Sebuah novel harus punya banyak kejutan dan daya
tarik, yang membuat pembaca nggak bosan untuk terus membaca sampai habis. Dan
dalam belantara novel-novel pop, salah satu daya tarik yang ditunggu-tunggu
pembaca adalah momen jadian, yaitu saat sang tokoh utama jadian pacaran (atau
menikah) dengan tokoh utama lainnya. Pembaca suka happy ending, jadi momen
jadian juga harus ada. Cerita tempat kedua tokoh utama berakhir tragis dengan
dipisah (atau apalagi mati!) sudah ketinggalan zaman.
Sayangnya unsur satu ini masih belum dieksplorasi
dengan mendalam di Indonesia.
Di kebanyakan novel pop, apalagi di sinetron dan FTV, adegan jadian masih amat standar dan hanya sekadar diulang-ulang. Biasanya mirip saja dengan adegan jadian kita semua: cowok bilang dengan grogi ke gebetannya "Aku suka/cinta/sayang ama kamu. Mau nggak jadi pacarku?", dan sang cewek mBrebes mili.
Di kebanyakan novel pop, apalagi di sinetron dan FTV, adegan jadian masih amat standar dan hanya sekadar diulang-ulang. Biasanya mirip saja dengan adegan jadian kita semua: cowok bilang dengan grogi ke gebetannya "Aku suka/cinta/sayang ama kamu. Mau nggak jadi pacarku?", dan sang cewek mBrebes mili.
Maka menjadi tugas kita sebagai pengarang untuk
menjadikan momen itu memorable karena berbeda. Tidak saja beda dari buku-buku
karya pengarang lain, tapi juga berlainan terus di tiap novel atau bahkan
cerpen. Imajinasi tak mengenal batas. Selama Bumi masih berputar, dari 7 miliar
manusia, akan bisa ditemukan 7 miliar cara berbeda pula untuk melukiskan momen
jadian yang berkesan.
Dalam 11 novel, sejak Kok jadi Gini? (2005) sampai Wewe
Gombel (2011), aku selalu menemukan keasyikan tersendiri saat hendak
menyatukan dua tokoh dalam pusaran asmara. Tantangannya adalah, itu tadi, harus
selalu berbeda, dan nggak seperti umumnya kebanyakan kita yang jadian dengan
cara-cara konvensional. Selain itu aku juga nggak selera terhadap romantisme
utopis semisal candlelight dinner di Paris atau diajak ke puncak bukit
memandangi lampu-lampu kota dan si cewek berseru kagum "Aku nggak pernah
tahu ada tempat seperti ini!" (iya lah, adanya cuman di film!).
Lebih seringnya aku terinspirasi film. Adegan
jadian di Say No to Love (2007)
misalnya, terilhami As Good as It Gets
(1997) besutan James L. Brooks. Di situ, Melvin Udall (Jack Nicholson)
mendatangi Carol Connelly (Helen Hunt) dini hari dan mengajaknya jalan-jalan
sampai toko roti paling pagi buka pukul 4 subuh. Di SNTL, Wisnu mendatangi rumah Dewi juga pada pagi hari pas mau makan
sahur pukul 3 dini hari.
Satu lagi yang terinspirasi film adalah adegan
jadian di The Unfunniest Comedy
(2011), di mana Bimo dan Vian berpelukan di Stasiun Bandung. Bimo baru saja
datang dari Semarang dan Vian menjemput di stasiun. Kalau Anda pernah nonton Slumdog Millionaire-nya Danny Boyle,
Anda akan tahu adegan sebelah mana yang menginspirasi. Bedanya, di TUC, Bimo nggak melihat Vian berdiri di
balik gerbong kereta yang sedang melintas.
Kadang momen jadian sama sekali tak membutuhkan
kata-kata, apalagi yang sestandar pertanyaan "Mau nggak
bla-bla-bla...". Dalam Kok jadi
Gini?, Adi (si aku) yang sudah tak kuat menanggung stres gara-gara cinta
terpendam nekat mendatangi rumah Dilla dan tahu-tahu langsung mencium bibir
gadis itu tanpa kulonuwun terlebih dahulu (wanna try, anyone?)!
Adegan jadi seru karena kedua anak itu dijodohkan
tapi awalnya tidak mau. Dan pada hari kejadian itu, kedua keluarga mereka
sedang berkumpul di rumah Dilla. Pas mereka berciuman, pas semua orang
memergoki. Lalu "the end", cerita kututup di titik itu, biar pembaca
penasaran dan membayangkan sendiri seperti apa kira-kira suasana kehebohannya
sesudah itu.
