Dari 10 novel yang telah nongol,
amat jarang aku hanya ngomongin roman (cinta-cintaan) doang. Praktis hanya Kok
jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow (2005) yang berupa full cerita romance.
Delapan judul berikutnya mengobrolkan dunia-dunia kerja/hobi tertentu secara
detail dan mendalam.
The Rain Within (2005) dan The
Sweetest Kickoff (2009) soal sepakbola, Rendezvous at 8 (2006) tentang anak
band indie, Dunia Dini (2007) soal jurnalis majalah sekolah SMA yang magang di
media massa beneran, Say No to Love (2007) tentang dunia para sekretaris,
Grasshopper (2010) about badminton, The Unfunniest Comedy (2011) mengenai
pelawak, dan Wewe Gombel (2011) tentang dunia perhantuan (emang hantu sejenis
profesi…?).
Dan di novel teranyar yang rilis
21 Maret 2013 ini, Fade In Fade Out, kembali kita akan menengok dunia profesi
lain lagi: sinetron. Kebetulan banget ini ngepas dengan bidang aktivitasku
sekarang di literasi media dan media watch bareng LeSPI (Lembaga Studi Pers
& Informasi. Kami memantau content media massa terutama TV, dan aku
berspesialisasi dalam menonton plus mengamati sinetron.
Tokoh utama FIFO adalah Seto,
editor tabloid Abege yang memegang rubrik resensi. Segala resensi produk budaya
pop ia yang pegang, mulai film, sinetron, hingga CD musik dan buku. Ia objektif
dalam memberi rating nilai, namun bisa jadi sangat sinis dan sarkastis bila
tengah menemui produk yang jelek. Dan dari semuanya, sinetron lah yang paling
kerap ia tulis dengan bahasa yang nyinyir sampai bikin mangkel pembaca pencinta
sinetron.
Lalu jagat terbalik ketika ia
mendapat kesempatan untuk gantian jadi pembuat sinetron. Dua skenarionya
dilirik PH di Jakarta untuk diproduksi jadi sinetron serial. Satu oleh PH kecil
yang masih idealis, satunya lagi oleh salah satu PH terbesar dengan judul-judul
serial berderet tampil di stasiun-stasiun TV swasta nasional terkemuka.
Dan barulah ia tahu bahwa dunia
di “the other side” memang tak seperti yang terlihat dari tempat kita terbiasa
melihat. Belantara produksi sinetron bisa sangat kompleks. Dan tak segampang
itu seseorang bisa dengan begitu saja membuat sinetron yang “bermutu”. Terlalu
banyak kepentingan, terutama soal rating. Seniman paling berkaliber pun harus
mau berkompromi, atau ia takkan mendapatkan tempat.
Maka Seto harus menghadapi
pilihan besar: setia dengan idealismenya di resensi tabloid atau mau ikut
bermain menurut cara mereka. Dan mungkin ia tak bakal menemukan jawaban yang
tepat jika ia tak bertemu Farah, seorang gadis yang berasal dari tempat jauh
tak terjangkau namun menawarkan masa depan hanya jika ia berani melakukan satu
hal penting: ikuti saja kata hati.
Farah ini tak lain adalah owner
klub Magelang FC dari novel The Sweetest Kickoff. Di cerita itu dia nggak nemu
pasangan sampai the end. Yang jadian justru malah sepupunya, Achie, sama Danu
Mananta, pelatih kepala Magelang FC yang awalnya musuhan berat dengan Farah.
Karena banyak pembaca yang
penasaran mengenai nasib perjodohannya Farah, maka kubuatlah FIFO, yang
merupakan sekuel tak resmi The Sweetest Kickoff. Nah, bagi yang tempo hari
penasaran, silakan simak bagaimana akhir bahagia kisah cinta Farah di novel
ini. Pertanyaannya, akankah cintanya berakhir bahagia? There’s only one way to
find out: beli!
FIFO kutulis tahun 2010, jauh
sebelum aku ada bayangan suatu saat akan ikut jadi aktivis literasi media
khususnya bidang pengamatan sinetron. Sumber idenya ya dari kemangkelanku akan
kondisi sinetron-sinetron serial kita yang makin ke sini justru makin ngawur
bin sakkepenake dhewe itu.
