scribo ergo sum

Rabu, 07 Desember 2011

The Failing State

11:13 Posted by wiwien wintarto No comments






Mirip judul film ya? Paling pas disutradarai Michael Mann, genre action-thriller, dengan cast Matt Damon, Bradley Cooper, dan Michelle Rodriguez. Berkisah tentang dua agen FBI (Damon, Cooper) yang ditugaskan menangkap seorang PSK (Rodriguez) yang dituduh membunuh kliennya. Tak tahunya, sang PSK ternyata hanya pion yang dikorbankan dalam sebuah kasus mafia peradilan yang melibatkan Walikota New York berkaitan dengan korupsi anggaran para senator penting AS!
Alangkah bagusnya kalau Hanung Bramantyo atau Rudi Soedjarwo bisa bikin film kayak gituan di sini, jadi nggak cuman cinta-cintaan, pocong-pocongan, atau sangpencerah-sangpencerahan.
Yang jelas memang negeri ini di ambang kegagalan permanen sebagai akibat korupsi multidimensional yang melanda bangsa. Tak cuman para penggede, kita pun masyarakat kecil ini gemar korupsi manipulasi juga. Contohnya, saat dicegat razia polisi.
Pertanyaannya, mengapa kita jadi hobi korupsi-manipulasi? Ada yang memang jahat, tak peduli, tapi sebagian besar (termasuk kita-kita ini!) karena terpaksa. Karena tak menemukan cara lain agar bisa ngeksis.
Lho, kok bisa?
Lihat sejak dari kurikulum pendidikan (sekolah formal). Dari TK sampai perguruan tinggi, kita cuman disuruh memenuhi target berupa nilai bagus. Kebenaran adalah jika nilai ulangan atau IP tinggi. Jika tidak, kau dianggap sesat!
Sekolah tidak memberikan bekal pembangunan karakter positif dan keterampilan hidup, melainkan hanya menggelontorkan pelajaran bahasa, matematika, fisika, kimia, geografi sekadar untuk sarana meraih nilai. Dalam pelajaran bahasa misalnya, kita belajar mengarang hanya untuk menggapai nilai ulangan. Begitu ulangan lewat dan nilai 9 terrengkuh, sudah lupa lagi bagaimana caranya mengarang.
Dan kebanyakan bimbel pun tidak memberikan materi pelajaran untuk dikupas dan dipahami sampai ngelotok, melainkan hanya program cepat cara menebak dan mengurai jawaban-jawaban ujian. Akibatnya, lulus ujian dengan nilai perfect, tapi “isi baterai” masih tetap kosong karena tak ada satupun yang nyantel dan bisa dipakai beneran menjelajah hidup.
Di pihak lain, lingkungan keluarga sejak awal menggadang-gadang kita untuk menjadi orang kaya. Kebenaran adalah jika nantinya pas dewasa bisa kaya raya dan pas pulang mudik Lebaran bawa mobil keren terbaru. Jika tidak, kau dianggap sesat!
Semua tekanan dan tuntutan itu amat membebani anak. Di sekolah diharuskan untuk dapat nilai bagus, di rumah dipersiapkan untuk menjadi orang kaya. Parahnya, tak ada yang ngasih tahu dengan cara bagaimana kedua hal itu bisa sungguh-sungguh dicapai. Hanya ada kalimat-kalimat muluk kosong tanpa makna semacam “belajar yang rajin” atau “bekerja yang giat”.
“Rajin” itu seperti apa? “Giat” itu seperti apa? Orang bisa jadi hebat kayak Messi atau Spielberg bukan karena bakat “gawan bayi”, tapi latihan keras yang tekun berdasar petunjuk-petunjuk yang sangat teknis dan bisa dijabarkan secara ilmiah gamblang, bukan cuma “He, Lionel, latihan yang keras ya!” atau “He, Steven, menyutradara yang ulet ya!”
Karena hanya mendapat tuntutan dan tekanan tanpa sedikitpun memperoleh petunjuk yang terang benderang, anak pun jadi clueless saat tiba waktunya dia harus meraih nilai bagus dan mengumpulkan penghasilan biar jadi kaya. Karena clueless, jalan pintas pun diambil: nyontek dan korupsi. Apapun, yang penting tujuan tercapai.
So, jangan hanya bisa menyalah-nyalahkan examples kayak Gayus atau Nazaruddin. Kita sendiri, Anda sendiri, bagaimana? Baik kita dulunya maupun saat menyiapkan anak-anak masa depan kini.
Aku tahu ada sekolah yang menyuruh murid-muridnya untuk langsung bekerja. Yang suka film ya langsung syuting. Yang suka fotografi ya langsung motret. Yang suka cerpen ya langsung bikin. Guru dicarikan sesuai bidang, dan langsung mengajarkan hal-hal teknis. Dan dalam berproses, murid bisa menggali ilmu sendiri sebisanya.
