Secara
kualitas penulisan, novel teranyarku Fade in Fade out (FIFO) terbuka untuk
diperdebatkan dan dikritisi. Itu hal yang lumrah dalam dunia sastra. Namun satu
hal yang harus dipikir bareng adalah tematiknya tentang sinetron. Buat pemerhati—dan
bukan sekadar penonton pasif—pastilah tahu banget problem mendasar
persinetronan kita. Dan sebagai pemilik sah frekuensi TV, jelas kita layak
menggugat: akankah terus uang menjajah kesenian?
Ketika
semua perbuatan dilihat dari niatnya, terang ada sesuatu yang sangat salah pada
geliat industri televisi kita, terutama dalam soal sinetron. Eksplorasi seni
termarjinalisasi, karena semua hanya bermuara pada hitungan rupiah. Dan
terhadap tudingan pada stasiun TV dan PH, rating AC Nielsen menjadi kambing
hitam. Mirip anak kecil yang ketika dimarahi, mendadak menuding teman
sebelahnya sambil bilang, “Dia duluan yang mulai!”.
Padahal
akar masalah bisa dicari dari sistem tayang yang dianut sinetron kita, yang
mengaplikasi model opera sabun daytime ala Amerika Serikat dan telenovela
Amerika Latin. Soap opera seperti The Bold & the Beautiful, Santa Barbara,
atau Knots Landing (semua pernah tayang di TV Indonesia) tayang siang hari
secara stripping (tiap hari) dalam bentuk serial bersambung tanpa batas waktu.
Jumlah
episode serial-serial itu bisa berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Serial drama
terlama, Guiding Light, bahkan tayang selama 43 tahun (1952-2008) dalam 2.800
episode (versi drama radionya dimulai sejak 1937). Tak ada story arc (kesatuan
cerita yang selesai secara bulat), melainkan plot-plot yang saling berkelindan
satu sama lain dan ditutup atau dibiarkan terus terbuka sejauh permintaan
pemirsa yang diketahui dari rating.
Ketika
salah satu karakter atau alur cerita disukai pemirsa, maka elemen-elemen
tersebut akan terus dieksploitasi hingga titik jenuh. Di FIFO ada salah satu
contoh tentang alur cerita di rumah sakit yang disukai pemirsa sehingga adegan
sang tokoh utama sakit diperpanjang hingga beberapa episode. Ini faktual, didapat
langsung dari wawancaraku dengan salah seorang produser sinetron yang pernah
bekerja di MD Entertainment.
Dengan
sistem ini, para sineas bermain di zona aman dengan cukup berpatokan pada
rating. Satu judul sinetron terus diproduksi hingga rating turun dan tak bisa
ditolong lagi. Syuting kejar tayang (syuting hari ini untuk penayangan 2-3 hari
kemudian) menolong mereka mengamati pergerakan rating dalam hitungan hari.
Perubahan penting pada alur atau tokoh bisa dilakukan at the very last minute
tergantung pada laporan rating.
Ketika
sebuah serial mendapat rating tinggi, keberlangsungannya bisa terus terjaga
hingga bertahun-tahun (Tersanjung, Tersayang, Cinta Fitri). Bagi yang rating
tak berkembang, penayangan bisa dihentikan meski baru berlangsung di bawah
20-30 episode untuk melangkah menuju produksi judul baru yang diharap lebih
menjanjikan.
Dan
mentalitas fotokopi membuat semua tak berani mengambil risiko. Ketika satu
jenis tema populer untuk satu periode waktu tertentu (katakanlah sinetron
laga-sejarah seperti Raden Kian Santang), semua kanal TV dan PH mengikutinya.
Ini
diperparah dengan mentalitas pebisnis untuk selalu ingin lebih dan lebih.
Ketika sebuah serial yang awalnya tayang mingguan mendapat respon hangat,
produser mengubahnya menjadi tayangan harian guna memperoleh keuntungan yang
lebih berlimpah, seperti yang dialami serial Bajaj Bajuri dan Suami-suami Takut
Isteri.
Tayang
stripping berarti pekerjaan bertambah berat bagi para awak yang terlibat. Dan
inti dari semua lini, yaitu penulis naskah, akan dengan cepat mengalami
kekeroposan dari sisi kreativitas. Pekerjaan seni tak ditakdirkan berjalan
bersisian dengan rutinitas yang rigid dan batasan deadline yang terlalu sempit.
