Mirip
judul film ya? Paling pas disutradarai Michael Mann, genre action-thriller,
dengan cast Matt Damon, Bradley Cooper, dan Michelle Rodriguez. Berkisah
tentang dua agen FBI (Damon, Cooper) yang ditugaskan menangkap seorang PSK
(Rodriguez) yang dituduh membunuh kliennya. Tak tahunya, sang PSK ternyata
hanya pion yang dikorbankan dalam sebuah kasus mafia peradilan yang melibatkan
Walikota New York berkaitan dengan korupsi anggaran para senator penting AS!
Alangkah
bagusnya kalau Hanung Bramantyo atau Rudi Soedjarwo bisa bikin film kayak
gituan di sini, jadi nggak cuman cinta-cintaan, pocong-pocongan, atau
sangpencerah-sangpencerahan.
Yang
jelas memang negeri ini di ambang kegagalan permanen sebagai akibat korupsi
multidimensional yang melanda bangsa. Tak cuman para penggede, kita pun
masyarakat kecil ini gemar korupsi manipulasi juga. Contohnya, saat dicegat
razia polisi.
Pertanyaannya,
mengapa kita jadi hobi korupsi-manipulasi? Ada yang memang jahat, tak peduli,
tapi sebagian besar (termasuk kita-kita ini!) karena terpaksa. Karena tak
menemukan cara lain agar bisa ngeksis.
Lho, kok
bisa?
Lihat
sejak dari kurikulum pendidikan (sekolah formal). Dari TK sampai perguruan
tinggi, kita cuman disuruh memenuhi target berupa nilai bagus. Kebenaran adalah
jika nilai ulangan atau IP tinggi. Jika tidak, kau dianggap sesat!
Sekolah
tidak memberikan bekal pembangunan karakter positif dan keterampilan hidup,
melainkan hanya menggelontorkan pelajaran bahasa, matematika, fisika, kimia,
geografi sekadar untuk sarana meraih nilai. Dalam pelajaran bahasa misalnya,
kita belajar mengarang hanya untuk menggapai nilai ulangan. Begitu ulangan
lewat dan nilai 9 terrengkuh, sudah lupa lagi bagaimana caranya mengarang.
Dan
kebanyakan bimbel pun tidak memberikan materi pelajaran untuk dikupas dan
dipahami sampai ngelotok, melainkan hanya program cepat cara menebak dan
mengurai jawaban-jawaban ujian. Akibatnya, lulus ujian dengan nilai perfect,
tapi “isi baterai” masih tetap kosong karena tak ada satupun yang nyantel dan bisa
dipakai beneran menjelajah hidup.
Di pihak
lain, lingkungan keluarga sejak awal menggadang-gadang kita untuk menjadi orang
kaya. Kebenaran adalah jika nantinya pas dewasa bisa kaya raya dan pas pulang
mudik Lebaran bawa mobil keren terbaru. Jika tidak, kau dianggap sesat!
Semua
tekanan dan tuntutan itu amat membebani anak. Di sekolah diharuskan untuk dapat
nilai bagus, di rumah dipersiapkan untuk menjadi orang kaya. Parahnya, tak ada
yang ngasih tahu dengan cara bagaimana kedua hal itu bisa sungguh-sungguh
dicapai. Hanya ada kalimat-kalimat muluk kosong tanpa makna semacam “belajar
yang rajin” atau “bekerja yang giat”.
“Rajin”
itu seperti apa? “Giat” itu seperti apa? Orang bisa jadi hebat kayak Messi atau
Spielberg bukan karena bakat “gawan bayi”, tapi latihan keras yang tekun
berdasar petunjuk-petunjuk yang sangat teknis dan bisa dijabarkan secara ilmiah
gamblang, bukan cuma “He, Lionel, latihan yang keras ya!” atau “He, Steven,
menyutradara yang ulet ya!”
Karena
hanya mendapat tuntutan dan tekanan tanpa sedikitpun memperoleh petunjuk yang
terang benderang, anak pun jadi clueless saat tiba waktunya dia harus meraih
nilai bagus dan mengumpulkan penghasilan biar jadi kaya. Karena clueless, jalan
pintas pun diambil: nyontek dan korupsi. Apapun, yang penting tujuan tercapai.
So,
jangan hanya bisa menyalah-nyalahkan examples kayak Gayus atau Nazaruddin. Kita
sendiri, Anda sendiri, bagaimana? Baik kita dulunya maupun saat menyiapkan
anak-anak masa depan kini.
Aku tahu
ada sekolah yang menyuruh murid-muridnya untuk langsung bekerja. Yang suka film
ya langsung syuting. Yang suka fotografi ya langsung motret. Yang suka cerpen
ya langsung bikin. Guru dicarikan sesuai bidang, dan langsung mengajarkan
hal-hal teknis. Dan dalam berproses, murid bisa menggali ilmu sendiri
sebisanya.
