scribo ergo sum

Jumat, 16 Agustus 2013

Musiman & Mini Seri

13:29 Posted by wiwien wintarto 1 comment

Secara kualitas penulisan, novel teranyarku Fade in Fade out (FIFO) terbuka untuk diperdebatkan dan dikritisi. Itu hal yang lumrah dalam dunia sastra. Namun satu hal yang harus dipikir bareng adalah tematiknya tentang sinetron. Buat pemerhati—dan bukan sekadar penonton pasif—pastilah tahu banget problem mendasar persinetronan kita. Dan sebagai pemilik sah frekuensi TV, jelas kita layak menggugat: akankah terus uang menjajah kesenian?
Ketika semua perbuatan dilihat dari niatnya, terang ada sesuatu yang sangat salah pada geliat industri televisi kita, terutama dalam soal sinetron. Eksplorasi seni termarjinalisasi, karena semua hanya bermuara pada hitungan rupiah. Dan terhadap tudingan pada stasiun TV dan PH, rating AC Nielsen menjadi kambing hitam. Mirip anak kecil yang ketika dimarahi, mendadak menuding teman sebelahnya sambil bilang, “Dia duluan yang mulai!”.
Padahal akar masalah bisa dicari dari sistem tayang yang dianut sinetron kita, yang mengaplikasi model opera sabun daytime ala Amerika Serikat dan telenovela Amerika Latin. Soap opera seperti The Bold & the Beautiful, Santa Barbara, atau Knots Landing (semua pernah tayang di TV Indonesia) tayang siang hari secara stripping (tiap hari) dalam bentuk serial bersambung tanpa batas waktu.


Jumlah episode serial-serial itu bisa berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Serial drama terlama, Guiding Light, bahkan tayang selama 43 tahun (1952-2008) dalam 2.800 episode (versi drama radionya dimulai sejak 1937). Tak ada story arc (kesatuan cerita yang selesai secara bulat), melainkan plot-plot yang saling berkelindan satu sama lain dan ditutup atau dibiarkan terus terbuka sejauh permintaan pemirsa yang diketahui dari rating.
Ketika salah satu karakter atau alur cerita disukai pemirsa, maka elemen-elemen tersebut akan terus dieksploitasi hingga titik jenuh. Di FIFO ada salah satu contoh tentang alur cerita di rumah sakit yang disukai pemirsa sehingga adegan sang tokoh utama sakit diperpanjang hingga beberapa episode. Ini faktual, didapat langsung dari wawancaraku dengan salah seorang produser sinetron yang pernah bekerja di MD Entertainment.
Dengan sistem ini, para sineas bermain di zona aman dengan cukup berpatokan pada rating. Satu judul sinetron terus diproduksi hingga rating turun dan tak bisa ditolong lagi. Syuting kejar tayang (syuting hari ini untuk penayangan 2-3 hari kemudian) menolong mereka mengamati pergerakan rating dalam hitungan hari. Perubahan penting pada alur atau tokoh bisa dilakukan at the very last minute tergantung pada laporan rating.
Ketika sebuah serial mendapat rating tinggi, keberlangsungannya bisa terus terjaga hingga bertahun-tahun (Tersanjung, Tersayang, Cinta Fitri). Bagi yang rating tak berkembang, penayangan bisa dihentikan meski baru berlangsung di bawah 20-30 episode untuk melangkah menuju produksi judul baru yang diharap lebih menjanjikan.
Dan mentalitas fotokopi membuat semua tak berani mengambil risiko. Ketika satu jenis tema populer untuk satu periode waktu tertentu (katakanlah sinetron laga-sejarah seperti Raden Kian Santang), semua kanal TV dan PH mengikutinya.
Ini diperparah dengan mentalitas pebisnis untuk selalu ingin lebih dan lebih. Ketika sebuah serial yang awalnya tayang mingguan mendapat respon hangat, produser mengubahnya menjadi tayangan harian guna memperoleh keuntungan yang lebih berlimpah, seperti yang dialami serial Bajaj Bajuri dan Suami-suami Takut Isteri.
Tayang stripping berarti pekerjaan bertambah berat bagi para awak yang terlibat. Dan inti dari semua lini, yaitu penulis naskah, akan dengan cepat mengalami kekeroposan dari sisi kreativitas. Pekerjaan seni tak ditakdirkan berjalan bersisian dengan rutinitas yang rigid dan batasan deadline yang terlalu sempit. Pada ujungnya, semua akan tinggal menjadi produk jualan. Makin terasa hambar, kehilangan daya kejut dan sentuhan kreatif, lalu lama-lama akan ditinggalkan pemirsa dan terpaksa di-cancel.
Perubahan situasi meninggalkan “zaman kegelapan” dimungkinkan bila ada keberanian untuk beralih dari model opera sabun menjadi model seasonal (musiman) seperti serial TV prime time AS atau mini seri ala serial drama Jepang dan Korea. Kedua metoda tayang ini memaksa para sineas untuk tetap me-maintain kesuksesan komersial sembari bereksplorasi pada tema cerita yang pada gilirannya akan memunculkan geliat kreativitas.
Di AS, serial prime time (tayang malam hari pada pukul 20-22) mengudara secara musiman mirip kompetisi liga sepakbola. Satu musim tayang dimulai bulan September dan berakhir pada Mei tahun berikutnya. Dengan tayang sekali sepekan (makin mendekati weekend untuk serial-serial populer dengan rating besar), satu musim terdiri atas 22-24 episode (kecuali serial Hannibal yang hanya terdiri atas 13 episode).
Sebuah serial baru diproduksi sebanyak 6-10 episode. Bila rating positif, pihak stasiun TV akan memerintahkan PH untuk memperbanyak hingga satu musim penuh, 22 episode. Pada pertengahan Februari atau Maret, TV akan mengevaluasi serial tersebut apakah akan diteruskan pada musim berikut atau tidak. Jika berlanjut, season finale (episode terakhir musim bersangkutan) akan ditutup dengan adegan cliffhanger, untuk membuat pemirsa menantikan episode pembuka musim berikutnya (season premiere) bulan September.
Sistem seasonal membuat tim penulis bisa bereksplorasi dengan nuansa tema berbeda-beda pada tiap musim dan dapat pula menambahkan karakter-karakter baru untuk menambah daya pikat. Selain itu, tiap musim umumnya membawa satu story arc tersendiri yang baru ditutup pada season finale.