Pada ujungnya, semua akan tinggal menjadi produk jualan. Makin terasa hambar,
kehilangan daya kejut dan sentuhan kreatif, lalu lama-lama akan ditinggalkan
pemirsa dan terpaksa di-cancel.
Perubahan
situasi meninggalkan “zaman kegelapan” dimungkinkan bila ada keberanian untuk
beralih dari model opera sabun menjadi model seasonal (musiman) seperti serial
TV prime time AS atau mini seri ala serial drama Jepang dan Korea. Kedua metoda
tayang ini memaksa para sineas untuk tetap me-maintain kesuksesan komersial
sembari bereksplorasi pada tema cerita yang pada gilirannya akan memunculkan
geliat kreativitas.
Di
AS, serial prime time (tayang malam hari pada pukul 20-22) mengudara secara
musiman mirip kompetisi liga sepakbola. Satu musim tayang dimulai bulan
September dan berakhir pada Mei tahun berikutnya. Dengan tayang sekali sepekan
(makin mendekati weekend untuk serial-serial populer dengan rating besar), satu
musim terdiri atas 22-24 episode (kecuali serial Hannibal yang hanya terdiri
atas 13 episode).
Sebuah
serial baru diproduksi sebanyak 6-10 episode. Bila rating positif, pihak
stasiun TV akan memerintahkan PH untuk memperbanyak hingga satu musim penuh, 22
episode. Pada pertengahan Februari atau Maret, TV akan mengevaluasi serial
tersebut apakah akan diteruskan pada musim berikut atau tidak. Jika berlanjut,
season finale (episode terakhir musim bersangkutan) akan ditutup dengan adegan
cliffhanger, untuk membuat pemirsa menantikan episode pembuka musim berikutnya
(season premiere) bulan September.
Sistem
seasonal membuat tim penulis bisa bereksplorasi dengan nuansa tema berbeda-beda
pada tiap musim dan dapat pula menambahkan karakter-karakter baru untuk
menambah daya pikat. Selain itu, tiap musim umumnya membawa satu story arc
tersendiri yang baru ditutup pada season finale.
Sebagai
contoh, permasalahan besar musim ketiga serial NCIS: Los Angeles adalah
mengenai perburuan seorang teroris bernama Chameleon. Beberapa episode
mengisahkan pertentangan para agen NCIS dengan Chameleon, sedang sebagian besar
lagi adalah episode-episode standalone (cerita tamat dalam satu episode dan
terpisah dari alur story arc).
Pada
season finale, story arc tersebut ditutup namun dengan ending menggantung yang
kadang mengindikasikan story arc baru pada musim berikutnya. Musim ketiga NCIS:
LA berakhir pada insiden penembakan Agen Khusus G. Callen (Chris O’Donnel)
terhadap Chameleon, ia kemudian ditangkap dan NCIS dibekukan pemerintah.
Konklusi mengenai pembekuan NCIS baru diberikan pada episode perdana NCIS: LA
musim keempat.
Ketika
satu serial memasuki hiatus (berhenti tayang) antara Juni hingga Agustus, tim
penulis dan pihak TV berdiskusi untuk menentukan kelanjutan warna cerita serial
tersebut pada musim berikutnya. Pada periode hiatus, para aktor memperpanjang
atau menghentikan kontraknya, yang bisa dimainkan media massa untuk terus
menjaga atensi pemirsa menuju season premiere bulan September.
Metoda
lain, yaitu mini seri mirip drama-drama Jepang dan Korea, membuat sebuah judul
serial diproduksi dalam jumlah pendek, antara 11-20 episode. Entah rating bagus
atau jelek, jumlah episode tak bisa diperpanjang atau diperpendek, karena
terkait dengan story arc yang benar-benar selesai bulat dan utuh pada episode
terakhir. Satu judul dengan rating fenomenal bisa dimunculkan dalam bentuk
sekuel, semisal Dream High atau Meteor Garden, dengan jumlah episode yang lebih
banyak (dari 20 menjadi 30 atau 52).
Dalam
sistem ini, para sineas dapat terus mencoba nuansa tema dan bahkan genre cerita
berbeda dari satu judul ke judul berikutnya. Dengan jumlah episode kecil,
ongkos produksi pun relatif tak terlalu besar. Taruh kata biaya produksi adalah
sekitar Rp 80-90 juta, maka ongkos keseluruhan “hanya” Rp 1,6-2 miliar (plus
biaya promosi dan publikasi secukupnya).
