"Selamat juga buat Li Na! Dia pemain tenis yang hebat. Semoga
sukses selalu menyertainya sepanjang tahun ini, dan kami lebih sering lagi
bertemu di final...!"
Penggalan kalimat itu mengakhiri victory speech (pidato kemenangan)
Victoria Azarenka selepas mempertahankan gelar tunggal putri turnamen tenis
Grand Slam pertama tahun ini, Australian Open di Rod Laver Arena, Melbourne,
Australia. Di final Sabtu (26/1) malam lalu waktu setempat, petenis Belarus itu
mengalahkan Li Na yang asal China dengan skor 4-6, 6-4, 6-3.
Kontan tepuk tangan membahana, baik dari fans Azarenka sendiri maupun
dari pendukung Li yang menyesaki sebagian besar penjuru stadion. Li pun
menjawabnya dengan anggukan pelan dan senyuman tipis meski matanya masih
berlinang air mata kekalahan.
Persahabatan dalam rivalitas sengit. Humor. Nilai-nilai kemanusiaan.
Itulah pernak-pernik kecil yang membuat pertandingan tenis berdurasi 2 jam itu
menjadi lebih dari sekadar adu mengirim pukulan pemusnah dalam bentuk bola
karet warna hijau kekuningan. Lewat layar kaca, pemirsa disuguhi begitu banyak
hal berbeda selain hanya bola dan raket.
Sekali waktu kamera meng-close up tulisan mungil di sepatu kedua
pemain, lalu raket mereka, lalu hubungan mereka sepanjang permainan dengan ball
boy yang bertugas membawakan handuk. Dan ketika sampai pada urusan tayang ulang
extreme slo-mo, kamera tak hanya menayangkan instant replay bola masuk-keluar,
melainkan juga ekspresi-ekspresi menarik kedua pemain dalam berbagai momen
termasuk juga slow motion pada laju bola.
Dibandingkan dengan tenis yang mampu di-capture semenghibur itu,
tayangan bulutangkis yang sangat straightforward, lugu, dan serba apa adanya
semata sport terasa tak ubahnya pekan olah raga tingkat kabupaten atau
provinsi. Banyak sisi yang tak tergarap untuk menjadikannya satu paket sportainment
komplet sebagaimana basket NBA, Premier League, atau bahkan bisbol MLB yang
sesungguhnya sangat lamban dan membosankan itu.
Dalam pandangan saya sebagai pengamat duren dan badminton, ada
beberapa faktor yang membuat kemasan badminton di TV masih tampak inferior
dibanding cabang-cabang olah raga yang jauh kalah menarik tapi lebih ngetop
hanya karena menang di kemasan dan cara berpromo (misalnya golf!):
No Star
Bener, memang ada pemain kelas dewa seperti Lin Dan atau Lee Chong
Wei. But who are they selain jago tepok bulu? Tak ada pemain bulutangkis dengan
karakter kebintangan yang menarik, flamboyan, atau kontroversial seperti Andre
Agassi, David Beckham, Muhammad Ali. Sosok mereka di depan kamera pun cenderung
kaku bahkan culun tanpa kemampuan artikulatif yang memadai.
Pemain badminton sepertinya harus mengikuti kursus kepribadian untuk
mengeluarkan aura kebintangan dan skill mereka membawa diri di depan media.
Bulutangkis akan selamanya terkucil selama para bintangnya hanya dikenal di
dalam area badminton doang. Tak seperti Federer yang dikenal penggemar bola,
Beckham yang digemari orang Amerika yang tak paham sepakbola, atau Michael
Jordan yang pernah main film.
Pemain, Bukan Negara
Bulutangkis adalah permainan individu. Karenanya fokus harus diarahkan
ke kebintangan dan keunikan tiap pemain dan bukan lagi "China sapu bersih"
atau "Indonesia sertakan tiga wakil di final". Fokus pada pemain akan
membuat badminton punya puluhan dan bahkan ratusan daya tarik berbeda daripada jika
urusannya hanya soal negara.
Dan terlalu superpowernya satu negara, dalam hal ini China, membuat
bulutangkis jadi membosankan karena lama-lama amat predictable. Apa gunanya BWF
menggelar All England, Super Series, lalu masuk Olimpiade jika pemain-pemain negara
lain baru bisa juara jika China kebetulan pas tak ambil bagian?
Konferensi Pers
Salah satu daya tarik kemasan olah raga di TV adalah konferensi pers sebelum
dan sesudah pertandingan. Saat memanggungkan tokoh-tokoh kontroversial seperti
Jose Mourinho atau Martina Hingis, kemunculan kata-kata yang sensasional adalah
keniscayaan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh media.
Di badminton, konferensi pers tak pernah masuk paket tayangan atau
pemberitaan. Bahkan untuk turnamen "Grand Slam"-nya bulutangkis
seperti All England. Salah satu sebabnya, para pemain tak pernah bisa bikin berita
heboh lewat kata-kata atau attitude-nya yang extraordinary.
