scribo ergo sum

Sabtu, 25 September 2010

Gaji Gede

10:17 Posted by wiwien wintarto No comments



Nasihat apa yang biasa kita terima waktu kecil? Pasti agar rajin belajar sehingga pintar dan bisa meraih nilai yang tinggi. Lalu, sesudah lulus sekolah, kita dinasihatkan agar mengambil jurusan kuliah yang, jika sudah diwisuda sarjana, akan mengantarkan kita ke pekerjaan-pekerjaan bergaji besar.
Jurusan-jurusan favorit itu umumnya meliputi bidang perekonomian, kedokteran, hukum, dan aneka lembaga pendidikan milik pemerintah tempat para alumnus langsung berada dalam ikatan dinas sehingga tak perlu repot-repot mencari pekerjaan. Ada orang tua yang mewajibkan (kadang bahkan memaksa), ada juga yang hanya mensunahkan.
Intinya, kita diarahkan ke satu jalur tertentu dan dilarang (memilih sendiri) ke jalur lain. Hingga saat ini, kening masih berkernyit saat mendengar seseorang memilih jurusan seni, sastra, atau media massa. Saat bercita-cita ingin jadi pelukis, pengarang novel, dramawan, wartawan, editor, atau pemain sepakbola.
Alasannya tentu adalah soal penghasilan—gaji. Bidang-bidang itu belum terbukti melahirkan praktisi yang berpenghasilan gede. Sebagian yang bergerak di dunia seni bahkan tak menerima gaji tetap seperti pegawai perusahaan besar, karyawan bank, PNS, manajer, atau direktur.
Di sini kita melihat ada yang terlupakan. Di sekolah, kita hanya dididik untuk meraih nilai, bukan mengembangkan kapasitas diri. Dan di keluarga, kita hanya diarahkan untuk mencari pekerjaan-pekerjaan bergaji tinggi (atau pangkat derajat tinggi sehingga, sekali lagi, berpenghasilan gede), bukan menempa kualitas skill individu.
Dan hasilnya adalah sebuah negara yang nyaris carut marut sempurna. Tak ada yang berjalan dengan baik, karena mayoritas diisi oleh orang-orang yang hanya mau cari hasil besar namun lupa memiliki anasir expertise apapun. Bukan orang-orang ahli, tapi yang memburu hasil sebesar mungkin lewat pengorbanan sekecil mungkin.
Pasti hanya segelintir sekali yang dibesarkan dengan pemahaman bahwa kekayaan (atau derajat pangkat) hanya efek samping. Yang terpenting adalah menggali ilmu dan kemampuan sebanyak mungkin, sehingga kekayaan dan pangkat tak lebih dari sekadar hasil dari tingginya ilmu dan kemampuan itu.
Last time I checked, hukum alam masih berjalan dengan cara seperti itu. Adalah sesat jika ada bocah masuk SSB hanya karena ingin kaya dan terkenal seperti Cristiano Ronaldo. Namun latihan demi latihan marathon selama bertahun-tahun pasti akan meningkatkan skill. Pembuktian akan datang dengan sendirinya. Itu akan membuka pintu-pintu kesempatan. Dan kekayaan serta nama besar pun menunggu. Tiketnya hanya dua: waktu dan kesabaran.
Bahwa dunia sangat rentan dan tak mudah ditebak, itu sudah terbukti berkali-kali. Yang sedang jaya menikmati gaji besar bisa tumbang dalam semalam. Dan yang tengah mukti menjalani pangkat puncak bisa terguling hanya dalam hitungan jam. Lalu semua hilang dan tak kembali lagi selamanya.
Pelajaran moralnya bukan hanya selalu rendah hati dan tak angkuh ataupun sombong selagi ada, melainkan mengapa kita memilih jalan hidup yang seperti itu. Jatuh adalah sebuah kepastian, sebab kalau tak pernah jatuh, kita takkan pernah belajar caranya berdiri. Tapi bagi mereka yang berilmu dan berkemampuan, jatuh terpuruk hanyalah sekadar periode yang harus dilewati, dan bukan kiamat
Maka, mumpung sekarang gantian kita yang jadi orang tua, ubah segera paradigma berpikir. Jangan didik anak-anak untuk sekadar kuliah, cepat lulus, dapat kerja bergaji gede. Tapi ajari mereka untuk menggali bakat dan keahlian, sehingga apapun hasil karya mereka akan dinilai dengan harga mahal oleh dunia.
Karena kita bukan pahlawan besar seperti Soekarno atau Hatta, hal terbaik yang bisa kita lakukan pada negara adalah dengan memberinya anak-anak kita yang expert, berkeahlian, berdedikasi, berilmu, dan berkemampuan tinggi—lalu mereka akan bekerja, benar-benar bekerja demi negara, dan bukan hanya sekadar nunggu hari gajian...

0 komentar:

Posting Komentar