Andai
satu judul mini seri gagal dari segi rating, kerugian pihak PH tetap tak
terlalu besar. Dan bukankah rugi adalah risiko alamiah dunia bisnis? Setelah
melakukan evaluasi (bisa dengan memecat kru tim produksi yang dianggap gagal),
produksi menuju judul berikutnya dapat langsung dimulai.
Namun
melihat dari geliat drama Korea dewasa ini, sebenarnya tema dan genre apapun
tak perlu ditakutkan akan gagal dan membuat PH serta TV gulung tikar dalam
semalam. Tema paling mudah dijual adalah cinta remaja, namun bahkan yang rumit
dan berbujet besar seperti drama sejarah pun (semacam Jewel in the Palace)
tetap disukai, karena kunci berada pada skill tim penulis meracik ramuan cerita
yang runtut, logis, dan ber-suspens.
Sedang bagi serial-serial yang dianggap gagal
itu, betulkah nasib mereka hanya seusia penayangan berdasar rating? Menilik
metoda bisnis drama Korea, penghasilan masih tetap mengalir jauh sesudah uang pembelian
dari stasiun TV ke pihak PH dibayarkan, yaitu melalui penjualan DVD. Dengan
trik marketing, promo, serta permainan event dan berita di media sebagaimana
yang dilakukan para “penjual” CD/DVD musik, penjualan DVD sinetron bisa menjadi
sesuatu yang jauh lebih menghasilkan daripada pendapatan selama sesi penayangan
original.
Jadi
pada dasarnya, banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah atmosfer dunia
sinetron kita. Masalahnya, para pemain utama sinetron (TV dan PH) telah mengikat
diri menjadi semacam mafia demi status quo. Mereka juga memenjarakan diri dalam
dogma sempit mereka sendiri untuk hanya memproduksi apa yang (dinggap secara
sepihak) tengah laku dengan menutup pintu untuk jenis-jenis berbeda.
Kita
analogikan hamburger mencatat angka penjualan fantastis di sebuah pasar,
sehingga pihak koki mengklaim bahwa masyarakat sedang menyukai burger. Mereka
pun melulu hanya menjual burger, dan menolak calon-calon koki yang menawarkan
jenis-jenis makanan lain yang lebih variatif dan bernutrisi daripada burger.
Padahal sejatinya masyarakat sibuk membeli burger karena hanya jenis makanan
itulah yang bisa mereka dapatkan. Sebuah self-fulfilled dogma yang menyedihkan
dan menyesatkan!
Maka
kita tinggal berharap pada Pemerintah, satu-satunya lembaga yang berhak dan
boleh melakukan pemaksaan. Daripada terus-terusan jadi jelek karena memaksa PKL
digusur tanpa alasan jelas atau mengubah taman menjadi mal karena
berkongkalingkong dengan pengusaha, kenapa tidak mendedikasikan dana dan
program untuk memaksa masyarakat menonton sinetron yang lebih baik?
Pemerintah
bisa mendanai produksi sinetron-sinetron berkualitas seperti Jendela Rumah
Kita, Sitti Nurbaja, Sengsara Membawa Nikmat, atau Si Doel Anak Sekolahan lewat
metoda tayang seasonal atau mini seri. Lalu keberlangsungan dan
keterlanjutannya tidak bergantung semata rating. Andai rating satu judul flop,
produksi-produksi judul berikut tetap terjamin dengan penyediaan dana yang
konsisten (duit negara gitu loch, mana pernah habis?).
Era
stasiun tunggal TVRI pernah melakukan ini. Film dan sinetron yang diproduksi
PPFN (Si Unyil, ACI) relatif bukan komoditas, karena tetap diproduksi terlepas
dari apapun hasil komersialnya. Namun justru karena bukan komoditas dagang,
semua yang terlibat dalam proses produksi mampu mengeluarkan yang terbaik,
untuk tak sekadar mencari uang namun juga meninggalkan jejak.
Masalahnya,
dengan reputasi rezim pemerintah masa kini yang selalu bersinonim dengan
incompetency, apakah mengharapkan suatu inisiatif cerdas adalah sesuatu yang
masuk akal? Mungkin sama tidak logisnya dengan alur cerita sinetron-sinetron
masa kini.
ya ampun... analisanya tajam dan mendalam. kaya yang pernah dapat workshop dari Amerika aja. keren banget.
BalasHapus