scribo ergo sum

Senin, 13 Mei 2013

My Kind of School

21:51 Posted by wiwien wintarto No comments
Foto: bangkusekolah-id.blogspot.com

Sudah sejak SMP aku bermasalah dengan sistem pendidikan nasional. Terlebih sekarang, dalam era ujian nasional dan yang tempo hari bubrah ra karuan itu. Bagiku selalu ada jalan yang lebih baik daripada yang diterapkan saat ini. Seperti apa?
Nah, kalau ada yang nanya “La trus karepmu piyeee!?”, maka ini dia jawabannya…


Customized Subjects
Tiap individu manusia punya minat, bakat, dan kecenderungan beda-beda. Apa yang diajarkan kepada mereka harus akurat agar hasilnya maksimal. Subjek pendidikan harusnya murid, bukan kurikulum. Mapel harus manut murid, dan bukan sebaliknya.

Setelah lulus pendidikan dasar, anak harus melalui semacam assesment test untuk mengetahui ke arah mana kecenderungan karier mereka, baik berdasar minat sendiri maupun hasil tes (lewat psikotes kan hal ini bisa digali). Lalu sepanjang 6 tahun sekolah menengah, mereka mempelajari hanya mapel-mapel yang mendukung hasil tes tersebut.
Maka bagi yang minat ikut X-Factor atau IMB, mapel wajib adalah yang berada di seputar seni musik dan olah vokal. Mapel-mapel di luar disiplin ilmu itu, semisal tata bahasa, fisika, geografi, atau ekonomi, bisa diambil sebagai mapel pilihan guna memperluas wawasan. Dengan demikian, penerapan SKS model anak kuliahan is a must. Ada mapel wajib (sesuai bidang) dan ada mapel pilihan.

Mengajarkan Sesuatu
Mapel harus benar-benar mengajarkan sesuatu secara real. Tidak hanya penjejalan data-fakta saja demi hasil akhir berupa adu banyak nilai ulangan/ujian. Mengajarkan sesuatu berarti perbedaan kemampuan pada awal dan akhir semester bisa diukur. Dari yang awalnya cuman bisa bongkar mesin, di akhir semester kemampuan meningkat dengan bisa pasang juga.
Konsepnya tentu tak bisa hanya sekadar mengajarkan bidang keilmuannya. Misal fisika kudu dimulai dari definisi, sejarah, tokoh-tokoh, aliran, paparan materinya secara urut sebagaimana yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah umum. Semua harus dimulai dari pengamatan terhadap masalah dan pencarian solusinya.
Instead of dipaksa ngapalin sederet teorema dan konstanta, murid diajak berpikir mengenai problem semisal “Kapal antarbintang X akan berangkat dari Biak dan dijadwalkan tiba di Cydonia Mense. Tentukan arah peluncuran pesawat berdasar gerak orbital Bumi dan Mars sehingga bisa tepat tiba di titik pendaratan yang direncanakan”.
Rangkaian penyelesaian masalah ini akan membuat semua mempelajari sejak dari astronomi, matematika, fisika, hingga teknik mesin dan rancang bangun wahana antariksa. Plus, topiknya pasti menarik buat para nerd yang hobi nonton Star Trek atau Battlestar Galactica. Dan kalau sudah dibikin tertarik, orang bisa disuruh mengerjakan apa saja.

School = Fun
Ini sudah jadi pertanyaan abadiku sejak pekan-pekan awal masuk SMP dulu: kenapa sih sekolah harus dibuat nggak menyenangkan buat murid? Rugi apa negara kalau sekolah dibikin fun, keren, funky, sehingga para murid bersemangat berangkat? Apa dulu pas zaman Yunani Kuno saat para filsuf mencetuskan lembaga sekolah formal, mereka mewariskan ketentuan yang nggak boleh dilanggar yang berbunyi: “Yang nekat membikin sekolah jadi menyenangkan bakal langsung disambar petir kiriman Dewa Zeus dan berubah jadi dudukan toilet!”?
Funky school. Why not? Yang diputar di loudspeaker sekolah bukan pidato muka datar atau melulu lagu-lagu patriotikbrainwashing, tapi Eminem, Justin Bieber, SNSD, atau Noah. Lalu ujug-ujug ada kuis dadakan “Sebutin artis K-pop pertama yang bisa masuk Hot 100 Billboard dan pada tahun berapa” dengan 5 penjawab pertama mendapat hadiah. Skill murid dalam melakukan riset data sejarah diasah lewat permainan-permainan semacam ini.
Ruang kelas juga tak lagi diisi meja-bangku standar yang kaku dan membosankan, tapi didesain sendiri oleh para penghuni kelas sekreatif yang mereka mau. Bisa dimodel rumah-rumahan, ala resto/kafe dengan sofa-sofa kayak di Central Perk, atau cukup dikasih karpet hijau sehingga murid-murid duduk lesehan pas pelajaran plus ruang kelas bisa difungsikan sebagai rumah ibadah untuk agama apapun.

