scribo ergo sum

Selasa, 19 Maret 2013

Fade In Fade Out

14:00 Posted by wiwien wintarto No comments

Dari 10 novel yang telah nongol, amat jarang aku hanya ngomongin roman (cinta-cintaan) doang. Praktis hanya Kok jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow (2005) yang berupa full cerita romance. Delapan judul berikutnya mengobrolkan dunia-dunia kerja/hobi tertentu secara detail dan mendalam.
The Rain Within (2005) dan The Sweetest Kickoff (2009) soal sepakbola, Rendezvous at 8 (2006) tentang anak band indie, Dunia Dini (2007) soal jurnalis majalah sekolah SMA yang magang di media massa beneran, Say No to Love (2007) tentang dunia para sekretaris, Grasshopper (2010) about badminton, The Unfunniest Comedy (2011) mengenai pelawak, dan Wewe Gombel (2011) tentang dunia perhantuan (emang hantu sejenis profesi…?).
Dan di novel teranyar yang rilis 21 Maret 2013 ini, Fade In Fade Out, kembali kita akan menengok dunia profesi lain lagi: sinetron. Kebetulan banget ini ngepas dengan bidang aktivitasku sekarang di literasi media dan media watch bareng LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi. Kami memantau content media massa terutama TV, dan aku berspesialisasi dalam menonton plus mengamati sinetron.
Tokoh utama FIFO adalah Seto, editor tabloid Abege yang memegang rubrik resensi. Segala resensi produk budaya pop ia yang pegang, mulai film, sinetron, hingga CD musik dan buku. Ia objektif dalam memberi rating nilai, namun bisa jadi sangat sinis dan sarkastis bila tengah menemui produk yang jelek. Dan dari semuanya, sinetron lah yang paling kerap ia tulis dengan bahasa yang nyinyir sampai bikin mangkel pembaca pencinta sinetron.
Lalu jagat terbalik ketika ia mendapat kesempatan untuk gantian jadi pembuat sinetron. Dua skenarionya dilirik PH di Jakarta untuk diproduksi jadi sinetron serial. Satu oleh PH kecil yang masih idealis, satunya lagi oleh salah satu PH terbesar dengan judul-judul serial berderet tampil di stasiun-stasiun TV swasta nasional terkemuka.
Dan barulah ia tahu bahwa dunia di “the other side” memang tak seperti yang terlihat dari tempat kita terbiasa melihat. Belantara produksi sinetron bisa sangat kompleks. Dan tak segampang itu seseorang bisa dengan begitu saja membuat sinetron yang “bermutu”. Terlalu banyak kepentingan, terutama soal rating. Seniman paling berkaliber pun harus mau berkompromi, atau ia takkan mendapatkan tempat.
Maka Seto harus menghadapi pilihan besar: setia dengan idealismenya di resensi tabloid atau mau ikut bermain menurut cara mereka. Dan mungkin ia tak bakal menemukan jawaban yang tepat jika ia tak bertemu Farah, seorang gadis yang berasal dari tempat jauh tak terjangkau namun menawarkan masa depan hanya jika ia berani melakukan satu hal penting: ikuti saja kata hati.
Farah ini tak lain adalah owner klub Magelang FC dari novel The Sweetest Kickoff. Di cerita itu dia nggak nemu pasangan sampai the end. Yang jadian justru malah sepupunya, Achie, sama Danu Mananta, pelatih kepala Magelang FC yang awalnya musuhan berat dengan Farah.
Karena banyak pembaca yang penasaran mengenai nasib perjodohannya Farah, maka kubuatlah FIFO, yang merupakan sekuel tak resmi The Sweetest Kickoff. Nah, bagi yang tempo hari penasaran, silakan simak bagaimana akhir bahagia kisah cinta Farah di novel ini. Pertanyaannya, akankah cintanya berakhir bahagia? There’s only one way to find out: beli!
