scribo ergo sum

Senin, 28 Januari 2013

Tenis & Badminton

21:11 Posted by wiwien wintarto No comments

"Selamat juga buat Li Na! Dia pemain tenis yang hebat. Semoga sukses selalu menyertainya sepanjang tahun ini, dan kami lebih sering lagi bertemu di final...!"
Penggalan kalimat itu mengakhiri victory speech (pidato kemenangan) Victoria Azarenka selepas mempertahankan gelar tunggal putri turnamen tenis Grand Slam pertama tahun ini, Australian Open di Rod Laver Arena, Melbourne, Australia. Di final Sabtu (26/1) malam lalu waktu setempat, petenis Belarus itu mengalahkan Li Na yang asal China dengan skor 4-6, 6-4, 6-3.

Kontan tepuk tangan membahana, baik dari fans Azarenka sendiri maupun dari pendukung Li yang menyesaki sebagian besar penjuru stadion. Li pun menjawabnya dengan anggukan pelan dan senyuman tipis meski matanya masih berlinang air mata kekalahan.
Persahabatan dalam rivalitas sengit. Humor. Nilai-nilai kemanusiaan. Itulah pernak-pernik kecil yang membuat pertandingan tenis berdurasi 2 jam itu menjadi lebih dari sekadar adu mengirim pukulan pemusnah dalam bentuk bola karet warna hijau kekuningan. Lewat layar kaca, pemirsa disuguhi begitu banyak hal berbeda selain hanya bola dan raket.
Sekali waktu kamera meng-close up tulisan mungil di sepatu kedua pemain, lalu raket mereka, lalu hubungan mereka sepanjang permainan dengan ball boy yang bertugas membawakan handuk. Dan ketika sampai pada urusan tayang ulang extreme slo-mo, kamera tak hanya menayangkan instant replay bola masuk-keluar, melainkan juga ekspresi-ekspresi menarik kedua pemain dalam berbagai momen termasuk juga slow motion pada laju bola.
Dibandingkan dengan tenis yang mampu di-capture semenghibur itu, tayangan bulutangkis yang sangat straightforward, lugu, dan serba apa adanya semata sport terasa tak ubahnya pekan olah raga tingkat kabupaten atau provinsi. Banyak sisi yang tak tergarap untuk menjadikannya satu paket sportainment komplet sebagaimana basket NBA, Premier League, atau bahkan bisbol MLB yang sesungguhnya sangat lamban dan membosankan itu.
Dalam pandangan saya sebagai pengamat duren dan badminton, ada beberapa faktor yang membuat kemasan badminton di TV masih tampak inferior dibanding cabang-cabang olah raga yang jauh kalah menarik tapi lebih ngetop hanya karena menang di kemasan dan cara berpromo (misalnya golf!):

No Star
Bener, memang ada pemain kelas dewa seperti Lin Dan atau Lee Chong Wei. But who are they selain jago tepok bulu? Tak ada pemain bulutangkis dengan karakter kebintangan yang menarik, flamboyan, atau kontroversial seperti Andre Agassi, David Beckham, Muhammad Ali. Sosok mereka di depan kamera pun cenderung kaku bahkan culun tanpa kemampuan artikulatif yang memadai.
Pemain badminton sepertinya harus mengikuti kursus kepribadian untuk mengeluarkan aura kebintangan dan skill mereka membawa diri di depan media. Bulutangkis akan selamanya terkucil selama para bintangnya hanya dikenal di dalam area badminton doang. Tak seperti Federer yang dikenal penggemar bola, Beckham yang digemari orang Amerika yang tak paham sepakbola, atau Michael Jordan yang pernah main film.

Pemain, Bukan Negara
Bulutangkis adalah permainan individu. Karenanya fokus harus diarahkan ke kebintangan dan keunikan tiap pemain dan bukan lagi "China sapu bersih" atau "Indonesia sertakan tiga wakil di final". Fokus pada pemain akan membuat badminton punya puluhan dan bahkan ratusan daya tarik berbeda daripada jika urusannya hanya soal negara.
Dan terlalu superpowernya satu negara, dalam hal ini China, membuat bulutangkis jadi membosankan karena lama-lama amat predictable. Apa gunanya BWF menggelar All England, Super Series, lalu masuk Olimpiade jika pemain-pemain negara lain baru bisa juara jika China kebetulan pas tak ambil bagian?

Konferensi Pers
Salah satu daya tarik kemasan olah raga di TV adalah konferensi pers sebelum dan sesudah pertandingan. Saat memanggungkan tokoh-tokoh kontroversial seperti Jose Mourinho atau Martina Hingis, kemunculan kata-kata yang sensasional adalah keniscayaan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh media.
Di badminton, konferensi pers tak pernah masuk paket tayangan atau pemberitaan. Bahkan untuk turnamen "Grand Slam"-nya bulutangkis seperti All England. Salah satu sebabnya, para pemain tak pernah bisa bikin berita heboh lewat kata-kata atau attitude-nya yang extraordinary.