Target
bukan nilai, tapi benda nyata berupa film, portfolio foto-foto, atau naskah
antologi cerpen. Ulangan bukan berupa tanya jawab hapalan atau tebak-tebakan
A-B-C-D-E, melainkan analisis dan kritik atas kualitas hasil karya. Sikap dalam
menerima kritik pun menjadi bagian integral nilai akhir yang menunjukkan berapa
persen peningkatan murid sejak dari 0 sampai bisa bikin karya sampai tuntas
sesuai deadline.
Dalam
pendidikan model ini, murid benar-benar dibekali sesuatu yang mengubah jalan hidup.
Preketekwekwek soal teori-teori sastra, konstanta Planck, sinus-cosinus, atau
Ascensio Recta. Murid hanya akan disuruh menghapalkan tetapan Avogadro bila
emang passion-nya menjadi pakar kimia, disuruh menghitung gaya gesek Newton
bila memang hasratnya adalah menjadi ahli fisika.
Dan aku
tahu sebuah keluarga tempat anak-anaknya tak dibebani tuntutan untuk menjadi
kaya raya. Yang terpenting adalah memiliki dan menekuni skill yang bisa
mengubah jalan hidup. Kaya hanyalah efek samping. Jika skill yang dikuasai
sampai level expert itu bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang
banyak, maka dunia pun akan menghargainya dengan angka yang tinggi.
Sayang
99% masyarakat tidak menjalani hidup yang demikian. Sebagian besar tetap
menjadi pribadi yang clueless padahal dibebani banyak target nan berat. Ya
jalan pintas diambil. Yen ora melu ngedan ora keduman! Sedang yang tidak ikut
ngedan hanya sekadar bekerja untuk mencari uang dan menunggu hari gajian, bukan
karena kecintaan dan pengabdian pada pekerjaan.
Maka
bangsa ini pun mengalami dekadensi multidimensional. Kita telah terlalu lama
berhenti bekerja, sungguh-sungguh bekerja—melainkan hanya mencari uang.
Jalan
tol baru dibangun setelah macet parah, padahal harusnya bisa dirancang secara
antisipatif sejak 20-30 tahun lalu. Angkot baru dirazia setelah makan korban
nyawa, padahal harusnya bisa ditata sejak titik paling awal. Dan bagaimana
mungkin perusahaan yang tanpa saingan kayak kereta api atau air ledeng (bukan
air minum, wong belum bisa langsung diminum!) kok bisa-bisanya merugi? Sungguh
tak masuk akal! Menyalahi hukum alam!
Itu
terjadi karena semua diurusi oleh insan-insan yang lupa untuk dibekali sikap
karakter dan skill yang mengubah jalan hidup, melainkan yang sekadar bekerja
untuk menggugurkan target tugas plus nunggu hari gajian. Yang tidak bermental
“give the best!”, tapi “ya ngene iki lak sing penting nyukupi butuh”. Kita pun
menjadi bangsa yang sekadar mencukupi butuh, tapi tak pernah jadi yang terbaik
karena tak pernah pula berusaha untuk itu.
Kapankah
terakhir kali Indonesia mengguncang dunia? Di politik, di olah raga, di sains,
di sastra, di musik, di film, di sinetron, di kemanusiaan? Sudah lama sekali
tak ada. Sebagian besar bahkan belum pernah menapak momen pertama kali. Di TV,
film, sinetron, dan musik bahkan nampak jelas semua geliatnya dipersembahkan
dalam rangka mencari uang, bukan eksplorasi mutu secara tenanan.
Ini
benar-benar lampu kuning nyaris menyala merah, Sodara-sodara! Yakin deh, jika
caranya seperti ini, kita semua terancam kegagalan total. Saat tampuk
kepemimpinan negara berpindah ke generasiku (kelahiran 1970-an) sekitar satu
atau dua dekade lagi, bisa saja Republik Indonesia sudah lenyap karena warganya
pada sibuk nyari duit sendiri-sendiri dan lupa ngurusi negara!
Perubahan
mendasar nggak bisa cuman dari pemilu, ganti presiden, UU, amandemen
konstitusi, etc-etc, tapi langsung dari diri kita sendiri, dan anak-anak kita,
detik ini. Berhentilah semata nyari uang. Abdikan diri kita sepenuh hati hingga
mencapai taraf bisa berbagi dengan sesama—apapun—ilmu atau harta.
Kalimat
kuncinya, sekali lagi, temukan sesuatu yang bisa mengubah hidup.
0 komentar:
Posting Komentar