Awal 2011, tak lama setelah Grasshopper
terbit, aku kirim naskahnya ke GPU. Asyik mengikuti proses penerbitan The
Unfunniest Comedy dan Wewe Gombel, aku agak lupa pada naskah itu. Ingatnya lagi
baru saat Novera ngasih tahu FIFO akan terbit pas aku dan geng BuCu hadir di
acara launching Kumcer Teenlit: Bukan Cupid di TB Gramedia Matraman, Jakarta, Sabtu
11 Februari 2012.
Lalu sepanjang 2012 disibukkan
dengan sederet buku nonfiksi, seperti Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya
Sendiri (duet bareng Widyo “Babahe” Leksono), Sarang Hae Yo Super Junior &
SNSD, serta Katy Perry: The Firework, aku agak terlupa lagi pada FIFO.
Ternyata, baru setahun kemudian novel ini muncul dan menjadi metropop ketigaku.
Jika dicermati, ada yang tak
biasa dalam teknik penulisan FIFO. Novel ini sebenarnya kutulis dengan angle
orang pertama. Seluruh jagat “semesta” cerita novel dilihat dari sudut pandang,
perasaan, dan pemikiran satu tokoh tok, yaitu sang tokoh utama (Seto). Hal
internal apapun yang dialami tokoh-tokoh lain (Farah, Bayu, Nane, Dana)
dituturkan berdasar hasil observasi Seto terhadap mereka.
Seluruh adegan murni based on
Seto. Ia hadir di setiap adegan. Tak ada adegan tempat Seto tak hadir dan yang
dikisahkan adalah tokoh lain. Ini murni style penceritaan dengan angle orang
pertama (“aku”/”saya”). Meski begitu, aku menceritakannya dengan angle orang
ketiga. Maka FIFO mungkin segelintir—atau barangkali satu-satunya—novel yang
ber-style “pseudo-third person point of view” di dunia ini.
FIFO sendiri bertutur soal
keberanian dalam menggapai mimpi, mengambil kesempatan, dan mengenali kapan
kita harus mundur mengalah untuk maju melompat ke depan. Tiap dari kita punya
idealisme, tapi kita harus tahu jurus-jurus memainkannya dengan manis agar kita
tetap dapat apa yang kita mau.
Intinya adalah untuk, bila hidup
adalah cerita silat, memainkan apa yang disebut Menari Bersama Lawan. Kita
mengikuti jurus silat apapun yang dipunyai lawan untuk mengalahkannya—atau
setidaknya untuk sekadar ikut bermain dan kemudian pelan-pelan gantian
mengendalikan situasi.
Siapapun kita, hidup akan selalu
seperti itu. Hanya karena skill atau ide-ide kita superbrilian, tak lantas
dengan seenaknya kita bisa membantah pendapat semua orang dan memaksa mereka
untuk selalu mendengarkan omongan kita. Orang perlu berangkat dari bawah,
mendengarkan, menggali ilmu dengan cara mengikuti cara bermain yang sudah ada,
baru kemudian menjadi someone.
Sebelum dijuluki (baca: menjuluki
dirinya sendiri!) The Special One, Jose Mourinho tentu hanyalah seorang junior
pupuk bawang biasa di dunia manajemen kepelatihan sepakbola dunia. Tak ada yang
mengenalnya. Tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya soal bagaimana
seharusnya mengurus jerohan klub bola.
Ia belajar dari almarhum Sir
Bobby Robson, mengikuti cara-cara dan metodenya, mematangkan diri, dan baru
sesudahnya bisa berdiri sendiri lalu bisa mempraktikkan metode-metode yang
“seenak udelnya sendiri” dalam menangani sebuah klub. Dan sekarang gantian para
junior lain yang belajar dan mengikuti cara-cara Mourinho. Begitu seterusnya
sepanjang zaman.
FIFO adalah sebuah pengingat
bahwa kesuksesan, apapun itu, hanya bisa datang lewat proses belajar dan
mendewasa yang bisa sangat lama. Tak ada yang jadi besar dari jalan pintas.
Period. End of story.
0 komentar:
Posting Komentar