No "Martin Tyler"
Sepakbola menjadi kian menarik karena punya komentator berkelas bintang
seperti Martin Tyler atau Andy Gray, yang bisa memberi dimensi kedalaman lewat komentar-komentar
mereka yang khas dan bernas. Atau seperti komentator bola di Amerika Latin
dengan ciri khas teriakan panjang "Gol, gol, gol, gol, gol, gooool!" saat
bola masuk gawang.
Komentator badminton di Eropa sudah sedikit lebih analitis seperti
komentator tenis, tapi tetap belum semenarik komentator bola atau basket NBA.
Yang paling menyebalkan adalah komentator bulutangkis di Indonesia yang masih
bergaya "Max Sopacua" ala tahun 1980-an dengan laporan pandangan mata
semacam "masuk, pindah bola", "menyangkuti net",
"kontrol bola yang kurang cermat", atau cuman terus-menerus menyebut
skor "tujuh-lima, sebelas-dua belas, dua puluh-delapan belas game
point".
Kalau cuman pandangan mata, murid SMP juga bisa. Lagian kami dan kita
semua kan sudah lihat bareng-bareng. Memangnya siaran langsung lewat radio!?
Victory Speech
Banyak turnamen bulutangkis tak menyertakan pidato kemenangan. Hanya
penyerahan medali atau trofi, boneka atau bunga, cek senilai sekian ribu dolar,
pemain melambai, lalu sudah. Padahal victory speech bisa melahirkan kalimat
sebagus yang diucapkan Azarenka di atas, tempat sisi-sisi humanis badminton
bisa ditemukan dan dimainkan media.
Untuk itu, tentu saja para pemain harus melalui latihan seperti dalam
poin pertama, karena percuma juga dikasih kesempatan pidato terima kasih
seperti di ajang anugerah Oscar kalau pidatonya cuman sepatah dua patah kata
standar seperti di rapat RT!
Durasi
Australian Open dan turnamen-turnamen tenis Grand Slam berlangsung
selama 2 minggu. Piala Dunia FIFA digelar selama sebulan penuh. Durasi event
yang cukup lama membuat perayaan dan kehebohan berlangsung lebih lama. Sedang
umumnya turnamen badminton digelar seminggu atau bahkan hanya dalam empat hari.
Itu berkaitan dengan drawing juga. Grand Slam memakai drawing 128,
diikuti 128 pemain yang mengerucut dalam sistem gugur tujuh babak hingga final.
Turnamen badminton kebanyakan memakai drawing 32. Baru mulai siaran langsung
dua hari, tahu-tahu sudah semifinal. Terlalu cepat. Kurang menegangkan.
Berkesan seperti tergesa dan secukupnya karena kendala dana.
Turnamen bulutangkis perlu digelar dengan durasi lebih lama agar
setiap elemennya bisa punya cukup waktu untuk dimainkan, semisal penjualan
merchandise, meet & greet khusus dengan pemain, atau event-event pendamping
(pameran memorabilia, expo badminton, pameran foto, workshop & coaching
clinic, dll.).
Statistik
Popularitas tayangan olah raga di TV Amerika didukung oleh tampilan
statistik pertandingan. Di NBA, ada persentase dan angka nyaris untuk semua hal
kecil-kecil. Field goal, 3 points shoot, overturn, semua. Belakangan, Liga
Primer Inggris punya lembaga statistik Actim untuk menghitung mulai dari passes
completed, distance traveled, hingga angka rerata efektivitas permainan tiap
individu pemain.
Bagaimana dengan bulutangkis? Cabang satu ini masih sangat pariah
dalam tampilan statistik di televisi. Inovasi teranyar hanya dalam menghitung
kecepatan bola smash. Saya membayangkan statistik badminton dalam persentase
keberhasilan smash, dropshot, dan tampilan titik-titik posisi di mana bola
smash atau dropshot itu menghasilkan angka.
Kreativitas TV
Last but not least, tentu kemampuan berkreasi dan berinovasi pihak
stasiun TV yang tengah memegang hak siar tayangan langsung satu event kejuaraan
bulutangkis seperti Indonesian Open Super Series atau Superliga. Apapun di TV
akan laku dijual jika dikemas menjadi paket entertainment. Dan itu melingkupi
seluruh lini, sejak kecermatan pengambilan gambar plus pemilihan angle,
kecerdasan para komentator, hingga packaging.
Paket tayangan seharusnya tak melulu berupa siaran langsung
pertandingan (apalagj yang disiarkan hanya yang melibatkan pemain atau tim
Indonesia). Konferensi pers, profil pemain bintang, atau semacam infotainment
badminton akan sangat membantu untuk menjadikannya, sebagaimana rangkaian
tayangan Australian Open di STAR Sports itu, tak semata olah raga.
0 komentar:
Posting Komentar