para sineas TV Amerika menyempurnakan konsep sejak dari visi di kepala mereka sehingga apapun yang mereka jual 75% berkemungkinan menghasilkan angka rating bagus. Ngelmu Hermawan Kartajaya-nya adalah, mau jualan wedhus dipupuri (kambing dibedaki) sekalipun kalau strategi marketingnya jempolan, pasti akan laku.
Konsep terpenting dari produksi sinetron Hollywood adalah kerapian. Seluruh aspek digarap secara rapi, sejak dari periode tayang, sistem produksi, dan unsur-unsur kreatifnya. Ketika segalanya rapi, apapun bisa dilakukan dengan lebih runtut dan konstruktif. Dan ini kesepakatan di antara jaringan-jaringan TV nasional sana (di sana nyebutnya “network”, dan bukan “stasiun TV”). Mirip 18 klub peserta ISL yang menyepakati satu set aturan bersama dalam format kompetisi mereka agar kompetisinya lancar dan lebih mudah digelar.
Tiga network TV terrestrial sana—ABC, NBC, dan CBS (lalu ditambahi Fox)—menayangkan sinetron dalam periodisasi yang sama. Dalam penayangan model seasonal (musiman), satu judul serial umumnya tayang permusim sejak September (atau Oktober) hingga Mei tahun berikutnya.
Dari Mei hingga September (seperti sekarang ini), serial-serial itu hiatus (libur sementara). Serial dengan rating nomor 1 musim 2012-13 ini, NCIS, menutup musim kesepuluhnya 28 Mei 2013 lalu dan akan melakukan premiere musim kesebelas tanggal 4 September lalu. Warga menunggu berdebar-debar menunggu season premiere ini karena biasanya episode terakhir tiap musim ditutup dengan cliffhanger.
Dengan periodisasi yang sama, maka segala hal pun bisa dilakukan dengan runtut dan rapi, termasuk renegosiasi kontrak (pemain dan kru), planning konsep produksi untuk musim selanjutnya, tahap-tahap produksi di tingkat lapangan, dan strategi marketing network dalam memainkan banyak hal di tingkat media massa untuk promo dan publikasi.
Dalam hal produksi, kerapian nampak sejak dari jumlah episode. Karena tayang dalam rentang waktu yang sudah ditentukan, jumlah episode pun relatif bermiripan, antara 22 hingga 24 (perkecualian adalah serial baru Hannibal yang disepakati tiap musim hanya berjumlah 13 episode). Dengan jumlah episode yang sudah direncanakan sejak awal, pembagian tugas kru pun bisa ditentukan dengan mudah.
Seorang sutradara (dan penulis naskah) tidak memegang semua episode. Dalam semusim, seorang sutradara berbagi jadwal directing dengan 3-4 sutradara lainnya, masing-masing diperbolehkan menghadirkan sentuhan khas sendiri-sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk penulis skenario. Agar sentuhan khas itu nggak jadi liar dan semau gue, produser bertugas untuk menghaluskannya, baik lewat briefing sebelum produksi atau revisi pascaproduksi.
Di sisi kreatif, kerapian bisa kita rasakan dari cara penulis naskah menyusun konsep cerita. Satu musim kadang bahkan membawa satu tema besar tersendiri. Sebagai contoh, musim ke-10 NCIS bertema “fallen heroes” alias pahlawan yang terbuang. Sebagian besar dari 24 episodenya berkisah tentang sosok-sosok pahlawan (biasanya tentara AL atau Marinir) yang tak mendapat apa yang layak mereka terima atas pengabdian patriotik mereka.
Beberapa episode bercerita tentang para tentara yang jadi ruwet setelah bertugas di Irak atau Afghanistan dan terkena PTSD (post-traumatic stress disorder). Ada juga kisah Eli David (Michael Nouri), Direktur Mossad, dan Leon Vance (Rocky Carroll), Direktur NCIS, yang tertimpa musibah. Eli tewas ditembaki teroris sedang Leon kehilangan Jackie (Paula Newson), isterinya, yang juga tewas dalam insiden yang sama.
Satu lagi yang disusun dengan rapi adalah konstruksi ceritanya. Tiap musim tersusun atas dua jenis episode berbeda, yaitu standalone (satu episode tamat dan ceritanya tak saling berkaitan) dan yang berbentuk satu story-arc tertentu (satu tema cerita lebih besar yang dituturkan secara berurutan dalam beberapa episode sekaligus).
Sebagai contoh, musim kesembilan (musim terakhir) CSI: New York memuat alur cerita besar tentang kondisi Mac Taylor (Gary Sinise) dan hubungan cintanya dengan Christine Whitney (Megan Dodds). Cliffhanger musim kedelapan berisi adegan Mac yang berada dalam kondisi kritis setelah ditembak. Musim kesembilan berkisah tentang Mac yang bangun dari koma tapi terkena aphasia sehingga kerap melupakan banyak hal sepele seperti warna merah atau ijo.
Unsur cerita ini menjadi warna latar belakang di semua episode, diawali dari Jo Danville (Sela Ward) yang curiga karena Mac sering bengong, Mac yang sewot karena menilai Jo mencampuri urusan pribadinya, hingga ke pertengkaran Mac dan Christine soal penerimaan dan saling percaya.
Cerita besar ditutup dengan lamaran Mac pada Christine di episode ke-17 (season terakhir hanya berisi 17 episode, bukan 24 seperti season-season sebelumnya), lalu CSI: NY tancep kayon setelah tayang sejak 2004. Sinetron induknya sendiri, CSI: Crime Scene Investigation, masih terus tayang dan awal September lalu memulai musim ke-14 dengan lanjutan cliffhanger musim ke-13 saat Morgan Brodie (Elizabeth Harnois) diculik teroris.
Sekali lagi, ketika segala sesuatu dikerjakan dengan rapi dan runtut sehingga ada time table jadwal yang jelas (dan nggak dikejar-kejar deadline sabendina), hasilnya pun 80% pasti berkemungkinan untuk lebih matang secara kualitas. Dan kerapian membuat konsep demi konsep bisa dimainkan secara maksimal demi penerimaan pemirsa alias rating.
Di sepakbola, hasil akhir prestasi sebuah tim juga bisa diprediksi melihat dari konsepnya. Dengan komposisi pemain sekuat MU, metode latihan yang bagus, tempat latihan yang oke, dan kepemimpinan dari manajer sekelas Moyes, nggak akan mungkin MU pada akhir musim kelak rak payu dan tedegradasi.

Intinya, result pada saat nanti sudah bisa diciptakan sejak sekarang. Nggak semata main kaku kayak zombie dan ketika dengan formasi 4-3-2-1 tim bisa menang, pertandingan selanjutnya cuman main pakai format ituuuuu terus dengan alasan “lha bisa menang owk!”, lalu ketika sekalinya kalah, timnya langsung disuruh bubar!

0 komentar:

Posting Komentar