Satu lagi yang bisa dimainkan adalah lokasi
jadian. Di kebanyakan cerita novel, sinetron, atau film, latar tempatnya selalu
mengambil lokasi-lokasi standar seperti rumah, restoran romantis, kawah gunung
(yang dikasih meja, kursi, lilin!), atau tepi jalan pas hujan deras. Kita harus
bisa menemukan tempat-tempat alternatif yang membuat momen itu selalu terasa
baru dan berbeda.
Di Rendezvous
at 8 (2006), aku bereksperimen dengan lokasi jadian baru yaitu di pelabuhan
Tanjung Emas, Semarang. Bukan pelabuhan yang indah dengan dermaga menjorok ke
laut dihias burung-burung camar, melainkan pelabuhan bongkar muat peti kemas
yang penuh kapal-kapal raksasa dan mesin-mesin crane berukuran luar biasa
besar. Vida dan Wira ke pelabuhan untuk merayakan malam tahun baru bareng para
personel band Rendezvous at 8.
Tempat aneh lain lagi adalah halte bus di Wewe Gombel. Saat itu Nova sedang
menunggu bus untuk pulang dari kuliah, sebelum tahu-tahu disamperi Arad. Di The Rain Within (2005) dan TUC, tempat unik saat jadian adalah di
ruang kelas pas malam hari pada penyelenggaraan pesta perpisahan dan di dalam
mobil sesaat setelah pulang dari pengajian (Rita dan Ruben).
Dan dalam novel metropop teranyar yang tak lama
lagi akan nongol, kembali muncul satu tempat yang amat tak lazim dipakai
sebagai lokasi penembakan dan jadian, yaitu .... (silakan baca sendiri kalau
sudah terbit nanti sekitar pekan kedua Maret 2013 ini, hehe...!).
Pesan moralnya adalah, jangan nunggu momen untuk
menyatakan cinta, apalagi yang diskenario berdasarkan lokasi atau occasion.
Misal ngajak gebetan pas 14 Februari ke warung steak romantis lalu bilang
"I love you" lewat cincin monel yang dicemplungkan ke gelas lemon
squash! Memang asik, tapi dunia nyata tak seindah film drama romantis.
Daripada nunggu momen perfect, daripada nunggu
peluang terbaik, akan lebih baik memanfaatkan apapun peluang yang ada sekalipun
sempit, sekarang juga! Meski di kantin sekolah, meski di warteg, meski di
tempat parkir, meski pas mau masuk toilet buru-buru karena kebelet pup. Pepatah
Latin bilang, "carpe diem!" (seize the day). Jangan menunggu. Lakukan
hari ini juga, karena bisa saja tak ada kesempatan lain, dan yang terburuk
adalah apa yang tak pernah sempat terkatakan...!
Tantangan terakhir yang harus kita lakukan
sebagai pengarang adalah bagaimana melukiskan adegan jadian tanpa satupun
tokohnya mengatakan kalimat sakti "I love you" dan semua
"derivat"-nya. Dalam semua novelku, aku selalu berusaha menghindari
penggunaan kalimat itu. Para tokoh harus jadian dengan as many creative ways as
possible, sebab ini kan pekerjaan kreatif, bukan sekadar mengikuti kebiasaan
yang lazim berlaku. Ada "I love you" di TUC, tapi "I LOVE YOU TOO...!!" dari Ruben setelah ia dan
Rita resmi jadian di mobil.
Mengapa? Karena cinta nggak hanya sekadar kata
"I love you". Kita nggak bisa kenal orang seminggu-dua minggu lalu
ujug-ujug bilang cinta. Emang cinta cuman sebatas olah verbal? Ungkapkan,
lakukan, tunjukkan! Semua perlu waktu. Jika target menangkap cinta yang kita
beri lewat aksi nyata, kelak kita tak akan perlu repot-repot meluncurkan
kalimat sakti itu, apalagi yang pakai grogi dan ndredheg segala. Semua akan
terwujud dengan sendirinya, seolah tida, direncanakan.
Yang penting, lakukan dengan tulus, jangan yang
berpamrih. Jadi baik dan luar biasa muanis hanya demi good impression di pihak
gebetan.
Astaga! Kenapa malah
jadi Hotline Dr. Cinta...!?
0 komentar:
Posting Komentar