No "Martin Tyler"
Sepakbola menjadi kian menarik karena punya komentator berkelas bintang seperti Martin Tyler atau Andy Gray, yang bisa memberi dimensi kedalaman lewat komentar-komentar mereka yang khas dan bernas. Atau seperti komentator bola di Amerika Latin dengan ciri khas teriakan panjang "Gol, gol, gol, gol, gol, gooool!" saat bola masuk gawang.
Komentator badminton di Eropa sudah sedikit lebih analitis seperti komentator tenis, tapi tetap belum semenarik komentator bola atau basket NBA. Yang paling menyebalkan adalah komentator bulutangkis di Indonesia yang masih bergaya "Max Sopacua" ala tahun 1980-an dengan laporan pandangan mata semacam "masuk, pindah bola", "menyangkuti net", "kontrol bola yang kurang cermat", atau cuman terus-menerus menyebut skor "tujuh-lima, sebelas-dua belas, dua puluh-delapan belas game point".
Kalau cuman pandangan mata, murid SMP juga bisa. Lagian kami dan kita semua kan sudah lihat bareng-bareng. Memangnya siaran langsung lewat radio!?

Victory Speech
Banyak turnamen bulutangkis tak menyertakan pidato kemenangan. Hanya penyerahan medali atau trofi, boneka atau bunga, cek senilai sekian ribu dolar, pemain melambai, lalu sudah. Padahal victory speech bisa melahirkan kalimat sebagus yang diucapkan Azarenka di atas, tempat sisi-sisi humanis badminton bisa ditemukan dan dimainkan media.
Untuk itu, tentu saja para pemain harus melalui latihan seperti dalam poin pertama, karena percuma juga dikasih kesempatan pidato terima kasih seperti di ajang anugerah Oscar kalau pidatonya cuman sepatah dua patah kata standar seperti di rapat RT!

Durasi
Australian Open dan turnamen-turnamen tenis Grand Slam berlangsung selama 2 minggu. Piala Dunia FIFA digelar selama sebulan penuh. Durasi event yang cukup lama membuat perayaan dan kehebohan berlangsung lebih lama. Sedang umumnya turnamen badminton digelar seminggu atau bahkan hanya dalam empat hari.
Itu berkaitan dengan drawing juga. Grand Slam memakai drawing 128, diikuti 128 pemain yang mengerucut dalam sistem gugur tujuh babak hingga final. Turnamen badminton kebanyakan memakai drawing 32. Baru mulai siaran langsung dua hari, tahu-tahu sudah semifinal. Terlalu cepat. Kurang menegangkan. Berkesan seperti tergesa dan secukupnya karena kendala dana.
Turnamen bulutangkis perlu digelar dengan durasi lebih lama agar setiap elemennya bisa punya cukup waktu untuk dimainkan, semisal penjualan merchandise, meet & greet khusus dengan pemain, atau event-event pendamping (pameran memorabilia, expo badminton, pameran foto, workshop & coaching clinic, dll.).

Statistik
Popularitas tayangan olah raga di TV Amerika didukung oleh tampilan statistik pertandingan. Di NBA, ada persentase dan angka nyaris untuk semua hal kecil-kecil. Field goal, 3 points shoot, overturn, semua. Belakangan, Liga Primer Inggris punya lembaga statistik Actim untuk menghitung mulai dari passes completed, distance traveled, hingga angka rerata efektivitas permainan tiap individu pemain.
Bagaimana dengan bulutangkis? Cabang satu ini masih sangat pariah dalam tampilan statistik di televisi. Inovasi teranyar hanya dalam menghitung kecepatan bola smash. Saya membayangkan statistik badminton dalam persentase keberhasilan smash, dropshot, dan tampilan titik-titik posisi di mana bola smash atau dropshot itu menghasilkan angka.

Kreativitas TV
Last but not least, tentu kemampuan berkreasi dan berinovasi pihak stasiun TV yang tengah memegang hak siar tayangan langsung satu event kejuaraan bulutangkis seperti Indonesian Open Super Series atau Superliga. Apapun di TV akan laku dijual jika dikemas menjadi paket entertainment. Dan itu melingkupi seluruh lini, sejak kecermatan pengambilan gambar plus pemilihan angle, kecerdasan para komentator, hingga packaging.

Paket tayangan seharusnya tak melulu berupa siaran langsung pertandingan (apalagj yang disiarkan hanya yang melibatkan pemain atau tim Indonesia). Konferensi pers, profil pemain bintang, atau semacam infotainment badminton akan sangat membantu untuk menjadikannya, sebagaimana rangkaian tayangan Australian Open di STAR Sports itu, tak semata olah raga.

0 komentar:

Posting Komentar