scribo ergo sum

Rabu, 17 April 2013

Terra Incognita

21:32 Posted by wiwien wintarto No comments

Beberapa waktu yang lalu, entah kenapa aku terganggu sekali dengan kata “mau” dan frase “harus mau”. Lalu aku menulis status di FB, “Kunci dari hidup bahagia adalah jangan pernah nggak mau”. Kita harus mau—dalam melakukan apapun, menerima apapun. Sekalipun nggak masuk akal, mau aja! Udah terima aja dulu, yang lain pikir belakangan!
Seems nekat, isn’t it? Nekat, instingtif, tanpa pikir panjang. Dulu aku juga berpikir begitu, pas suatu saat media tempatku bekerja (waktu itu aku dan teman-teman kru masih jadi mahasiswa full time) akan dibeli pemodal besar dari Jakarta.
Boss yang di Semarang bilang, pemodal itu akan menanyai kami, kru yang masih belia kuliahan ini, sebuah pertanyaan penting: “Kalau kantornya pindah ke Jakarta, sanggup nggak kalian ikut pindah, dan kemungkinan kuliah kalian agak tercecer?”
Si Boss bilang, apapun kekhawatiran yang ada di benak kami, jawab saja “Iya”. Pokoknya bilang aja sanggup, sip, oke, dan semacamnya. Nggak usah dipikir.
Aku jelas berontak. Mana bisa begitu? Kuliah kan penting. Masa tahu-tahu ditinggalin pindah begitu saja? Plus, kalau kita nggak mau dan nggak sanggup tapi tetep bilang “iya”, itu kan bohong. Mana bagus memulai sesuatu yang penting dengan kebohongan?
Lalu sekian tahun berlalu. Banyak yang kulihat. Banyak yang terjadi pada diriku sendiri. Dan aku bisa melihat dari sisi seberangnya. Kalau misal aku jadi boss, dan menanyakan kesanggupan calon karyawan, lalu karyawan itu mukanya berubah nggak enak dan menjawab “Wah, saya pikir-pikir dulu ya, Pak!”, yakin banget aku pasti nggak akan memerlukan nomor HP orang itu lagi.
Atau bayangkan ini: di satu resimen tentara, komandan memberikan perincian tugas pada anak buahnya.
“Tugasmu adalah menyelinap ke markas besar musuh dan menghancurkan antena komunikasi mereka! Sanggup!?”
Si kopral nyengir, “Aduh… tapi kan… di depan aja udah banyak yang jaga. Modar dong gue…!”
Kalau ada tentara yang bermental seperti itu, baru disuruh menjajal kompor gas di dapur resimen aja pasti sudah almarhum!
Dari tentara aku belajar soal karakter. Tentara itu diperintah apa saja jawabannya pasti “Siap!”, nggak pernah yang lain. Bahwa perintahnya agak nggak masuk akal, atau bahwa nanti gagal menjalankan tugas, itu soal lain. Yang penting always siap. Selalu mau. Ada kemauan besar. Dan di depan. Yakin. Bukan yang mau kalau merasa bisa menjalankan. Atau apalagi, (baru) mau kalau jelas imbalannya gede. Itu mah bukan kemauan, tapi rencana proyek!
Kadang kita terlalu perhitungan. Dan perhitungan karena semata memikirkan hasil—yaitu yang jelas-jelas menguntungkan. Kalau enggak ya nggak mau, atau apalagi kalau entah yang ada di sebelah sananya itu sama sekali nggak jelas. Kalau istilah kerennya, “terra incognita” dalam hidup.
Maukah kamu mengambil risiko menuju “terra incognita”-mu? Biasanya cuman 1 dari 1.000 yang mau, sama dengan persentase orang kenthir di tengah masyarakat normal.
Tujuh tahun lalu, 2006, aku ngeri pol pas disaranin Mas Bmr untuk keluar dari media tempatku ngantor kala itu. Mau makan apa? Hidup pake uang apa kalau nggak ada gaji bulanan lagi? Bayar cicilan motor pake apa? Uang bensin pake apa?
Tapi akhirnya aku mau. Mau saja. Dan beranjak menuju “terra incognita” yang, sudah pasti, terasa amat mengerikan di awalnya. Did I biyayakan? Yes. But did I die? No. Terra incognita itu seperti lautan luas yang baru akan pertama kali dilayari Columbus atau Vasco da Gama.
Mengerikan memang. Namanya juga petualangan. Tapi kita akan bertemu banyak hal baru yang, biar sesimpel apapun, akan terasa sebagai keajaiban besar. Dan adalah omong kosong jika dikatakan bahwa Alam (baca: Tuhan) sama sekali nggak akan menolong.