FIFO kutulis tahun 2010, jauh sebelum aku ada bayangan suatu saat akan ikut jadi aktivis literasi media khususnya bidang pengamatan sinetron. Sumber idenya ya dari kemangkelanku akan kondisi sinetron-sinetron serial kita yang makin ke sini justru makin ngawur bin sakkepenake dhewe itu.
Awal 2011, tak lama setelah Grasshopper terbit, aku kirim naskahnya ke GPU. Asyik mengikuti proses penerbitan The Unfunniest Comedy dan Wewe Gombel, aku agak lupa pada naskah itu. Ingatnya lagi baru saat Novera ngasih tahu FIFO akan terbit pas aku dan geng BuCu hadir di acara launching Kumcer Teenlit: Bukan Cupid di TB Gramedia Matraman, Jakarta, Sabtu 11 Februari 2012.
Lalu sepanjang 2012 disibukkan dengan sederet buku nonfiksi, seperti Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri (duet bareng Widyo “Babahe” Leksono), Sarang Hae Yo Super Junior & SNSD, serta Katy Perry: The Firework, aku agak terlupa lagi pada FIFO. Ternyata, baru setahun kemudian novel ini muncul dan menjadi metropop  ketigaku.
Jika dicermati, ada yang tak biasa dalam teknik penulisan FIFO. Novel ini sebenarnya kutulis dengan angle orang pertama. Seluruh jagat “semesta” cerita novel dilihat dari sudut pandang, perasaan, dan pemikiran satu tokoh tok, yaitu sang tokoh utama (Seto). Hal internal apapun yang dialami tokoh-tokoh lain (Farah, Bayu, Nane, Dana) dituturkan berdasar hasil observasi Seto terhadap mereka.
Seluruh adegan murni based on Seto. Ia hadir di setiap adegan. Tak ada adegan tempat Seto tak hadir dan yang dikisahkan adalah tokoh lain. Ini murni style penceritaan dengan angle orang pertama (“aku”/”saya”). Meski begitu, aku menceritakannya dengan angle orang ketiga. Maka FIFO mungkin segelintir—atau barangkali satu-satunya—novel yang ber-style “pseudo-third person point of view” di dunia ini.
FIFO sendiri bertutur soal keberanian dalam menggapai mimpi, mengambil kesempatan, dan mengenali kapan kita harus mundur mengalah untuk maju melompat ke depan. Tiap dari kita punya idealisme, tapi kita harus tahu jurus-jurus memainkannya dengan manis agar kita tetap dapat apa yang kita mau.
Intinya adalah untuk, bila hidup adalah cerita silat, memainkan apa yang disebut Menari Bersama Lawan. Kita mengikuti jurus silat apapun yang dipunyai lawan untuk mengalahkannya—atau setidaknya untuk sekadar ikut bermain dan kemudian pelan-pelan gantian mengendalikan situasi.
Siapapun kita, hidup akan selalu seperti itu. Hanya karena skill atau ide-ide kita superbrilian, tak lantas dengan seenaknya kita bisa membantah pendapat semua orang dan memaksa mereka untuk selalu mendengarkan omongan kita. Orang perlu berangkat dari bawah, mendengarkan, menggali ilmu dengan cara mengikuti cara bermain yang sudah ada, baru kemudian menjadi someone.
Sebelum dijuluki (baca: menjuluki dirinya sendiri!) The Special One, Jose Mourinho tentu hanyalah seorang junior pupuk bawang biasa di dunia manajemen kepelatihan sepakbola dunia. Tak ada yang mengenalnya. Tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya soal bagaimana seharusnya mengurus jerohan klub bola.
Ia belajar dari almarhum Sir Bobby Robson, mengikuti cara-cara dan metodenya, mematangkan diri, dan baru sesudahnya bisa berdiri sendiri lalu bisa mempraktikkan metode-metode yang “seenak udelnya sendiri” dalam menangani sebuah klub. Dan sekarang gantian para junior lain yang belajar dan mengikuti cara-cara Mourinho. Begitu seterusnya sepanjang zaman.
FIFO adalah sebuah pengingat bahwa kesuksesan, apapun itu, hanya bisa datang lewat proses belajar dan mendewasa yang bisa sangat lama. Tak ada yang jadi besar dari jalan pintas. Period. End of story.

0 komentar:

Posting Komentar