Foto: |
Sudah
sejak SMP aku bermasalah dengan sistem pendidikan nasional. Terlebih sekarang,
dalam era ujian nasional dan yang tempo hari bubrah ra karuan itu. Bagiku
selalu ada jalan yang lebih baik daripada yang diterapkan saat ini. Seperti apa?
Nah,
kalau ada yang nanya “La trus karepmu piyeee!?”, maka ini dia jawabannya…
Customized Subjects
Tiap
individu manusia punya minat, bakat, dan kecenderungan beda-beda. Apa yang
diajarkan kepada mereka harus akurat agar hasilnya maksimal. Subjek pendidikan
harusnya murid, bukan kurikulum. Mapel harus manut murid, dan bukan sebaliknya.
Setelah
lulus pendidikan dasar, anak harus melalui semacam assesment test untuk
mengetahui ke arah mana kecenderungan karier mereka, baik berdasar minat
sendiri maupun hasil tes (lewat psikotes kan hal ini bisa digali). Lalu
sepanjang 6 tahun sekolah menengah, mereka mempelajari hanya mapel-mapel yang
mendukung hasil tes tersebut.
Maka
bagi yang minat ikut X-Factor atau IMB, mapel wajib adalah yang berada di
seputar seni musik dan olah vokal. Mapel-mapel di luar disiplin ilmu itu,
semisal tata bahasa, fisika, geografi, atau ekonomi, bisa diambil sebagai mapel
pilihan guna memperluas wawasan. Dengan demikian, penerapan SKS model anak
kuliahan is a must. Ada mapel wajib (sesuai bidang) dan ada mapel pilihan.
Mengajarkan Sesuatu
Mapel
harus benar-benar mengajarkan sesuatu secara real. Tidak hanya penjejalan
data-fakta saja demi hasil akhir berupa adu banyak nilai ulangan/ujian.
Mengajarkan sesuatu berarti perbedaan kemampuan pada awal dan akhir semester
bisa diukur. Dari yang awalnya cuman bisa bongkar mesin, di akhir semester
kemampuan meningkat dengan bisa pasang juga.
Konsepnya
tentu tak bisa hanya sekadar mengajarkan bidang keilmuannya. Misal fisika kudu
dimulai dari definisi, sejarah, tokoh-tokoh, aliran, paparan materinya secara
urut sebagaimana yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah umum. Semua harus
dimulai dari pengamatan terhadap masalah dan pencarian solusinya.
Instead
of dipaksa ngapalin sederet teorema dan konstanta, murid diajak berpikir
mengenai problem semisal “Kapal antarbintang X akan berangkat dari Biak dan
dijadwalkan tiba di Cydonia Mense. Tentukan arah peluncuran pesawat berdasar gerak
orbital Bumi dan Mars sehingga bisa tepat tiba di titik pendaratan yang
direncanakan”.
Rangkaian
penyelesaian masalah ini akan membuat semua mempelajari sejak dari astronomi,
matematika, fisika, hingga teknik mesin dan rancang bangun wahana antariksa.
Plus, topiknya pasti menarik buat para nerd yang hobi nonton Star Trek atau
Battlestar Galactica. Dan kalau sudah dibikin tertarik, orang bisa disuruh
mengerjakan apa saja.
School = Fun
Ini sudah jadi pertanyaan abadiku
sejak pekan-pekan awal masuk SMP dulu: kenapa sih sekolah harus dibuat nggak
menyenangkan buat murid? Rugi apa negara kalau sekolah dibikin fun, keren, funky,
sehingga para murid bersemangat berangkat? Apa dulu pas zaman Yunani Kuno saat
para filsuf mencetuskan lembaga sekolah formal, mereka mewariskan ketentuan
yang nggak boleh dilanggar yang berbunyi: “Yang nekat membikin sekolah jadi
menyenangkan bakal langsung disambar petir kiriman Dewa Zeus dan berubah jadi
dudukan toilet!”?
Funky
school. Why not? Yang diputar di loudspeaker sekolah bukan pidato muka datar
atau melulu lagu-lagu patriotikbrainwashing, tapi Eminem, Justin Bieber, SNSD,
atau Noah. Lalu ujug-ujug ada kuis dadakan “Sebutin artis K-pop pertama yang
bisa masuk Hot 100 Billboard dan pada tahun berapa” dengan 5 penjawab pertama
mendapat hadiah. Skill murid dalam melakukan riset data sejarah diasah lewat
permainan-permainan semacam ini.
Ruang
kelas juga tak lagi diisi meja-bangku standar yang kaku dan membosankan, tapi
didesain sendiri oleh para penghuni kelas sekreatif yang mereka mau. Bisa
dimodel rumah-rumahan, ala resto/kafe dengan sofa-sofa kayak di Central Perk,
atau cukup dikasih karpet hijau sehingga murid-murid duduk lesehan pas
pelajaran plus ruang kelas bisa difungsikan sebagai rumah ibadah untuk agama
apapun.
Creative Learning
Cara
dikte-catat atau ceramah monolog demi hanya sekadar paparan materi data-fakta
adalah sudah sangat primitif. Kita harus mencari cara-cara alternatif (sekali
lagi, kata kuncinya, “menyenangkan”) untuk mengajarkan banyak hal. Siapa yang
nggak suka nonton film? Mari nonton bersama-sama orang sekelas!