Pasti kita akan ditolong, dibantu, dengan sejuta satu cara yang nggak akan pernah terpikirkan sebelumnya, sewaktu kita masih ngoplok ketakutan di awal menuju terra incognita. Itulah kejaibannya, yang pasti bakal bikin kita mlongo heran, “Jancuuuuk! Kok bisa ya? Hahahah…!”
Maka ketika empat tahun kemudian kondisi nggak bagus di media tempatku ngantor berikutnya, aku nggak perlu pikir panjang untuk njegur ke terra incognita lagi. Out. Resign! Ya pecicilan lagi. Tapi tetep survive. Dan tetep bisa melihat banyak keajaiban aneh-aneh lagi.
Yang terbaru, tempo hari kemarin ini aku dibingungkan jadwal yang tabrakan. Sabtu 6 April ada gathering pengarang Gramedia Pustaka Utama (GPU) di Jakarta, namun Sabtu adalah juga hari Ruang Cinta. Pengin datang, tapi masa ninggalin Aulia syuting sendirian? Namun berhubung gathering belum tentu ada lagi tahun depan, sedang Ruang Cinta mainnya seminggu sekali, akhirnya aku milih ke Jakarta.
Untung Aulia ngerti pas aku bilang mau minggat. Biar nanti digantiin Prima yang nemenin. Dan lagi, aku ini tipe orang kenthir yang akan selalu mau menomorduakan pekerjaan andai ada urusan lain yang menyenangkan, misal liburan, kumpul dengan keluarga, atau event selangka gathering GPU itu.
And guess what? Hari Jumat-nya, pas udah tidur manis di Jakarta, aku di-SMS Supri, produser Ruang Cinta, yang bilang bahwa jadwal tanggal 6 ditiadakan karena jamnya mau dipakai acara wayangan live semalam suntuk. Aku pun tertawa. Lalu membayangkan andai aku jenis yang mengutamakan kerjaan daripada some gathering gak jelas, trus kerjaannya ternyata ditiadakan atau dipindah ke hari lain, pasti cuman bisa bilang “Tahu gitu… Ngertio…!”, lalu ngaplo.
Untung selalu mau. Nggak pernah nggak mau. Seperti kejadian itu, karena selalu mau, semua yang nggak jelas di belakangnya akan beres sendiri dengan cara yang aneh. Dan hal kecil jadi terasa ajaib.
Ada juga teman yang punya pengalaman mirip. Kemarin Elvira dikasting di RCTI. Trus dia dikasih tahu jadwal kerjaan sebagai artis padat. Dia ditanya castinger, mau nggak full konsen ke kerjaan dan ninggalin sekolah. Dia bilang ke aku, “Aku sih iya-iyain aja, haha…!”. Aku acungkan jempol (nggak keliatan sih lewat SMS). Ini dia orang yang bemental selalu mau, nggak pernah nggak mau. Orang yang menunggu keajaiban datang.
Why? Karena kemauan adalah pintu menuju keajaiban. Dan keajaiban selalu bersembunyi di sesela keenggakjelasan, risiko, serta tantangan. Yang serba nggak mau tentu akan terhindar dari pertemuan dengan keajaiban aneh-aneh. Sungguh termasuk golongan yang merugi.
Balik ke teori awal, selalu iyain aja. Dibilang edan yo ben. Mau aja. Jangan pernah nggak mau! Tuhan pasti akan menolong. At least ngasih jalan. Dengan cara bagaimana? Beri kesempatan keajaiban untuk menjawabnya buatmu.
Masih ingatkah kau pada Nabi Ibrahim yang dikasih tugas nyeleneh berupa menyembelih anaknya sendiri? Kamu pikir dia jenis orang yang, setelah mendengar perincian tugas, lantas nyengir dan menjawab, “Adduh… piye ya, Han…?”
Alkisah di sebuah padepokan silat, seorang calon murid baru sedang akan menjalani ujian penerimaan.
“Agar diterima, nanti kamu nyemplung sumur ya!” kata sang guru.
“Siap, Guru!” kata calon murid itu patuh.
Setelah sang guru pergi, para calon murid lainnya buru-buru merubung sang calon ini dan protes,
“Dasar nggak waras! Disuruh nyemplung sumur kok diiyain aja!”
Dia menjawab taktis, “Do I have another choice? Kalo bilang nggak mau, pasti kita semua disuruh pulang. Bahwa nyemplung sumur itu practically impossible, itu soal lain, Kawan!”

Dua dekade kemudian, dia menjadi Ketua Perguruan Selatan, Ki Randu Alas yang dijuluki Pengelana Gunung dan malang melintang tanpa tanding lewat ilmu Pukulan Membalik Angin yang mahadahsyat itu!

0 komentar:

Posting Komentar