Sebagai contoh, permasalahan besar musim ketiga serial NCIS: Los Angeles adalah mengenai perburuan seorang teroris bernama Chameleon. Beberapa episode mengisahkan pertentangan para agen NCIS dengan Chameleon, sedang sebagian besar lagi adalah episode-episode standalone (cerita tamat dalam satu episode dan terpisah dari alur story arc).
Pada season finale, story arc tersebut ditutup namun dengan ending menggantung yang kadang mengindikasikan story arc baru pada musim berikutnya. Musim ketiga NCIS: LA berakhir pada insiden penembakan Agen Khusus G. Callen (Chris O’Donnel) terhadap Chameleon, ia kemudian ditangkap dan NCIS dibekukan pemerintah. Konklusi mengenai pembekuan NCIS baru diberikan pada episode perdana NCIS: LA musim keempat.
Ketika satu serial memasuki hiatus (berhenti tayang) antara Juni hingga Agustus, tim penulis dan pihak TV berdiskusi untuk menentukan kelanjutan warna cerita serial tersebut pada musim berikutnya. Pada periode hiatus, para aktor memperpanjang atau menghentikan kontraknya, yang bisa dimainkan media massa untuk terus menjaga atensi pemirsa menuju season premiere bulan September.
Metoda lain, yaitu mini seri mirip drama-drama Jepang dan Korea, membuat sebuah judul serial diproduksi dalam jumlah pendek, antara 11-20 episode. Entah rating bagus atau jelek, jumlah episode tak bisa diperpanjang atau diperpendek, karena terkait dengan story arc yang benar-benar selesai bulat dan utuh pada episode terakhir. Satu judul dengan rating fenomenal bisa dimunculkan dalam bentuk sekuel, semisal Dream High atau Meteor Garden, dengan jumlah episode yang lebih banyak (dari 20 menjadi 30 atau 52).
Dalam sistem ini, para sineas dapat terus mencoba nuansa tema dan bahkan genre cerita berbeda dari satu judul ke judul berikutnya. Dengan jumlah episode kecil, ongkos produksi pun relatif tak terlalu besar. Taruh kata biaya produksi adalah sekitar Rp 80-90 juta, maka ongkos keseluruhan “hanya” Rp 1,6-2 miliar (plus biaya promosi dan publikasi secukupnya).
Andai satu judul mini seri gagal dari segi rating, kerugian pihak PH tetap tak terlalu besar. Dan bukankah rugi adalah risiko alamiah dunia bisnis? Setelah melakukan evaluasi (bisa dengan memecat kru tim produksi yang dianggap gagal), produksi menuju judul berikutnya dapat langsung dimulai.
Namun melihat dari geliat drama Korea dewasa ini, sebenarnya tema dan genre apapun tak perlu ditakutkan akan gagal dan membuat PH serta TV gulung tikar dalam semalam. Tema paling mudah dijual adalah cinta remaja, namun bahkan yang rumit dan berbujet besar seperti drama sejarah pun (semacam Jewel in the Palace) tetap disukai, karena kunci berada pada skill tim penulis meracik ramuan cerita yang runtut, logis, dan ber-suspens.
