Beberapa waktu yang lalu, entah
kenapa aku terganggu sekali dengan kata “mau” dan frase “harus mau”. Lalu aku
menulis status di FB, “Kunci dari hidup bahagia adalah jangan pernah nggak
mau”. Kita harus mau—dalam melakukan apapun, menerima apapun. Sekalipun nggak
masuk akal, mau aja! Udah terima aja dulu, yang lain pikir belakangan!
Seems nekat, isn’t it? Nekat,
instingtif, tanpa pikir panjang. Dulu aku juga berpikir begitu, pas suatu saat
media tempatku bekerja (waktu itu aku dan teman-teman kru masih jadi mahasiswa
full time) akan dibeli pemodal besar dari Jakarta.
Boss yang di Semarang bilang, pemodal itu akan menanyai kami, kru yang masih belia kuliahan ini, sebuah pertanyaan penting: “Kalau kantornya pindah ke Jakarta, sanggup nggak kalian ikut pindah, dan kemungkinan kuliah kalian agak tercecer?”
Boss yang di Semarang bilang, pemodal itu akan menanyai kami, kru yang masih belia kuliahan ini, sebuah pertanyaan penting: “Kalau kantornya pindah ke Jakarta, sanggup nggak kalian ikut pindah, dan kemungkinan kuliah kalian agak tercecer?”
Si Boss bilang, apapun
kekhawatiran yang ada di benak kami, jawab saja “Iya”. Pokoknya bilang aja
sanggup, sip, oke, dan semacamnya. Nggak usah dipikir.
Aku jelas berontak. Mana bisa
begitu? Kuliah kan penting. Masa tahu-tahu ditinggalin pindah begitu saja?
Plus, kalau kita nggak mau dan nggak sanggup tapi tetep bilang “iya”, itu kan
bohong. Mana bagus memulai sesuatu yang penting dengan kebohongan?
Lalu sekian tahun berlalu. Banyak
yang kulihat. Banyak yang terjadi pada diriku sendiri. Dan aku bisa melihat
dari sisi seberangnya. Kalau misal aku jadi boss, dan menanyakan kesanggupan
calon karyawan, lalu karyawan itu mukanya berubah nggak enak dan menjawab “Wah,
saya pikir-pikir dulu ya, Pak!”, yakin banget aku pasti nggak akan memerlukan
nomor HP orang itu lagi.
Atau bayangkan ini: di satu
resimen tentara, komandan memberikan perincian tugas pada anak buahnya.
“Tugasmu adalah menyelinap ke
markas besar musuh dan menghancurkan antena komunikasi mereka! Sanggup!?”
Si kopral nyengir, “Aduh… tapi
kan… di depan aja udah banyak yang jaga. Modar dong gue…!”
Kalau ada tentara yang bermental
seperti itu, baru disuruh menjajal kompor gas di dapur resimen aja pasti sudah
almarhum!
Dari tentara aku belajar soal karakter.
Tentara itu diperintah apa saja jawabannya pasti “Siap!”, nggak pernah yang
lain. Bahwa perintahnya agak nggak masuk akal, atau bahwa nanti gagal
menjalankan tugas, itu soal lain. Yang penting always siap. Selalu mau. Ada
kemauan besar. Dan di depan. Yakin. Bukan yang mau kalau merasa bisa
menjalankan. Atau apalagi, (baru) mau kalau jelas imbalannya gede. Itu mah
bukan kemauan, tapi rencana proyek!
Kadang kita terlalu perhitungan.
Dan perhitungan karena semata memikirkan hasil—yaitu yang jelas-jelas
menguntungkan. Kalau enggak ya nggak mau, atau apalagi kalau entah yang ada di
sebelah sananya itu sama sekali nggak jelas. Kalau istilah kerennya, “terra
incognita” dalam hidup.
Maukah kamu mengambil risiko
menuju “terra incognita”-mu? Biasanya cuman 1 dari 1.000 yang mau, sama dengan
persentase orang kenthir di tengah masyarakat normal.
Tujuh tahun lalu, 2006, aku ngeri
pol pas disaranin Mas Bmr untuk keluar dari media tempatku ngantor kala itu.
Mau makan apa? Hidup pake uang apa kalau nggak ada gaji bulanan lagi? Bayar
cicilan motor pake apa? Uang bensin pake apa?
Tapi akhirnya aku mau. Mau saja.
Dan beranjak menuju “terra incognita” yang, sudah pasti, terasa amat mengerikan
di awalnya. Did I biyayakan? Yes. But did I die? No. Terra incognita itu seperti
lautan luas yang baru akan pertama kali dilayari Columbus atau Vasco da Gama.
Mengerikan memang. Namanya juga
petualangan. Tapi kita akan bertemu banyak hal baru yang, biar sesimpel apapun,
akan terasa sebagai keajaiban besar. Dan
adalah omong kosong jika dikatakan bahwa Alam (baca: Tuhan) sama sekali nggak
akan menolong.