Misal
untuk siswa yang minat di bidang kepenulisan, film yang cocok di antaranya
adalah Finding Forrester atau Capote. Setelah nonton, guru memimpin
diskusi membahas film tersebut. Dalam diskusi, banyak pelajaran penting yang
akan bisa dipetik daripada jika ilmu mengarang diajarkan sejak dari “novel
adalah…” lalu ngapalin jenis-jenis novel, pengarang dan karya-karyanya, atau
klasifikasi sastra Indonesia berdasarkan kronologi.
Innovative Punishment
Hukuman
sekolah sebetulnya hanyalah state bullying. Gak garap PR, disuruh berdiri
dengan satu kaki di depan kelas. Telat masuk dimarahi lalu disuruh lari
keliling lapangan. Ada pula banyak kasus di mana guru betul-betul menyakiti
secara fisik: nampar, jambak rambut di depan telinga, nyubit perut. What the
hell? Ini pendidikan apa rimba persilatan!?
Hukuman
ya hukuman, tapi harus yang menggugah sesuatu dalam diri murid dan jangan malah
cuman membekaskan kesumat atau rasa terhina. Jika yang telat anak elektro, dia
dihukum dengan disuruh bikin cerpen. Kalau yang telat anak fisika-matematika,
hukumannya adalah bikin lagu plus aransemen musik sekaligus menyanyikannya.
See
the point here? Sekancut apapun cerpen bikinan anak elektro itu, sefals apapun
nyanyian si calon Einstein itu, mereka terpaksa harus mempelajari hal baru
entah ke guru atau pada sesama murid. Ini akan mengasah kemampuan mereka
bersosialisasi dan bekerjasama dengan orang dari disiplin ilmu berbeda.
Selanjutnya tercipta saling menghormati dan menghargai dalam
perbedaan-perbadaan minat dan kemampuan itu.
Guru Wikipedia
Belajar-mengajar
yang baik seharusnya memiliki perbandingan guru 10%-murid 90% dalam hal
inisiatif dan aktivitas. Jadi bukan lagi guru ceramah “nyenyenyenye!” sambil
orek-orek papan tulis sedang murid duduk diam dari pukul 7 sampai 14 dengan
wajah boring sambil ongap-angop dan membayangkan Tang Wei di Lust, Caution.
Idealnya,
guru hanya menjadi pemantik diskusi, lalu murid yang belingsatan ingar bingar
kian kemari bekerja. Guru cukup mengawasi dan mengambil fungsi mirip Wikipedia:
baru menjelaskan detail sesuai pertanyaan yang diajukan murid. Kalau guru tak
bisa jawab, dia sekalian bisa ikut belajar pula dengan bantu mencarikan data
referensi dari sumber lain yang lebih kompeten.
Misal
dalam proyek soal kapal bintang ke Mars itu tadi, murid pasti akan nanya “Loh,
la caranya ngukur trajectory benda dari Bumi ke Mars itu piye? Kan Bumi
bergerak mengorbit matahari, Mars juga. Kalau dua-duanya benda diam sih, mudah aja
ngukurnya”. Guru pun menjawab, “Nah, untuk itulah kita perlu kalkulus,
diferensial integral…”
Intinya
adalah, ilmu yang dipelajari dalam keadaan butuh akan melekat selamanya di
benak dan bisa ganti diajarkan ke orang lain kelak. Kuncinya tentu dengan
membuat murid berada dalam keadaan membutuhkan ilmu bersangkutan.
Ujian Proyek
Ujian
Nasional hanya dengan penguasaan materi data-fakta-statistika, itupun cuman
dengan nyontreng tebak-tebakan A-B-C-D-E? Lha buat apa? Memangnya negara sedang
mendidik reporter olah raga?
Karena
sifatnya mengajarkan sesuatu secara real, ukurannya tentu dengan perbedaan antara
sebelum dan sesudah pelajaran—dalam hal ini tentu semester. Seberapa jauh
progress mereka dalam satu semester itu? Tak ada jalan lain tentu dengan ujian
proyek alias tugas yang berupa benda beneran, bukan cuman hapalan data-fakta.
Dan
pada awal semester, tugas akhir itu harus diinformasikan jelas. Akan lebih
bagus jika sepanjang semester, seluruh proses belajar-mengajar memang
dimaksudkan untuk tugas akhir itu. Maka enam bulan akan cukup bagi murid film
untuk bikin proyek film berdurasi 30 menit; murid musik membuat album solonya
dengan 6 lagu; murid elektro membuat TV atau robot; murid nulis menerbitkan novel,
kumcer, atau antologi puisi; dan seterusnya.
Yakin
deh. Kalau sekolah umum bisa didesain seperti ini, pasti tak ada murid yang
hepi pulang awal atau libur panjang. Karena terlalu asyik dengan bidang
masing-masing, bakalan tak terasa hari sudah sore dan kadang rela pulang agak
malam sebelum “kerjaan” selesai.
Dan
ini adalah konsep pendidikan yang menekankan pada proses, bukan hanya sekadar
hasil, apalagi jika hasil itu sebatas angka yang tak merepresentasikan apapun.
0 komentar:
Posting Komentar