Sejak dulu aku merasa ada yang sangat salah pada sistem pendidikan nasional kita. Kalau kemarin kita bicara soal menumpuknya mata pelajaran yang “nggak perlu”, sekarang kita bicarakan soal nilai.
Ya, nilai adalah tujuan, muara satu-satunya, dan kebenaran tunggal yang dianut oleh pendidikan Indonesia. Untuk apa kita kita sekolah 12 tahun? Biar pintar? Jadi orang berguna bagi negara? Salah! Cuman biar bisa dapet nilai tinggi. Pintar-tidaknya kita tak diukur dari hasil didikan sekolah yang membuat kita bisa bermanfaat bagi publik, tapi cukup dari angka.
Bukti otentiknya ya semua redundant information itu, yang ditimpakan bertubi-tubi ke siswa. Hapalan kosong tahun, nama Latin, hasil hitungan, luas wilayah negara—semua diberikan bukan demi mengubah siswa dari 0 menjadi unggul dalam sumber daya (atau tambah pengetahuan), tapi hanya sekadar cara atau medium untuk kejar-mengejar nilai saat ulangan dan ujungnya Uanas yang mengerikan itu.
Mirip pekerja pabrik rokok. Itungannya cuman dari berapa ratus linting yang mampu dihasilkan, bukan kualitas SDM, budi pekerti, atau motivasi positifnya. Atau kuli angkut pelabuhan, yang cukup dihitung dari berapa karung. Mengenai apakah dia penuh ide, bermental baja, atau berwatak bahagia, itu ndak diurus sama sekali.
Aku sendiri mengalaminya. 90% lebih info yang kuterima di sekolah tak bersisa lagi saat ini. Mudeng dan hapalnya cuman untuk kebutuhan ulangan dan tes semester tok. Sesudah tes selesai dengan nilai cukup, mission accomplished. Materi yang diteskan bisa dihapus karena nggak diperlukan dalam hidup dunia nyata.
Lebih parah lagi karena tesnya pun mirip tebak-tebakan nomor di pasar malam: multiple choice—bukan essay bermodel “kemukakan pendapatmu tentang...” yang merangsang kecerdasan dan keberanian untuk beropini. Kalau merasa ketinggalan dan ikut bimbel pun, yang keluar juga bukan kupasan materi secara mendalam, melainkan trik jitu mengenali dan mengakali soal-soal multiple choice!
Maka yang sering terjadi adalah, nilai maut (karena bisa mengakali ujian pilihan ganda) tapi aslinya nggak mudeng blas dengan isi pelajaran yang diujikan. Nggak aneh kasus tawuran mahasiswa makin meningkat belakangan ini.
Aku pernah baca artikel seorang tokoh pendidikan dari Taman Siswa. Menurut pendapatnya, pendidikan dibilang berhasil bila bisa mengubah kemampuan dan kapasitas siswa dari 0 saat masuk menjadi meningkat ke satu level kemampuan tertentu saat lulus. Mirip karakter di game RPG (role playing game) yang saat mulai satu level masih menyandang angka experience 0, tapi setelah bertarung dan mengalahkan lawan-lawannya, pada akhir level, angka pengalamannya menjadi 100.
Dilihat dari segi itu, perbedaan dan perubahan taraf kemampuanku dulu hanya sedikit banget dari saat masuk SMP hingga ketika lulus SMA. Yang meningkat hanya “skill”-ku untuk merebut nilai. Mungkin dengan hapalan pol, belajar wayangan, atau nyontek! Kalaupun ada perubahan dan peningkatan, penyebabnya bukan dari pelajaran dan didikan sekolah, melainkan dari ortu, lingkungan gaul peer group, kisah cinta, dan pengalaman hidup secara umum.
Skill dan jenjang kemampuan yang sepanjang zaman menghidupiku dan bisa kubagi pada orang lain pun asalnya juga bukan dari sekolah. Lalu pertanyaannya, sekolah buat apa?
Sekarang lihat hasilnya dari sistem pendidikan yang mendewakan nilai itu. Orang pun selalu lebih peduli pada nilai (hasil akhir) daripada proses, yang berkaitan dengan duit banyak. Orang berlomba-lomba untuk kaya, entah bagaimana caranya, bukan menempa diri agar kualitas hasil karya dan manfaat kita bagi masyarakat layak dinilai dengan harga mahal.
Orang tua “generik” pasti menganjurkan (baca: memaksa) anak-anaknya untuk kuliah di perguruan-perguruan tinggi tertentu tempat lulusannya langsung mendapat ikatan dinas dan bisa bekerja di institusi-institusi finansial yang “basah” (biar cepat kaya). Sedang ortu yang kramotak akan membiarkan saja anak-anaknya mencari kekayaan sendiri-sendiri sehingga ujung-ujungnya adalah fenomena di negara kita ini yang demikian parah sampai perlu dibikinkan KPK!
Inilah yang membuat Indonesia hingga 65 tahun kemerdekaannya masih sukar maju dan justru cenderung makin nganeh-anehi. Ibarat gentong, kita ahli dalam bikin hiasan dan ornamen agar dapet nilai tinggi, tapi dalemnya kosong melompong karena tak diisi dengan apapun yang bermanfaat dan sungguhan bisa dipakai sepanjang zaman.
(To be Continued)
0 komentar:
Posting Komentar