Pasti kita akan ditolong,
dibantu, dengan sejuta satu cara yang nggak akan pernah terpikirkan sebelumnya,
sewaktu kita masih ngoplok ketakutan di awal menuju terra incognita. Itulah kejaibannya,
yang pasti bakal bikin kita mlongo heran, “Jancuuuuk! Kok bisa ya? Hahahah…!”
Maka ketika empat tahun kemudian kondisi
nggak bagus di media tempatku ngantor berikutnya, aku nggak perlu pikir panjang
untuk njegur ke terra incognita lagi. Out. Resign! Ya pecicilan lagi. Tapi tetep
survive. Dan tetep bisa melihat banyak keajaiban aneh-aneh lagi.
Yang terbaru, tempo hari kemarin
ini aku dibingungkan jadwal yang tabrakan. Sabtu 6 April ada gathering
pengarang Gramedia Pustaka Utama (GPU) di Jakarta, namun Sabtu adalah juga hari
Ruang Cinta. Pengin datang, tapi masa ninggalin Aulia syuting sendirian? Namun
berhubung gathering belum tentu ada lagi tahun depan, sedang Ruang Cinta
mainnya seminggu sekali, akhirnya aku milih ke Jakarta.
Untung Aulia ngerti pas aku
bilang mau minggat. Biar nanti digantiin Prima yang nemenin. Dan lagi, aku ini
tipe orang kenthir yang akan selalu mau menomorduakan pekerjaan andai ada
urusan lain yang menyenangkan, misal liburan, kumpul dengan keluarga, atau
event selangka gathering GPU itu.
And guess what? Hari Jumat-nya,
pas udah tidur manis di Jakarta, aku di-SMS Supri, produser Ruang Cinta, yang
bilang bahwa jadwal tanggal 6 ditiadakan karena jamnya mau dipakai acara
wayangan live semalam suntuk. Aku pun tertawa. Lalu membayangkan andai aku
jenis yang mengutamakan kerjaan daripada some gathering gak jelas, trus
kerjaannya ternyata ditiadakan atau dipindah ke hari lain, pasti cuman bisa
bilang “Tahu gitu… Ngertio…!”, lalu ngaplo.
Untung selalu mau. Nggak pernah
nggak mau. Seperti kejadian itu, karena selalu mau, semua yang nggak jelas di
belakangnya akan beres sendiri dengan cara yang aneh. Dan hal kecil jadi terasa
ajaib.
Ada juga teman yang punya
pengalaman mirip. Kemarin Elvira dikasting di RCTI. Trus dia dikasih tahu
jadwal kerjaan sebagai artis padat. Dia ditanya castinger, mau nggak full
konsen ke kerjaan dan ninggalin sekolah. Dia bilang ke aku, “Aku sih iya-iyain
aja, haha…!”. Aku acungkan jempol (nggak keliatan sih lewat SMS). Ini dia orang
yang bemental selalu mau, nggak pernah nggak mau. Orang yang menunggu keajaiban
datang.
Why? Karena kemauan adalah pintu
menuju keajaiban. Dan keajaiban selalu bersembunyi di sesela keenggakjelasan,
risiko, serta tantangan. Yang serba nggak mau tentu akan terhindar dari
pertemuan dengan keajaiban aneh-aneh. Sungguh termasuk golongan yang merugi.
Balik ke teori awal, selalu iyain
aja. Dibilang edan yo ben. Mau aja. Jangan pernah nggak mau! Tuhan pasti akan
menolong. At least ngasih jalan. Dengan cara bagaimana? Beri kesempatan
keajaiban untuk menjawabnya buatmu.
Masih ingatkah kau pada Nabi
Ibrahim yang dikasih tugas nyeleneh berupa menyembelih anaknya sendiri? Kamu
pikir dia jenis orang yang, setelah mendengar perincian tugas, lantas nyengir
dan menjawab, “Adduh… piye ya, Han…?”
Alkisah di sebuah padepokan
silat, seorang calon murid baru sedang akan menjalani ujian penerimaan.
“Agar diterima, nanti kamu
nyemplung sumur ya!” kata sang guru.
“Siap, Guru!” kata calon murid
itu patuh.
Setelah sang guru pergi, para
calon murid lainnya buru-buru merubung sang calon ini dan protes,
“Dasar nggak waras! Disuruh
nyemplung sumur kok diiyain aja!”
Dia menjawab taktis, “Do I have
another choice? Kalo bilang nggak mau, pasti kita semua disuruh pulang. Bahwa
nyemplung sumur itu practically impossible, itu soal lain, Kawan!”
Dua dekade kemudian, dia menjadi
Ketua Perguruan Selatan, Ki Randu Alas yang dijuluki Pengelana Gunung dan
malang melintang tanpa tanding lewat ilmu Pukulan Membalik Angin yang
mahadahsyat itu!
0 komentar:
Posting Komentar