 Sedang bagi serial-serial yang dianggap gagal itu, betulkah nasib mereka hanya seusia penayangan berdasar rating? Menilik metoda bisnis drama Korea, penghasilan masih tetap mengalir jauh sesudah uang pembelian dari stasiun TV ke pihak PH dibayarkan, yaitu melalui penjualan DVD. Dengan trik marketing, promo, serta permainan event dan berita di media sebagaimana yang dilakukan para “penjual” CD/DVD musik, penjualan DVD sinetron bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih menghasilkan daripada pendapatan selama sesi penayangan original.
Jadi pada dasarnya, banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah atmosfer dunia sinetron kita. Masalahnya, para pemain utama sinetron (TV dan PH) telah mengikat diri menjadi semacam mafia demi status quo. Mereka juga memenjarakan diri dalam dogma sempit mereka sendiri untuk hanya memproduksi apa yang (dinggap secara sepihak) tengah laku dengan menutup pintu untuk jenis-jenis berbeda.
Kita analogikan hamburger mencatat angka penjualan fantastis di sebuah pasar, sehingga pihak koki mengklaim bahwa masyarakat sedang menyukai burger. Mereka pun melulu hanya menjual burger, dan menolak calon-calon koki yang menawarkan jenis-jenis makanan lain yang lebih variatif dan bernutrisi daripada burger. Padahal sejatinya masyarakat sibuk membeli burger karena hanya jenis makanan itulah yang bisa mereka dapatkan. Sebuah self-fulfilled dogma yang menyedihkan dan menyesatkan!
Maka kita tinggal berharap pada Pemerintah, satu-satunya lembaga yang berhak dan boleh melakukan pemaksaan. Daripada terus-terusan jadi jelek karena memaksa PKL digusur tanpa alasan jelas atau mengubah taman menjadi mal karena berkongkalingkong dengan pengusaha, kenapa tidak mendedikasikan dana dan program untuk memaksa masyarakat menonton sinetron yang lebih baik?
Pemerintah bisa mendanai produksi sinetron-sinetron berkualitas seperti Jendela Rumah Kita, Sitti Nurbaja, Sengsara Membawa Nikmat, atau Si Doel Anak Sekolahan lewat metoda tayang seasonal atau mini seri. Lalu keberlangsungan dan keterlanjutannya tidak bergantung semata rating. Andai rating satu judul flop, produksi-produksi judul berikut tetap terjamin dengan penyediaan dana yang konsisten (duit negara gitu loch, mana pernah habis?).
Era stasiun tunggal TVRI pernah melakukan ini. Film dan sinetron yang diproduksi PPFN (Si Unyil, ACI) relatif bukan komoditas, karena tetap diproduksi terlepas dari apapun hasil komersialnya. Namun justru karena bukan komoditas dagang, semua yang terlibat dalam proses produksi mampu mengeluarkan yang terbaik, untuk tak sekadar mencari uang namun juga meninggalkan jejak.
Masalahnya, dengan reputasi rezim pemerintah masa kini yang selalu bersinonim dengan incompetency, apakah mengharapkan suatu inisiatif cerdas adalah sesuatu yang masuk akal? Mungkin sama tidak logisnya dengan alur cerita sinetron-sinetron masa kini.

1 komentar:

  1. ya ampun... analisanya tajam dan mendalam. kaya yang pernah dapat workshop dari Amerika aja. keren banget.

    BalasHapus