Creative Learning
Cara dikte-catat atau ceramah monolog demi hanya sekadar paparan materi data-fakta adalah sudah sangat primitif. Kita harus mencari cara-cara alternatif (sekali lagi, kata kuncinya, “menyenangkan”) untuk mengajarkan banyak hal. Siapa yang nggak suka nonton film? Mari nonton bersama-sama orang sekelas!
Misal untuk siswa yang minat di bidang kepenulisan, film yang cocok di antaranya adalah Finding Forrester atau Capote. Setelah nonton, guru memimpin diskusi membahas film tersebut. Dalam diskusi, banyak pelajaran penting yang akan bisa dipetik daripada jika ilmu mengarang diajarkan sejak dari “novel adalah…” lalu ngapalin jenis-jenis novel, pengarang dan karya-karyanya, atau klasifikasi sastra Indonesia berdasarkan kronologi.

Innovative Punishment
Hukuman sekolah sebetulnya hanyalah state bullying. Gak garap PR, disuruh berdiri dengan satu kaki di depan kelas. Telat masuk dimarahi lalu disuruh lari keliling lapangan. Ada pula banyak kasus di mana guru betul-betul menyakiti secara fisik: nampar, jambak rambut di depan telinga, nyubit perut. What the hell? Ini pendidikan apa rimba persilatan!?
Hukuman ya hukuman, tapi harus yang menggugah sesuatu dalam diri murid dan jangan malah cuman membekaskan kesumat atau rasa terhina. Jika yang telat anak elektro, dia dihukum dengan disuruh bikin cerpen. Kalau yang telat anak fisika-matematika, hukumannya adalah bikin lagu plus aransemen musik sekaligus menyanyikannya.
See the point here? Sekancut apapun cerpen bikinan anak elektro itu, sefals apapun nyanyian si calon Einstein itu, mereka terpaksa harus mempelajari hal baru entah ke guru atau pada sesama murid. Ini akan mengasah kemampuan mereka bersosialisasi dan bekerjasama dengan orang dari disiplin ilmu berbeda. Selanjutnya tercipta saling menghormati dan menghargai dalam perbedaan-perbadaan minat dan kemampuan itu.

Guru Wikipedia
Belajar-mengajar yang baik seharusnya memiliki perbandingan guru 10%-murid 90% dalam hal inisiatif dan aktivitas. Jadi bukan lagi guru ceramah “nyenyenyenye!” sambil orek-orek papan tulis sedang murid duduk diam dari pukul 7 sampai 14 dengan wajah boring sambil ongap-angop dan membayangkan Tang Wei di Lust, Caution.
Idealnya, guru hanya menjadi pemantik diskusi, lalu murid yang belingsatan ingar bingar kian kemari bekerja. Guru cukup mengawasi dan mengambil fungsi mirip Wikipedia: baru menjelaskan detail sesuai pertanyaan yang diajukan murid. Kalau guru tak bisa jawab, dia sekalian bisa ikut belajar pula dengan bantu mencarikan data referensi dari sumber lain yang lebih kompeten.
Misal dalam proyek soal kapal bintang ke Mars itu tadi, murid pasti akan nanya “Loh, la caranya ngukur trajectory benda dari Bumi ke Mars itu piye? Kan Bumi bergerak mengorbit matahari, Mars juga. Kalau dua-duanya benda diam sih, mudah aja ngukurnya”. Guru pun menjawab, “Nah, untuk itulah kita perlu kalkulus, diferensial integral…”
Intinya adalah, ilmu yang dipelajari dalam keadaan butuh akan melekat selamanya di benak dan bisa ganti diajarkan ke orang lain kelak. Kuncinya tentu dengan membuat murid berada dalam keadaan membutuhkan ilmu bersangkutan.

Ujian Proyek
Ujian Nasional hanya dengan penguasaan materi data-fakta-statistika, itupun cuman dengan nyontreng tebak-tebakan A-B-C-D-E? Lha buat apa? Memangnya negara sedang mendidik reporter olah raga?
Karena sifatnya mengajarkan sesuatu secara real, ukurannya tentu dengan perbedaan antara sebelum dan sesudah pelajaran—dalam hal ini tentu semester. Seberapa jauh progress mereka dalam satu semester itu? Tak ada jalan lain tentu dengan ujian proyek alias tugas yang berupa benda beneran, bukan cuman hapalan data-fakta.
Dan pada awal semester, tugas akhir itu harus diinformasikan jelas. Akan lebih bagus jika sepanjang semester, seluruh proses belajar-mengajar memang dimaksudkan untuk tugas akhir itu. Maka enam bulan akan cukup bagi murid film untuk bikin proyek film berdurasi 30 menit; murid musik membuat album solonya dengan 6 lagu; murid elektro membuat TV atau robot; murid nulis menerbitkan novel, kumcer, atau antologi puisi; dan seterusnya.

Yakin deh. Kalau sekolah umum bisa didesain seperti ini, pasti tak ada murid yang hepi pulang awal atau libur panjang. Karena terlalu asyik dengan bidang masing-masing, bakalan tak terasa hari sudah sore dan kadang rela pulang agak malam sebelum “kerjaan” selesai.

Dan ini adalah konsep pendidikan yang menekankan pada proses, bukan hanya sekadar hasil, apalagi jika hasil itu sebatas angka yang tak merepresentasikan apapun.

0 komentar:

Posting Komentar