Sejak dulu aku merasa ada yang sangat salah pada sistem pendidikan nasional kita. Buktinya, tiap kali aku maju jadi narasumber satu acara yang dihadiri audiens para siswa (SMP atau SMA), mereka akan langsung jadi pendiam saat sampai acara tanya-jawab. Satu-dua baru ada yang tunjuk jari bila penanya diiming-imingi hadiah!
Dan di satu sekolah pernah ada kejadian nyata ketika guru mengomel panjang-pendek tentang murid-muridnya yang dia nilai tak punya semangat untuk maju karena tak berani bertanya. Belakangan, waktu salah seorang murid yang kegerahan karena omelan itu dan kemudian memberanikan diri bertanya, respon sang guru adalah: “Wong cuman kayak gitu kok ditanyakan!??”
WTF!?
Yang terjadi adalah, kita ini terdidik menjadi bangsa yang kurang, bahkan miskin, ide. Selama ratusan bahkan ribuan tahun, nggak ada satupun orang berkebangsaan Indonesia (atau berasal dari negeri-negeri Nusantara, sebelum Indonesia ada) yang masuk daftar penemu. Yang nemu mesin cetak, nemu uang, nemu vaksin, nemu mesin uap, nemu teori ilmu hereditas, nemu kapal terbang, semua bukan dari sini.
Bagaimana itu semua terjadi? Ya lihatlah sekeliling kita, pasti semua orang pernah mengalaminya. Sekolah begitu militeristik. Formal, kaku, rigid, dan sangat menakutkan karena penuh hukuman. Ibarat kata, salah dalam cara melangkah saja sudah bisa membuat kita kena hukuman. Hukumannya pun 99% fisik mengerikan seperti push up, scot jump, lari keliling lapangan, ditampar, dijambak, dipukul, dan pernah ada siswa yang ketahuan merokok, dia dijemur di lapangan dan dipaksa mengisap lima batang rokok sekaligus!
Dan lingkungan keluarga inti pun kerap kali sama-sama militeristik juga. Satu kebenaran utama: patuhi ortu or die! Iya kalo ortunya bener. Kalo enggak? Peluang diskusi, debat, dan adu argumen secara konstruktif pun tertutup rapat. Saat ortu marah atau menasihati, dan anak mencoba menyanggah atau menyampaikan argumen, pasti dibentak “Rak sah mbantah nek wong tuwa gek ngandhani!!” (Jangan membantah jika sedang dikasih tahu orang tua!)
Karena baik di rumah maupun di sekolah berkondisi demikian, kita pun terdidik untuk menjadi orang-orang yang selalu (hanya berani) mengambil jalan aman. Aman dalam bertindak, aman dalam berbicara, dan aman-aman pula dalam berpola pikir serta memilih jalan hidup.
Pengin mencetuskan ide baru, takut menjadi bahan tertawaan. Mau bertanya menambah ilmu, takut diejek dikatakan bego. Dan mau menyampaikan unek-unek dalam situasi-situasi berlawanan, takut kena marah atau bahkan dihukum dengan kekerasan yang pedih.
Maka ketika acara sampai pada bagian “ada yang mau ditanyakan?”, semua diam tertunduk. Sebagian takut ditertawakan jika menanyakan hal yang aneh. Dan sebagian lagi jauh lebih parah, yaitu nggak tahu apa yang harus ditanyakan.
Dan bagaimana sebuah negara berharap akan maju jika diisi orang-orang yang terdidik untuk takut menelurkan gagasan dan berinisiatif? Takut berdebat dan berbeda pendapat. Takut dicap aneh atau diasingkan karena memilih untuk menjadi tidak biasa.
Pertanyaanku adalah, mengapa sih kita ini begitu militeristik dan menakutkan dan serba penuh ancaman? Haruskah semua anak bangsa dididik ala tentara—salah sithik langsung push up!?? Hanya karena bangsa ini dipertahankan oleh para pahlawan berbambu runcing penuh darah, tak semua warga negara harus pintar pegang bambu runcing.
Dan kenapa satu-satunya cara untuk membuat (baca: memaksa) orang maju hanya dengan ditakut-takuti dan diancam? Bukan dengan dimotivasi, didukung dari bawah, difasilitasi, atau yang termudah… cukup diberi “kail”…
0 komentar:
Posting Komentar