Target bukan nilai, tapi benda nyata berupa film, portfolio foto-foto, atau naskah antologi cerpen. Ulangan bukan berupa tanya jawab hapalan atau tebak-tebakan A-B-C-D-E, melainkan analisis dan kritik atas kualitas hasil karya. Sikap dalam menerima kritik pun menjadi bagian integral nilai akhir yang menunjukkan berapa persen peningkatan murid sejak dari 0 sampai bisa bikin karya sampai tuntas sesuai deadline.
Dalam pendidikan model ini, murid benar-benar dibekali sesuatu yang mengubah jalan hidup. Preketekwekwek soal teori-teori sastra, konstanta Planck, sinus-cosinus, atau Ascensio Recta. Murid hanya akan disuruh menghapalkan tetapan Avogadro bila emang passion-nya menjadi pakar kimia, disuruh menghitung gaya gesek Newton bila memang hasratnya adalah menjadi ahli fisika.
Dan aku tahu sebuah keluarga tempat anak-anaknya tak dibebani tuntutan untuk menjadi kaya raya. Yang terpenting adalah memiliki dan menekuni skill yang bisa mengubah jalan hidup. Kaya hanyalah efek samping. Jika skill yang dikuasai sampai level expert itu bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak, maka dunia pun akan menghargainya dengan angka yang tinggi.
Sayang 99% masyarakat tidak menjalani hidup yang demikian. Sebagian besar tetap menjadi pribadi yang clueless padahal dibebani banyak target nan berat. Ya jalan pintas diambil. Yen ora melu ngedan ora keduman! Sedang yang tidak ikut ngedan hanya sekadar bekerja untuk mencari uang dan menunggu hari gajian, bukan karena kecintaan dan pengabdian pada pekerjaan.
Maka bangsa ini pun mengalami dekadensi multidimensional. Kita telah terlalu lama berhenti bekerja, sungguh-sungguh bekerja—melainkan hanya mencari uang.
Jalan tol baru dibangun setelah macet parah, padahal harusnya bisa dirancang secara antisipatif sejak 20-30 tahun lalu. Angkot baru dirazia setelah makan korban nyawa, padahal harusnya bisa ditata sejak titik paling awal. Dan bagaimana mungkin perusahaan yang tanpa saingan kayak kereta api atau air ledeng (bukan air minum, wong belum bisa langsung diminum!) kok bisa-bisanya merugi? Sungguh tak masuk akal! Menyalahi hukum alam!
Itu terjadi karena semua diurusi oleh insan-insan yang lupa untuk dibekali sikap karakter dan skill yang mengubah jalan hidup, melainkan yang sekadar bekerja untuk menggugurkan target tugas plus nunggu hari gajian. Yang tidak bermental “give the best!”, tapi “ya ngene iki lak sing penting nyukupi butuh”. Kita pun menjadi bangsa yang sekadar mencukupi butuh, tapi tak pernah jadi yang terbaik karena tak pernah pula berusaha untuk itu.
Kapankah terakhir kali Indonesia mengguncang dunia? Di politik, di olah raga, di sains, di sastra, di musik, di film, di sinetron, di kemanusiaan? Sudah lama sekali tak ada. Sebagian besar bahkan belum pernah menapak momen pertama kali. Di TV, film, sinetron, dan musik bahkan nampak jelas semua geliatnya dipersembahkan dalam rangka mencari uang, bukan eksplorasi mutu secara tenanan.
Ini benar-benar lampu kuning nyaris menyala merah, Sodara-sodara! Yakin deh, jika caranya seperti ini, kita semua terancam kegagalan total. Saat tampuk kepemimpinan negara berpindah ke generasiku (kelahiran 1970-an) sekitar satu atau dua dekade lagi, bisa saja Republik Indonesia sudah lenyap karena warganya pada sibuk nyari duit sendiri-sendiri dan lupa ngurusi negara!
Perubahan mendasar nggak bisa cuman dari pemilu, ganti presiden, UU, amandemen konstitusi, etc-etc, tapi langsung dari diri kita sendiri, dan anak-anak kita, detik ini. Berhentilah semata nyari uang. Abdikan diri kita sepenuh hati hingga mencapai taraf bisa berbagi dengan sesama—apapun—ilmu atau harta.
Kalimat kuncinya, sekali lagi, temukan sesuatu yang bisa mengubah hidup.

0 komentar:

Posting Komentar